Latar Belakang Filosofis CTL
Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema. Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat sedangkan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki dua dan binatang berkaki empat. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema; dan akomodasi adalah proses merubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skama baru. Semua itu (asimilasi dan akomodasi) terbentuk berkat pengalaman siswa. Coba Anda perhatikan uraian berikut ini.
Pada
suatu hari anak merasa sakit karena
terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema pada struktur
kognitif anak tentang ”api”, bahwa api
adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan
demikian ketika ia melihat api, secara reflek ia akan menghindar. Semakin anak
dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya
memasak pakai api; ketika anak melihat Bapaknya merokok menggunakan api, maka
skema yang telah terbentuk itu disempurnakan,
bahwa api bukan harus dihindari akan tetapi dapat dimanfaatkan. Proses
penyempurnaan skema tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilisi. Semakin anak dewasa,
pengalaman itu semakin bertambah pula.
Ketika anak melihat bahwa
pabrik-pabrik memerlukan api, setiap
kendaraan memerlukan api, dan lain
sebagainya, maka terbentukah skema baru
tentang api, bahwa api bukan harus dihindari dan juga bukan hanya
sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibuttuhkan untuk kehidupan
manusia. Proses penyempurnaan skema itu dinamakan proses akomodasi.
Sebelum
ia mampu menyusun skema baru, ia akan dihadapkan pada posisi ketidak seimbangan
(disequalibrium), yang akan menggang-gu psikologis anak.
Manakala skema telah disempurnakan atau anak telah berhasil membentuk skema
baru, anak akan kembali pada posisi seimbang (equalibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan
pengalaman baru.
Coba simak lagi contoh di bawah ini.
Misalkan, berkat pengalamannya seorang anak memiliki
skema tentang burung merpati sebagai binantang yang bersayap dan bisa
terbang, sehingga ia akan mengatakan
setiap binatang yang memiliki sayap adalah burung dan setiap burung pasti dapat
terbang. Selanjutnya proses asimilasi terbentuk, ketika ia melihat
burung-burung yang lain yang sama-sama bisa terbang misalnya burung yang lebih
kecil dari burung merpati yaitu burung pipit dan burung yang lebih besar
seperti burung elang. Dengan demikian,
ia akan menyempurnakan skema tentang burung yang telah terbentuknya,
bahwa burung itu ada yang besar dan ada yang kecil. Kemudian proses akomdasi
akan terbentuk, misalnya ketika anak tersebut
melihat seekor ayam. Anak akan menjadi ragu sehingga ia akan ada pada posisi ketidak seimbangan. Sebab,
walaupun binatang tersebut bersayap, anak akan menolak kalau ayam yang
dilihatnya dimasukkan pada skema burung yang telah ada, sebab ayam memiliki
karakteristik lain, misalnya badannya lebih besar dan tidak bisa terbang.
Melalui pengalamannya itulah anak memaksa untuk membuat skema baru tentang binatang
yang bersayap, yaitu skema tentang ayam.
Inilah yang dinamakan proses akomodasi, yakni proses pembentukan skema baru
berkat pengalaman. Kemudian pengalaman anakpun bertambah pula. Ia melihat ada
itik, ada bebek, ada angsa dan lain sebagainya, semua binatang yang ia lihat
itu bersayap, akan tetapi memiliki atribut-atribut yang sangat berbeda dengan
ayam, dengan demikian ia akan membetuk konsep baru tentang binatang yang
bersayap, yaitu tidak setiap binatang yang bersayap adalah burung dan dapat
terbang. Jadi dengan demikian konsep tentang burung dan binantang bersayap itu
adalah sebagai hasil proses asimlasi dan akomodasi yang dibentuk dan
dikonstruksi oleh anak yang bersangkutan, bukan hasil pemberitahuan orang lain.
Demikianlah selama hidupnya anak akan memperbaiki dan menyempurnakan
skema-sekema yang telah terben-tuk.
Pandangan
Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur
kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran diantarnya model pembelajaran konstektual. Menurut pembelajaran konstektual, pengetahuan
itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan
yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan
tidak fungsional.
Latar Belakang Psikologis CTL
Sesuai dengan filsafat yang
mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka
dipandang dari sudut psi-kologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif.
Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan
lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan
Respon. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang
tidak nampak seperti emosi, minat, mortivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa
yang nampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang
berkembang dalam diri seseorang. Sebagai
peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik
saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada
dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa demikian,? Sebab manusia selamanya
memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong
manusia untuk berperilaku.
Dari
asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang
harus Anda pahami tentang belajar dalam konsteks CTL.
- Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
- Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berfikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin penge-tahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berfikir.
- Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara konstektual adalah belajar bagaimana anak meng-hadapi setiap persoalan.
- Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari yang sederhana menuju yang komplek. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
- Belajar pada hakekatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning).
Azas-azas CTL
CTL sebagai suatu strategi pembelajaran
memiliki 7 azas. Azas-azas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan CTL. Seringkala azas ini disebut juga
komponen-komponen CTL. Selanjutnya ketujuh azas ini dijelaskan di bawah ini.
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Di
muka telah dibahas bahwa filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldawin dan
dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu
terbentuk bukan hanya dari objek semata,
akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap
objek yang diamatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal
dari luar akan tetapi di-konstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh
sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang
menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk mengin-terpretasi objek
tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu
tidak ber-sifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang
melihat dan mengkonstruksinya. Lebih jauh Piaget menyatakan hakekat pengetahuan
sebagai berikut:
- Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi sealalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
- Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
- Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Asumsi
itu yang kemudian melandasi CTL. Pembelajaran melalui CTL pada dasaranya mendorong agar siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Mengapa demikian?
Sebab pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun oleh individu.
Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Atas dasar asumsi yang men-dasarinya itulah, maka penerapan azas
konstruktivisme dalam pem-belajaran
melalui CTL, siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri
melalui pengalaman nyata.
2. Inkuiri
Azas kedua dalam pembelajaran CTL
adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berfikir secara
sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan
tetapi hasil dari proses menemukan
sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah
mem-persiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada
dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis.
Melalui proses mental itulah, diharapkan siswa berkembang secara utuh baik
intelektual, mental emosional maupun pribadinya. Apakah
inkuiri hanya bisa dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak.
Berbagai topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses
inkuiri. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa
langkah, yaitu:
- Merumuskan masalah
- Mengajukan hipotesis
- Mengumpulkan data
- Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
- Membuat kesimpulan
Penerapan
azas ini dalam proses pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa
akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus
didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan
batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai
dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesisi itulah yang akan menuntun
siswa untuk melakukan observasi dalam
rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa
dituntun untuk menguji hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan. Azas
menemukan seperti yang digambarkan di atas, merupakan azas yang penting dalam
pembelajaran CTL. Melalui proses
berfikir yang sistematis seperti dia
atas, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional dan logis, yang
kesemuanya itu diperlukan sebagai dasar pembentukan kreatifitas.
3. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakekatnya adalah
bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi
dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan
kemampuan seseorang dalam brfikir. Dalam proses pembeajaran melalui CTL, guru
tidak mennyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa
dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab
melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan setiap materi yang
di-pelajarinya. Dalam
suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
- Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran
- Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar
- Merangsang keingin tahuan siswa terhadap sesuatu
- Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan
- Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu
Dalam
setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu
digunakan. Oleh karena itu kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik
bertanya sangat diperlukan.
4. Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia menyatakan
bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunkasi dengan orang lain. Suatu
permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendirian, akan tetapi membutuhkan
bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan
untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep
masyarakat belajar (learning community)
dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama
dengan orang lain. Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik
dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi
secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang
lain, antar teman, antar kelompok,; yang sudah tahu memberi tahu pada yang
belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman
membagi pengalamannya pada orang lain. Iniliah hakekat dari masyarakat
belajar, mayarakat yang saling membagi.
Dalam
kelas CTL, penerapan azas masyarakat
belajar dapat dilakukan dengan
menerapkan pembelajaran
melalui kelompok belajar. Siswa dibagi
dalam kelompok kelompok yang anggotanya
bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya,
maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
Biarkan dalam ke-lompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat
belajar didorong untuk membatu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan
ter-tentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Dalam
hal tertentu, guru dapat mengundang orang-orang yang dianggap memiliki keahlian
khusus untuk membelajarkan siswa. Misalnya,
dokter untuk memberikan atau membahas masalah kesehatan, para
petani, tukang reparasi radio dan lain
sebagainya. Demikianlah masyarakat belajar. Setiap orang bisa saling terlibat;
bisa saling membelajarkan, bertukar informasi dan bertukar pengalaman.
5. Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan azas
modeling adalah, proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh
yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya
guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau
bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan
contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana
cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh baaimana cara
menggunakan termometer dan lain sebagainya.
Proses
modeling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru
memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalkan siswa yang pernah
menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya
di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling meru-pakan azas yang cukup
penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar
dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinakan terjadinya
verbalisme.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan
pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali
kejadian-kejadian atau peristiwa
pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar
itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan
menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses
reflksi siswa akan memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau
menambah khasanah pengetahuannya. Dalam
proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses
pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ”merenung” atau
mengingat kembali apa yang telah di-pelajarinya. Biarkan secara bebas siswa
menafsirkan pengelamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang
pengalaman belajarnya.
7. Penilaian nyata (Authentic
Assessment)
Proses pembelajaran konvensional
yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan kepada
perkembangan aspek intelektual, sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas
pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahuai seberapa jauh siswa telah
menguasai materi pelajaran. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya
di-tentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu
penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti
hasil tes akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penlaian
nyata (Authentic Assessment), adalah
proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan nformasi tentang perkembangan
belajar yang dilakukan siswa. Penilaian
ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak;
apakah pengalaman belajar siswa memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental
siswa. Penilaian
yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan
secara terus menerus selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu tekanannya diarahkan kepada proses
belajar bukan kepada hasil belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar