Laman

08 Februari 2012

Contekstual Teaching and Learning

Latar Belakang Filosofis  CTL

CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang  mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subyek yang mengamati. Selanjutnya, pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakekat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal akan tetapi proses  mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan  bukanlah  hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu.  Pengetahuan hasil dari pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Bagaimana proses mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh setiap subjek itu? Di bawah ini dijelaskan jalan pikiran Piaget, tokoh yang mengembangkan gagasan konstruktivisme itu  

Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif  yang kemudian dinamakan skema.  Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih.  Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat sedangkan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki dua dan binatang berkaki empat. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang  dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.  Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema; dan akomodasi adalah proses merubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skama baru. Semua itu (asimilasi dan akomodasi) terbentuk berkat pengalaman siswa. Coba Anda perhatikan uraian berikut ini.
            
Pada suatu hari anak  merasa sakit karena terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema pada struktur kognitif anak  tentang ”api”, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan demikian ketika ia melihat api, secara reflek ia akan menghindar. Semakin anak dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak pakai api; ketika anak melihat Bapaknya merokok menggunakan api, maka skema yang telah terbentuk itu disempurnakan,  bahwa api bukan harus dihindari akan tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyempurnaan skema tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilisi. Semakin anak dewasa, pengalaman itu semakin bertambah pula.  Ketika  anak melihat bahwa pabrik-pabrik memerlukan api,  setiap kendaraan memerlukan api,  dan lain sebagainya, maka terbentukah skema baru  tentang api, bahwa api bukan harus dihindari dan juga bukan hanya sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibuttuhkan untuk kehidupan manusia. Proses penyempurnaan skema itu dinamakan proses akomodasi.

Sebelum ia mampu menyusun skema baru, ia akan dihadapkan pada posisi ketidak seimbangan (disequalibrium),  yang akan menggang-gu psikologis anak. Manakala skema telah disempurnakan atau anak telah berhasil membentuk skema baru, anak akan kembali pada posisi seimbang (equalibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman baru.
Coba  simak lagi contoh di bawah ini.

Misalkan,  berkat pengalamannya seorang anak memiliki skema tentang burung merpati sebagai binantang yang bersayap dan bisa terbang,  sehingga ia akan mengatakan setiap binatang yang memiliki sayap adalah burung dan setiap burung pasti dapat terbang. Selanjutnya proses asimilasi terbentuk, ketika ia melihat burung-burung yang lain yang sama-sama bisa terbang misalnya burung yang lebih kecil dari burung merpati yaitu burung pipit dan burung yang lebih besar seperti burung elang. Dengan demikian,  ia akan menyempurnakan skema tentang burung yang telah terbentuknya, bahwa burung itu ada yang besar dan ada yang kecil. Kemudian proses akomdasi akan terbentuk, misalnya ketika anak tersebut  melihat seekor ayam. Anak akan menjadi ragu sehingga ia akan ada  pada posisi ketidak seimbangan. Sebab, walaupun binatang tersebut bersayap, anak akan menolak kalau ayam yang dilihatnya dimasukkan pada skema burung yang telah ada, sebab ayam memiliki karakteristik lain, misalnya badannya lebih besar dan tidak bisa terbang. Melalui pengalamannya itulah anak memaksa untuk membuat skema baru tentang binatang yang bersayap,  yaitu skema tentang ayam. Inilah yang dinamakan proses akomodasi, yakni proses pembentukan skema baru berkat pengalaman. Kemudian pengalaman anakpun bertambah pula. Ia melihat ada itik, ada bebek, ada angsa dan lain sebagainya, semua binatang yang ia lihat itu bersayap, akan tetapi memiliki atribut-atribut yang sangat berbeda dengan ayam, dengan demikian ia akan membetuk konsep baru tentang binatang yang bersayap, yaitu tidak setiap binatang yang bersayap adalah burung dan dapat terbang. Jadi dengan demikian konsep tentang burung dan binantang bersayap itu adalah sebagai hasil proses asimlasi dan akomodasi yang dibentuk dan dikonstruksi oleh anak yang bersangkutan, bukan hasil pemberitahuan orang lain. Demikianlah selama hidupnya anak akan memperbaiki dan menyempurnakan skema-sekema yang telah terben-tuk.

Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model  pembelajaran diantarnya model  pembelajaran konstektual.  Menurut pembelajaran konstektual, pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.

Latar Belakang Psikologis CTL

Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psi-kologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respon. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak nampak seperti emosi, minat, mortivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang nampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang  dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa demikian,? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku.

Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus Anda pahami tentang belajar dalam konsteks CTL.
  • Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
  • Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berfikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin  penge-tahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berfikir.
  • Belajar adalah proses  pemecahan   masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara konstektual adalah belajar bagaimana anak meng-hadapi setiap persoalan.
  • Belajar   adalah   proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari yang sederhana menuju yang komplek. Oleh karena itu  belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
  • Belajar pada hakekatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu  pengetahuan yang diperoleh  adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning).
Azas-azas CTL

CTL sebagai suatu strategi pembelajaran memiliki 7 azas. Azas-azas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Seringkala azas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Selanjutnya ketujuh azas ini dijelaskan di bawah ini.

1. Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur  kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Di muka telah dibahas bahwa filsafat konstruktivisme yang  mulai digagas oleh Mark Baldawin dan dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek  semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi di-konstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk mengin-terpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak ber-sifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengkonstruksinya. Lebih jauh Piaget menyatakan hakekat pengetahuan sebagai berikut:
  • Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi sealalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
  • Subjek  membentuk    skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
  • Pengetahuan dibentuk   dalam    struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan  bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
 Asumsi itu yang kemudian melandasi CTL. Pembelajaran melalui CTL pada dasaranya  mendorong agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Mengapa demikian? Sebab pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun oleh individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar asumsi yang men-dasarinya itulah, maka penerapan azas konstruktivisme  dalam pem-belajaran melalui CTL, siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.

2.  Inkuiri

Azas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses  berfikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan  sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mem-persiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri  materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intelektual, mental emosional maupun pribadinya. Apakah inkuiri hanya bisa dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak. Berbagai topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah,  yaitu:
  • Merumuskan masalah
  • Mengajukan hipotesis
  • Mengumpulkan data
  • Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
  • Membuat kesimpulan
Penerapan azas ini dalam proses pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan  hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesisi itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi  dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk menguji hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan. Azas menemukan seperti yang digambarkan di atas, merupakan azas yang penting dalam pembelajaran CTL.  Melalui proses berfikir yang sistematis  seperti dia atas, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional dan logis, yang kesemuanya itu diperlukan sebagai dasar pembentukan kreatifitas.

3.  Bertanya (Questioning)

Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam brfikir. Dalam proses pembeajaran melalui CTL, guru tidak mennyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi  yang di-pelajarinya.  Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
  • Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan   materi pelajaran
  • Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar
  • Merangsang keingin tahuan siswa terhadap sesuatu
  • Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan
  • Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu
            Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu digunakan. Oleh karena itu kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Leo Semenovich  Vygotsky, seorang psikolog Rusia menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh  komunkasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendirian, akan tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan.  Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok,; yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman  membagi pengalamannya pada orang lain. Iniliah hakekat dari masyarakat belajar, mayarakat yang saling membagi.

Dalam kelas CTL, penerapan azas  masyarakat belajar dapat dilakukan dengan  menerapkan  pembelajaran melalui  kelompok belajar. Siswa dibagi dalam  kelompok kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.  Biarkan dalam ke-lompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membatu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan ter-tentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.

Dalam hal tertentu, guru dapat mengundang orang-orang yang dianggap memiliki keahlian khusus untuk membelajarkan siswa. Misalnya,  dokter untuk memberikan atau membahas masalah kesehatan, para petani,  tukang reparasi radio dan lain sebagainya. Demikianlah masyarakat belajar. Setiap orang bisa saling terlibat; bisa saling membelajarkan, bertukar informasi dan bertukar pengalaman.

5. Pemodelan (Modeling)

Yang dimaksud dengan azas modeling adalah, proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya  guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh baaimana cara menggunakan termometer dan lain sebagainya. 

Proses modeling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalkan siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai  model. Modeling meru-pakan azas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinakan terjadinya verbalisme.

 6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian  atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses reflksi siswa akan memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khasanah pengetahuannya. Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ”merenung” atau mengingat kembali apa yang telah di-pelajarinya. Biarkan secara bebas siswa menafsirkan pengelamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.

7. Penilaian nyata (Authentic Assessment)

Proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan kepada perkembangan aspek intelektual, sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahuai seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya di-tentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi  perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti hasil tes akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penlaian nyata (Authentic Assessment), adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan nformasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.  Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman  belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan  proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara  terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar