Laman

14 Desember 2010

Penelitian Tindakan Kelas (IPS SD)

Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (role playing) pada Materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”


Rini Kusmarini, S.Pd.* Uung Mashuri R.Suryadilaga, M.M.Pd.**

ABSTRAK

Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk melakukan upaya peningkatan hasil belajar siswa kelas IV melalui pembelajaran bermain peran (role playing) dalam pembelajaran IPS pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 dengan subjek penelitian siswa SDN Cihaugeulis 2 Bandung yang duduk di kelas IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan hasil belajar pada siklus pertama dan kedua. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan metode bermain peran mampu meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV pada aspek kognitif dan afektif siswa.

Kata kunci: bermain peran, role playing, IPS, koperasi

A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan melatih keterampilan untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa diri sendiri atau masyarakat . Sejalan dengan itu mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi menyebutkan bahwa mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Selanjutnya disebutkan pula bahwa mata pelajaran IPS di sekolah dasar bertujuan: (1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; (2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; (4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Dalam arti yang lebih substansial, proses pembelajaran hingga dewasa ini masih terjadi dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya (Trianto, 2007). Permasalahan lain yang terjadi dalam pembelajaran IPS di sekolah adalah pembelajaran IPS cenderung untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi ujian semester atau ujian nasional dengan nilai yang memuaskan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan orang tua atau masyarakat yang menilai tolak ukur keberhasilan pembelajaran adalah jika peserta didik naik kelas dengan nilai yang baik, lulus ujian nasional, dan diterima di sekolah favorit, sehingga yang terjadi selanjutnya adalah pembelajaran di kelas monoton dari hari ke hari. Waktu belajar siswa banyak dihabiskan untuk mengerjakan soal-soal latihan.
Dalam proses pembelajaran sekarang saat ini guru dituntut untuk menentukan metode pembelajaran yang aktif, efektif, kreatif, dan menyenangkan, untuk itulah guru harus kreatif memilih metode yang sesuai dengan tuntutan. Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dipilih adalah metode pembeajaran dalam pendidikan IPS, adalah metode pembelajaran bermain peran (role playing). Metode pembelajaran bermain peran merupakan bagian dari metode-metode pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Metode-metode pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial didasarkan pada asumsi: (1) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial; (2) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build in dan terus-menerus, (Mulyani Sumantri, 2001).
Pembelajaran dengan metode bermain peran (role playing) adalah metode pembelajaran yang dapat dilakukan dengan mengemas berbagai masalah sosial dalam bentuk permainan yang memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik. Metode pembelajaran ini membuat siswa seolah–olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Dalam metode ini siswa berkesempatan terlibat secara aktif sehingga akan lebih memahami konsep dan lebih lama mengingat. Atas dasar dan latar belakang inilah penulis tertarik untuk menganalisis dan mengkaji tentang metode pembelajaran khususnya dalam pembelajaran ilmu sosial serta penerapannya dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Kajian dan penelitian tersebut akan dikemas dalam suatu karya ilmiah berupa penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (role playing) pada Materi Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”.

B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, yang telah dikemukakan di atas maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan: Apakah penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan peningkatan hasil belajar IPS siswa kelas IV di Sekolah Dasar Negeri Cihaurgeulis 2 Bandung?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan metode role playing untuk meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV di SDN Cihaurgeulis 2 Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bersifat praktis dalam upaya meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik dan memberikan pengalaman kepada peserta didik bahwa belajar IPS itu menyenangkan. Dengan demikian, metode pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian ini akan menumbuhkan minat dan motivasi untuk belajar IPS. Bagi guru hasil penelitian ini akan bermanfaat antara lain: 1) meningkatkan kualitas keterampilan dalam mengelola pembelajaran IPS; 2) menjadi agen perubahan bagi teman sejawat, 3) sebagai model bagi guru yang mempunyai masalah sama atau mirip dengan permasalahan dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini, dan 4) dapat memanfaatkan apa yang ada dilingkungan sekitar dalam menyajikan pembelajaran IPS sehingga lebih menarik.

D. Tinjauan Teoretis
Kompetensi merupakan kecakapan hidup (life skill) yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kecakapan hidup merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusinya sehingga mampu mengatasinya (Mimin Haryati, 2007).
Kompetensi pengetahuan (kognitif), sikap dan nilai-nilai (afektif) dan keterampilan (psikomotor) yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga mampu menghadapi persoalan yang dihadapinya (Mimin Haryati, 2007). Sebenarnya kompetensi suatu lulusan dapat dikenali atau diketahui melalui sejumlah pencapaian hasil belajar dan indikatornya dimana ia dapat diukur dan diamati. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan ajar secara kontekstual.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial untuk tingkat sekolah sangat erat kaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang terintegrasi dengan humaniora dan ilmu pengetahuan alam yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Karena Pendidikan IPS ditingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitude and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2008). Untuk mencapai tujuan tersebut, guru sebagai perencana pembelajaran perlu memperhatikan beberapa aspek, seperti model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut adalah model sosialisasi. Model sosialisasi adalah rumpun model pembelajaran yang menitik beratkan pada proses interaksi antar individu yang terjadi dalam kelompok individu tersebut (Muhibbin Syah, 2007: 194).
Salah satu metode yang mengutamakan interaksi antara peserta didik dalam situasi demokrasi itu adalah model pembelajaran bermain peran (role playing). Metode pembelajaran bermain peran (role playing) adalah metode pembelajaran yang dikemas dalam bentuk permainan, yaitu bermain peran. Hal ini akan menarik dalam pembelajaran di sekolah dasar mengingat karakteristik sekolah dasar yang senang bermain dan lebih suka bergembira/riang.

E. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoretik dan pengembangan kerangka konseptual di atas, maka diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut. Metode pembelajaran bermain peran (role playing) akan berdampak positif terhadap peningkatan hasil belajar IPS siswa Kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung.

F. Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN Cihaurgeulis 2 yang berlokasi di Bandung. Penelitian dilakukan dari bulan April- Mei 2009.

G. Metode dan Desain Intervensi Tindakan
Berdasarkan tujuan penelitian, metode yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Model proses yang digunakan dalam penelitian menggunakan “sistem spiral refleksi diri menurut Kemmis dalam bukunya Kasihani Kasbolah” Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi (Kasbolah, 1998:113). Alur pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.


H. Data dan sumber data
1. Data pelaksanaan tindakan
Data yang dikumpulkan berkenaan dengan penelitian tindakan kelas adalah dalam bentuk instrumen, yang terdiri atas: lembar observasi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, lembar pengamatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran, foto, wawancara, dan tes tertulis.
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru kelas, guru bidang studi IPS dan siswa kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung.

I. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, yaitu mengumpulkan data melalui pengamatan langsung secara sistematis mengenai permasalahan yang akan diteliti, kemudian dibuat catatan, sesuai dengan hal tersebut. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi langsung.


J. Hasil Penelitian
1. Penguasaan Kompetensi Sosial Kognitif Berdasarkan Aspek Kognitif
Penguasaan kompetensi sosial kognitif berdasarkan aspek kognitif dilakukan untuk memetakan penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kompetensi sosial kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang digunakan dalam pengembangan isntrumen pengukuran kompetensi sosial kognitif. Aspek kognitif yang digunakan adalah pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4) dan sintesis (C5). Penyajian data didasarkan atas skor rata-rata dan nilai rata-rata. Skor rata-rata adalah rata-rata jumlah jawaban yang benar berdasarkan aspek. Sedangkan nilai rata-rata adalah nilai rata-rata peserta didik berdasarkan aspek tertentu yang telah dikonversi dalam skala 100.
Tabel 1 Penguasaan kompetensi sosial kognitif berdasarkan aspek kognitif
Kelas Aspek Kognitif Penguasaan
(C1) (C2) (C3) (C4) (C5)
SIKLUS I Nilai Rata-rata 72 64 54 52 45 57
SIKLUS II Nilai Rata-rata 85 80 68 62 62 71

Penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kognitif pada siklus I untuk aspek pengetahuan (C1) diperoleh nilai rata-rata sebesar 72 , aspek pemahaman (C2) sebesar 64 , aspek penerapan (C3) sebesar 54, aspek analisis (C4) sebesar 52, dan aspek sintesis (C5) sebesar 45. Dari kelima aspek tersebut diperoleh nilai rata-rata penguasaan peserta didik sebesar 57. Sedangkan penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kognitif pada siklus II untuk aspek pengetahuan (C1) diperoleh rata-rata sebesar 85, aspek pemahaman (C2) sebesar 80, aspek penerapan (C3) sebesar 68, aspek analisis (C4) 62, dan aspek sintesis (C5) sebesar 62. Dari kelima aspek tersebut diperoleh nilai rata-rata penguasaan materi peserta didik sebesar 71.
Hasil penguasaan kompetensi sosial kognitif peserta didik berdasarkan aspek kognitif menunjukkan peningkatan skor rata-rata antara siklus I dan Siklus II terjadi pada aspek pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan analisis (C4). Sedangkan untuk aspek kognitif sintesis (C5) tidak mengalami peningkatan.
Tabel 2 Penguasaan kompetensi sosial kognitif antara siklus I dan siklus II

Aspek Kognitif Keterangan
Pengetahuan (C1) Meningkat
Pemahaman (C2) Meningkat
Penerapan (C3) Meningkat
Analisis (C4) Meningkat
Sintesis (C5) Meningkat

2. Penguasaan Kompetensi Sosial Afektif Berdasarkan Aspek Afektif
Setelah mengetahui kompetensi sosial kognitif berdasarkan aspek kognitif, langkah selanjutnya adalah menentukan tingkat penguasaan kompetensi sosial afektif berdasarkan aspek afektif. Hal ini dilakukan untuk memetakan penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kompetensi sosial afektif. Aspek afektif yang digunakan adalah penerimaan (A1), partisipasi (A2), penilaian/penentuan sikap (A3), organisasi (A4) dan pembentukan pola hidup (A5). Penyajian data didasarkan atas skor rata-rata dan nilai rata-rata. Skor rata-rata adalah rata-rata jumlah skor jawaban angket pengukuran kompetensi sosial kognitif yang dikategorikan berdasarkan aspek afektif. Sedangkan nilai rata-rata adalah nilai rata-rata peserta didik yang diperoleh dari rata-rata jumlah skor jawaban angket setelah dikonversi dalam skala 100.




Tabel 3. Penguasaan kompetensi sosial Afektif berdasarkan aspek Afektif
Kelas Aspek Afektif Penguasaan
(A1) (A2) (A3) (A4) (A5)
SIKLUS I Nilai Rata-rata 68 65 70 66 70 68
SIKLUS II Nilai Rata-rata 81 82 78 72 82 79


Penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik berdasarkan aspek afektif pada siklus I untuk aspek penerimaan (A1) diperoleh nilai rata-rata sebesar 68, aspek partisipasi (A2) sebesar 65, aspek penilaian/penentuan sikap (A3) sebesar 70, aspek organisasi (A4) sebesar 66, dan pembentukan pola hidup (A5) sebesar 70. Dari kelima aspek tersebut diperoleh skor rata-rata penguasaan peserta didik sebesar 68. Sedangkan penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik berdasarkan aspek afektif pada siklus II untuk aspek penerimaan (A1) diperoleh skor rata-rata sebesar 81, aspek partisipasi (A2) sebesar 82, aspek penilaian/penentuan sikap (A3) sebesar 78, aspek organisasi (A4) sebesar 72, dan pembentukan pola hidup (A5) sebesar 82. Dari kelima aspek tersebut diperoleh nilai rata-rata penguasaan peserta didik sebesar 79.
Tabel 4. Penguasaan kompetensi sosial afektif antara siklus I dan siklus II

Aspek Afektif Keterangan
Penerimaan (A1) Meningkat
Partisipasi (A2) Meningkat
Penilaian/Penentuan Sikap (A3) Meningkat
Organisasi (A4) Meningkat
Pembentukan Pola Hidup (A5) Meningkat

Hasil penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik berdasarkan aspek afektif menunjukkan peningkatan nilai rata-rata antara siklus I dan siklus II terjadi pada aspek penerimaan (A1), partisipasi (A2), penilaian/penentuan sikap (A3), rganisasi (A4) dan pembentukan pola hidup (A5).

K. Pembahasan
1. Penerapan Pembelajaran Bermain Peran
Metode pembelajaran bermain peran (role playing) merupakan bagian dari kelompok model-model pembelajaran sosial yang didasarkan pada asumsi: (1) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dengan menggunakan proses-proses sosial, dan (2) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build in dan terus-menerus (Mulyani Sumantri, 2001).
Dalam bermain peran (role playing) siswa diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik pembelajaran (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Jadi, dalam pembelajaran peserta didik harus aktif. Tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi (Sardiman, 2001).
Dalam penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) sebagaimana telah diuraikan dalam rencana pembelajaran, secara garis besar langkah-langkah kegiatan pembelajaran terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti dan penutup.
a. Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan dapat dimulai dengan membuka pelajaran dan apersepsi. Membuka pelajaran dan apersepsi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan kesiapan mental dan menarik perhatian peserta didik secara optimal, agar mereka memusatkan diri sepenuhnya pada pelajaran yang akan disajikan untuk kepertingan tersebut. Menurut E. Mulyasa (2008) upaya-upaya dapat dilakukan oleh guru dalam membuka pelajaran dan apersepsi sebagai berikut: (1) Menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi yang akan disajikan; (2) Menyampaikan tujuan yang akan dicapai dan garis besar materi yang akan dipelajari; (3) Menyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan tugas-tugas yang harus diselesaikan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan; dan (4) Mendayagunakan media dan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang disajikan.
Mengajukan pertanyaan, baik untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap pelajaran yang telah lalu maupun untuk menjajagi kemampuan awal berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari.

b. Kegiatan Inti
Kegiatan inti pembelajaran dengan penerapan pembelajaran bermain peran (role palying) dalam penelitian ini terdiri dari pembentukan konsep, aplikasi konsep dan pemantapan konsep. Langkah pertama adalah pembentukan konsep, dilakukan dengan memberikan penjelasan tentang konsep materi yang sedang dipelajari. Langkah kedua dilakukan aplikasi konsep, untuk mengaplikasikan konsep dilakukan dengan permainan yaitu bermain peran. Sebelum dilakukan permainan peran, guru membuat setting permaian agar tampak sebagaimana mestinya. Misalnya, menjelaskan kepada peserta didik peran apa yang akan dimainkan. Menjelaskan tujuan dan aturan permainan kemudian dilanjutkan bermain peran sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Jika terjadi kesalahan dalam suatu tahapan, guru langsung melanjutkan ke tahapan berikutnya hingga permainan peran selesai. Setelah permainan peran selesai, guru bersama peserta didik mendiskusikan tentang aturan permainan yang semestinya, kemudian dilakukan pemeranan ulang. Biasanya pemeranan ulang lebih baik dari pemeranan pertama. Langkah ketiga dengan pemantapan konsep, pada tahap pemantapan konsep guru dapat mengkomunikasikan dan tanya jawab secara lisan konsep–konsep yang telah dipelajari. Kemudian diakhir dengan membuat kesimpulan/rangkuman.

c. Kegiatan Penutup
Menutup pelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk mengetahui pencapaian tujuan dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah dipelajari serta mengakhiri kegiatan pembelajaran. Untuk kepentingan tersebut guru dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Menarik kesimpulan mengenai materi yang telah dipelajari (kesimpulan bisa dilakukan oleh guru, oleh peserta didik atas permintaan guru atau oleh peserta didik bersama guru); (2) Mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan dan keefektifan pembelajaran yang telah dilaksanakan; (3) Menyampaikan bahan-bahan pemdalaman yang harus dipelajari dan tugas-tugas yang harus dikerjakan sesuai dengan pokok bahasan yang telah dipelajari; dan (4) Memberikan post tes baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.
Hasil pengamatan terhadap penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) antara lain: (1) pada awalnya keberanian dan kemampuan berkomunikasi peserta didik khususnya dalam berbicara di depan kelas dapat dikategorikan masih rendah. Hal ini dapat dilihat pada saat pertama kali memilih partisipan, tidak ada peserta didik yang secara sukarela menjadi partisipan bahkan saat guru menunjuk peserta didik untuk menjadi partisipan, beberapa diantara peserta didik menolak dan tidak berani menjadi partisipan. Disamping itu juga dapat diamati pada saat peserta didik memainkan peran di depan teman-temannya masih gemetaran dan merasa canggung (tidak percaya diri). Kondisi seperti ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan peserta didik dalam pembelajaran sebelumnya; (2) Bermain peran dapat memberikan semacam hidden practise, dimana peserta didik tanpa sadar telah melakukan suatu interaksi dan kumunikasi berupa ungkapan-ungkapan tentang konsep materi pembelajaran; (3) Bermain peran melibatkan peserta didik aktif melakukan aktivitas berupa pengalaman-pengalaman sesuai dengan perannya aktivitas berkoperasi; (4) Bermain peran dapat memberikan kepada peserta didik kesenangan karena bermain peran pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain peserta didik akan merasa senang karena bermain adalah dunia peserta didik. (5) Dalam pelaksanaan permain peran selanjutnya, rasa percaya diri peserta didik tampak lebih baik dibandingkan pada siklus sebelumnya. Komunikasi antar partisipan lebih leluasa dalam memainkan peran, suasana pembelajaran tampak lebih meriah apalagi permainan peran melibatkan partisipan dengan kelompok yang besar.

2. Penguasaan Kompetensi Sosial Kognitif
Dalam penelitian ini, salah satu aspek yang diukur sebagai hasil belajar adalah kompetensi sosial kognitif. Kompetensi sosial kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir termasuk di dalamnya kemampuan memahami, menghafal, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi dalam tatanan ilmu pengetahuan sosial. Menurut Taksonomi Bloom (Mimin Haryati, 2007), kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir secara hierarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berpikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut pesrta didik untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi sosial kognitif peserta didik, sebagai salah satu aspek yang diukur dari penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) dapat dilihat dari hasil pretest dan postest. Data hasil siklus I dan siklus II diperoleh dari hasil pengujian dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa test objektif pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“.
Data hasil siklus I dan siklus II kompetensi sosial kognitif tersebut kemudian diolah dan dikelompokkan untuk mengetahui penguasaan kompete peserta didik sosial kognitif pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“. Dari hasil pengolahan data siklus I menunjukkan nilai rata-rata penguasaan kompetensi sosial koginitif mengalami peningkatan padi siklus II. Dengan demikian dapat disimpulkan penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan kompetensi sosial kognitif peserta didik dalam pembelajaran IPS materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“.

3. Penguasaan Kompetensi Sosial Afektif
Setelah kompetensi sosial kognitif, aspek lain yang diukur dalam penelitian sebagai hasil belajar adalah kompetensi sosial afektif. Kompetensi sosial kognitif berhubungan dengan penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup.
Data hasil siklus I dan siklus II kompetensi sosial afektif tersebut kemudian diolah dan dikelompokkan untuk mengetahui penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“. Dari hasil pengolahan data siklus I menunjukkan nilai rata-rata penguasaan kompetensi sosial afektif mengalami peningkatan pada siklus II. Dengan demikian dapat disimpulkan penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan kompetensi sosial afektif siswa dalam pembelajaran IPS materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“.

4. Peranan Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Terhadap Kompetensi Sosial Kognitif Peserta Didik Dalam Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar.
Kompetensi merupakan kecakapan hidup (life skill) yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kecakapan hidup merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusinya sehingga mampu mengatasinya (Mimin Haryati, 2007). Dalam lingkup pendidikan IPS, Pendidikan IPS ditingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitude and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2008).
Dalam pembelajaran bermain peran, peserta didik mengkaji masalah-masalah hubungan manusia dengan memerankan situasi–situasi masalah, kemudian mendiskusikannya. Siswa dapat menjelajah dan mengkaji perasaan, sikap, nilai dan strategi pemecahan masalah. Metode pembelajaran bermain peran memungkinkan individu untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial dan memecahkan dilema-dilema dengan bantuan kelompok sosial. Pada dimensi sosial metode pembelajaran bermain peran memungkinkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial. Terutama permasalahan interpersonal, dalam mengembangkan cara-cara yang demokratis untuk menghadapi situasi tersebut.
Dengan demikian ditinjau dari kompetensi sosial kognitif, penerapan metode bermain peran mampu meningkatkan hasil belajar siswa, yaitu semakin membaiknya nilai rata-rata sesudah penerapan metode bermain peran dibandingkan dengan nilai sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan Nurasia (2009), bahwa penerapan pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

5. Peranan Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Terhadap Kompetensi Sosial Afektif Peserta Didik Dalam Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar.
Selain kompetensi sosial kognitif, kompetensi lain yang menjadi tolak ukur penguasaan siswa sebagai proses dan hasil pembelajaran dari penerapan pembelajaran bermain peran adalah kompetensi sosial afektif. Kompetensi sosial afektif penerimaan (receiving), partisipasi (responding), penilaian/penentuan sikap (valuing), organisasi (organizantion) dan pembentukan pola hidup (characterization by value or value complex), Mimin Haryati (2007). Secara umum afektif adalah aspek kepribadian yang berkenaan dengan perasaan, sikap, nilai dan moral seseorang. Di dalam berperasaan manusia mengadakan penilaian terhadap objek-objek yang dihadapi atau dihayatinya apakah itu suatu benda, suatu peristiwa atau seseorang, baginya berharga/bernilai atau tidak.
Demikian juga peserta didik dalam menghayati nilai dari pembelajaran di sekolah lewat alam perasaannya. Pengalaman belajar dinilai secara spontan, apakah bermakna bagi siswa atau tidak. Penilaian dilakukan secara keseluruhan pengalaman belajar di sekolah maupun masing-masing bidang studi bersama dengan tenaga pengajarnya. Menurut Winkel (1996), penilaian yang spontan melalui alam perasaan ini amat berperan terhadap gairah dan semangat belajar. Menurut Pophan dalam Mimin Haryati (2007), bahwa ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Artinya ranah afektif sangat menentukan keberhasilan seorang peserta didik untuk mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran. Seorang peserta didik tidak akan memiliki minat atau karakter terhadap mata ajar tertentu, maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan belajar secara maksimal. Sedangkan peserta didik yang memiliki minat atau karakter terhadap mata ajar, maka hal itu akan sangat membantu untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.
Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk: (1) Menggali perasaannya, (2) Memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsinya, (3) Mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) Mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Hal ini bermanfaat bagi peserta didik pada saat terjun ke masyarakat kelak, karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi dimana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja dan lain-lain. (Hamzah B. Uno, 2007).

L. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang upaya peningkatan hasil belajar IPS Peserta Didik kelas IV di SDN Cihaurgeulis 2 Bandung melalui penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing). Berikut ini dapat diuraikan beberapa kesimpulan:
1. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap refleksi peserta didik dalam proses pembelajaran dengan penerapan pembelajaran metode bermain peran, terdapat beberapa perubahan, antara lain:
a. Penerapan pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
b. Peserta didik memiliki keberanian dalam memainkan peran sebagai partisipan, mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat teman.
c. Dalam melakukan pemeranan, peserta dididk mampu menjaga etika bermain peran, memimpin diskusi, bekerja sama, tanggung jawab, mencari dan mengolah informasi, menganalisis dan membuat simpulan.
d. Bermain peran dapat menumbuhkan sikap kritis, demokratis dan kreatif peserta didik dalam menyikapi persoalan yang dihadapi pada saat pembelajaran.
2. Pengaruh penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) terhadap kompetensi sosial kognitif peserta didik dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar dapat meningkatkan kompetensi sosial kognitif siswa yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kompetensi sosial kognitif pada siklus I dan siklus II.
3. Pengaruh penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) terhadap kompetensi sosial afektif siswa dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar dapat meningkatkan kompetensi sosial afektif peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kompetensi sosial kognitif pada siklus I dan siklus II.

Dari temuan hasil penelitian menunjukan penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar, dapat diuraikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dapat meningkatkan kompetensi sosial kognitif dan kompetensi sosial afektif. Dalam meningkatkan kompetensi sosial kognitif, dan kompetensi sosial afektif, penerapan metode pembelajaran bemain peran dapat melibatkan peserta didik sebagai partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata dan keinginan untuk mengatasinya.
2. Metode pembelajaran bermain juga dapat diterapkan sebagai metode pembelajaran untuk pendalaman materi dan remedial. Dengan menerapkan metode pembelajaran bermain peran dapat memungkinkan peserta didik tidak merasa jenuh atau bosan terhadap pembelajaran. Karena pembelajaran bermain peran adalah metode pembelajaran yang dikemas dalam bentuk permainan.
3. Sebelum penerapan metode pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran, perlu mempertimbangkan materi yang akan diajarkan, media yang dibutuhkan serta jumlah peserta didik. Jika tidak, maka proses dan hasil pembelajaran kurang maksimal. Misalnya untuk kelas yang besar harus membuat suatu permainan yang membutuhkan partisipan yang banyak, sehingga peserta pembelajaran ikut berpartisipasi sekaligus aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan karakteristik peserta didik sekolah dasar yang secara umum belajar secara puas efektif ketika mereka puas dengan situasi yang terjadi (Basset, et al., dalam Muhammad Ali, 2007). Metode pembelajaran bermain peran harus dapat melibatkan peserta didik secara aktif baik sebagai partisipan maupun sebagai pengamat. Dengan keterlibatan siswa secara aktif memungkinkan siswa merasa puas dengan tanggung jawab dan situasi yang terjadi.








DAFTAR PUSTAKA
Akdon. (2008). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian untuk Administrasi dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruchi
BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Hamzah B. Uno (2008), Model Pembelajaran – Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif, Jakarta: Bumi Aksara.
Hamzah B. Uno (2008), Perencanaan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan S. Hamid (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
M. Numan Somantri (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Mimin Haryati (2007), Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press.
Mudairin (2003), Role Play: Suatu Alternatif Pembelajaran Yang Efektif Dan Menyenangkan Dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, http://pakguruonline.pendidikan.net
Muhammad Ali (2007), Teori dan Praktek Pembelajaran Pendidikan Dasar, Modul Pembelajaran Mahasiswa Pasca Sarajana Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.
Muhibbin Syah (2007), Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Mulyani Sumantri & Nana Syaodih (2007), Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Universitas Terbuka.
Mulyani Sumantri & Johar Permana (2001), Strategi Belajar Mengajar, Bandung: CV. Maulana.
Mulyasa, E. (2008), Menjadi Guru Profesional – Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosdakara
Nurasia (2009 ), “Penerapan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Untuk Meningkatkan Kemampuan Apresiasi Drama - Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Cimanggung, Kabupaten Sumedang” http://ind.sps.upi.edu/?p=175
Sagala, Syaiful (2007). Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung Alfabeta
Sapriya & Susilawati & Nurdin, S. (2006), Konsep Dasar IPS. Bandung, UPI Press.
Suharsimi Arikunto (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Suharsimi Arikunto (2006). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sumaatmadja, Nursid dkk. (1997), Materi Pokok Konsep Dasar IPS. Jakarta Universitas Terbuka.
Suparno, Paul (2001), Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

TEORI SISTEM (3)

TEORI SISTEM UMUM
By: Sri Hendrawati

Teori sistem merujuk pada serangkaian pernyataan mengenai hubungan diantara variabel dependen dan independen yang diasumsikan berinteraksi satu sama lain. Artinya perubahan dalam satu atau lebih dari satu variabel bersamaan atau disusul dengan perubahan variabel lain atau kombinasi variabel.
Anatol Rapoport menyatakan, “satu kesatuan yang berfungsi sebagai satu kesatuan karena bagian-bagian yang saling bergantung dan sebuah metode yang bertujuan menemukan bagaimana sistem ini menyebabkan sistem yang lebih luas yang disebut sistem teori umum”.

Teori sistem umum terutama menekankan perlunya memeriksa seluruh bagian sistem. Sering sekali seorang analis terlalu memusatkan perhatian hanya pada satu komponen sistem, yang berarti dia telah mengambil tindakan yang mungkin tidak efektif, karena beberapa komponen yang penting diabaikan.

Teori sistem umum dilandasi oleh asumsi bahwa hukum-hukum dan konsep-konsep membentuk pondasi bidang-bidang yang beragam, seperti biologi dan fisiologi dalam ilmu kaealaman, ekonomi dan psikologi dalam ilmu social. Pengenalan dan identifikasi hukum-hukum dan prinsip-prinsip dapat digunakan untuk menyatukan ilmu. Jadi konsep dasarnya adalah hal-hal terjadi berkat multi sebab dan multi akibat/efek.

Berikut ini adalah beberapa dasar bagi teori sistem yang dikemukakan oleh para ahli:


Penemu teori sistem umum (general sistem theory) adalah seorang ahli biologi, Van Bertalanffy, yang mulai menulis tentang general sistem theory sekitar tahun 1920 samapi ia meninggal pada tahun 1972. Van Bertalanffy menyarankan bahwa pemahaman terhadap bagian-bagian tidaklah cukup, artinya penting sekali untuk memahami hubungan antara bagian-bagian tersebut. Baginya, general sistem theory adalah suatu bidang logic mathematical field yang bertugas memformulasikan dan mendapatkan prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan untuk sistem-sistem pada umumnya.
Handerson menyatakan bahwa saling ketergantungan antara variabel-variabel dalam suatu sistem adalah salah satu induksi yang terluas dari pengalaman yang kita miliki, atau yang dapat kita anggap sebagai definisi sistem.

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa suatu sistem adalah a series of interrelated and interdependent parts, such that the interaction or interplay of any of the sub sistems (parts) affects the whole (Bowditch,38).

Bila kita menggunakan pendekatan sistem, interaksi dan interdepedensi antara sub-sub sistem paling tidak sepenting seperti komponen-komponen individual, misalnya sebuah mobil terdiri dari sejumlah sub sistem, yang bila semua subsistemnya bekerja maka mobil tersebut dapat bergerak, tetapi bila salah satu sub sistemnya rusak maka akan mempengaruhi keseluruhan sistem tersebut.

K.Boulding mengungkapkan ada 9 tingkatan sistem mulai dari yang paling sederhana sampai pada tingkat yang paling kompleks (rumit). Tingkat-tingkat itu berbeda satu dengan yang lainnya berdasarkan kerumitan dan keterbukaannya terhadap pengaruh luar untuk berubah.
Adapun tingkat-tingkat sistem tersebut sebagai berikut :

1. Static structure, keteraturan planet dalam solar sistem
2. Simple, dynamic sistem - most machine and most of Newtonian physiscs
3. Cybernetics sistem-mekanisme control, missal thermostat
4. Open sistem-the self-perpetuating structure, missal sebuah set.
5. Genetic –societal sistem-division of labor, yang meliputi sub-sub sistem,
misalnya tanaman.
6. Animal sistem-meliputi kesadaran diri dan mobilitas sebaik seperti sub-sub sistem khusus untuk menerima dan memproses informasi dari dunia luar.
7. Human system- meliputi kapasitas bagi kesadaran diri dan sadar diri dan menggunakan simbolisme untuk mengkomunikasikan ide-ide.
8. Social organization-human sebagai sub sistem dalam organisasi yang lebih luas atau sistem
9. Transcendental sistem-alternatif-alternatif dan sasuatu yang tak dapat diketahui untuk ditemukan.

Tingkatan tersebut membentuk hierarki, dimana tingkat 1 merupakan tingkatan paling sederhana, tingkat 2 lebih kompleks dari tingkat 1, demikian seterusnya sehingga didapatkan bahwa tingkat 9 adalah tingkatan yang paling kompleks,

Sistem merupakan sebuah konsep yang abstrak. Definisi tradisional menyatakan bahwa sistem adalah seperangkat komponen atau unsure-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya adalah sebuah sepeda, sepeda adalah suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen seperti roda, pedal, kemudi dan sebagainya. Tetapi dalam arti yang luas, sepeda dsebenarnya adalah suatu sub sistem atau komponen dari sistem transportasi, di samping alat transportasi lainnya seperti mobil, motor, truk , dan sebagainya.

Berdasarkan ilustrasi tersebut berarti bahwa suatu sistem dapat menjadi sebuah subsistem dari suatu sistem yang lebih kompleks. Hal ini mengandung pengertian bahwa adanya suatu sistem itu dipengaruhi oleh pertimbangan kita yang menganggap sesuatu itu merupakan suatu sistem. Kita sendiri yang menentukan batas-batas antara sistem dan komponen-komponen suatu sistem. Dengan kata lain, perpaduan susb-sub sistem ditentukan oleh yang menyatakan bahwa sesuatu itu adalah suatu sistem. Itu sebabnya suatu sistem pada hakekatnya adalah sistem of interest. Berdasarkan rumusan ini dapat dijelaskan hubungan-hubungan pokok antara sistem dan lingkungan , yakni antara input dari lingkungan dengan sistem dan antara output dan sistem dengan lingkungan.
Konsep ini menjadi dasar untuk mengidentifikasi tujuan sistem. Tujuan sistem dapat bersifat alami atau bersifat buatan manuasia. Tujuan yang alami tak mungkin menjadi tujuan-tujuan yang tinggi tingkatannya bahkan mungkin bernilai sangat rendah. Tujuan-tujuan buatan manusia (man made) dapat berubah, karena tujuan-tujuan itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan, sedangkan lingkungan senantiasa berubah, yang disebabkan adanya perubahan lingkungan atau karena tujuan itu bersifat perorangan. Misalnya : timbulnya perubahan sistem ekologi dikarenakan terjadinya polusi. Timbulnya sistem social yang baru adalah sebagai reaksi terhadap perubahan peradaban/kebudayaan. Jelaslah perubahan tujuan sistem adalah sebagai jawaban terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan.

TEORI SISTEM (2)

PENGERTIAN SISTEM
By: Sri Hendrawati

Istilah sistem bukan sesuatu yang baru. Sejak masa Ariestoteles, istilah tersebut telah digunakan. Ariestoteles menyarankan bahwa keseluruhan lebih luas daripada jumlah bagian-bagian. Dewasa ini istilah tersebut telah digunakan secara luas, namun luas pula terjadinya kekeliruan pemahamannya. Seringkali kita baca di surat kabar tentang weapon sistem, communication sistem, record sistem. Di bidang astronomi digunakan the solar sistem, dibidang fisiologi ada yang disebut digestive sistem, the nervous sistem, dan the circulatory sistem, di bidang fisika ada yang disebut the atomic sistem. Jadi istilah sistem memang sangat banyak digunakan, kendatipun sering kurang bermakna.

Sistem adalah hubungan secara fungsional dan konsisten antara bagian-bagian yang terkandung dalam suatyu hal atau barang sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Hubungan seperti itu dalam rangka mencapai tujuan, yaitu kebenaran ilmiah. Cara pandang, metode dan sistem merupakan hal yang sangat menentukan tercapainya kebenaran ilmiah.

Sistem ini mempunyai daya kerja aktif yang menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang telah ditentukan dalam metode yang daiatur sedemikian rupa sehingga kontinuitas dan konsistensi daya kerja metode itu mencapai tujuan akhir.
Sebuah sistem bisa longgar atau ketat, stabil atau tidak stabil. Sistem lebih kecil yang disebut subsistem mungkin hidup dalam sistem yang lebih luas. Sebuah sistem memiliki batas-batas yang membedakan dari lingkungan. Setiap sistem merupakan jaringan komunikasi yang membuka aliran informasi untuk proses penyesuaian diri. Setiap sistem memiliki inputs dan outputs. Sebuah output satu sistem mungkin menjadi input sistem lain yang biasa juga disebut “feedback”.
Untuk dapat dapat memahami atau mendefinisikan sebuah sistem terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menerangkannya,yaitu dengan cara:

a. Pendekatan Prosedur

Pendekatan prosedur adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang berupa urutan kegiatan yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Prosedur adalah "rangkaian operasi klerikal (tulis menulis), yang melibatkan beberapa orang di dalam satu atau lebih departemen yang digunakan untuk menjamin penanganan yang seragam dari transaksi-transaksi bisnis yang terjadi serta untuk menyelesaikan suatu kegiatan tertentu". Urutan kegiatan digunakan untuk menjelaskan apa (what) yang harus dikerjakan, siapa (who) yang mengerjakannya, kapan (when) dikerjakan dan bagaimana (how) mengerjakannya.

b. Pendekatan Komponen/elemen

Pendekatan komponen/elemen adalah kumpulan komponen yang saling berkaitan dan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa sub-sub sistem, dan sub-sub sistem tersebut dapat pula terdiri dari beberapa sub-sub sistem yang lebih kecil.

Contoh :
Sistem Akuntansi terdiri dari sub sistem akuntansi penjualan, sub sistem akuntansi pembelian, sub sistem akuntansi penggajian dan sub sistem akuntansi biaya, dengan dokumen-dokumen dasar sebagai komponennya, seperti buku jurnal, buku besar, buku pembantu, neraca saldo, laporan rugi/laba, dan laporan perubahan modal.

TEORI SISTEM (1)

PENGERTIAN DAN FUNGSI TEORI
By: Sri Hendrawati

Teori merupakan suatu set atau sistem pernyataan (set of a statement) yang menjelaskan serangkaian hal. Ada tiga karakteristik utama sistem pernyataan suatu teori.

Pertama adalah bahwa pernyataan dalam suatu teori bersifat memadukan (unifying statement). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kaplan (1964,hlm.295) bahwa:

“A theory is a way of making sense of disturbingsituation, so as to allow us to allow us most effectively to bring to bear our reverfoiice of habits, and even more important, to modify habits or discard them together, reflacing new ones as the situations demans. And the reconstructured logic, accordingly, theory will appear as the device for interpreting, criticizing, and unifying established laws, modifying them to fit data unanticipated in their formation, and guiding the enterprise of discovering new and more powerful generalizations.”


Hal senada dikemukakan pula oleh Hall dan Lindsay (1970) yang menekankan sifat unifying sebuah teori dan diperkuat oleh pernyataan Snow (1973) bahwa “ in its simplest form, a theory is a symbolic instruction designed to bring generalizable fact (or laws) into sistematic connection. It consist of : a set of units (facts,concept, variables) and a sistem of relationships among the units.”

Karakteristik kedua adalah bahwa pernyataan sebuah teori berisi kaidah-kaidah yang bersifat universal (universal preposition). Hal ini didefinisikan oleh Rose (1953) bahwa karakteristik pernyataan sebuah teori meliputi definisi, asumsi, dan kaidah-kaidah umum. Dalam rumusan yang lebih kompleks, teori ini juga menyangkut hukum-hukum, hipotesis, dan deduksi-deduksi logis matematis.

Karakteristik ketiga merupakan ciri utama suatu teori, yaitu bahwa pernyataan sebuah teori bersifat meramalkan (predictive statement). Teori harus mampu menjangkau ke depan,, bukan hanya menggambarkan apa adanya, melainkan memiliki sifat meramalkan apa yang akan terjadi atas suatu hal. Hal ini dikemukakan oleh Travers (1960) bahwa “…a theory consist of generalizations intended to explain phenomena and that the generalizations must be predictive”.

Kerlinger (1973) mengemukakan definisi teori dengan suatu rumusan yang lebih menyeluruh yang mengandung tiga karakteristik utama suatu teori (unifying, universal preposition, dan predictive) kerlinger mengemukakan bahwa: “a theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions and preposition that present a sistematic view of phenomena by spscifying relations among variables with the purpose of explaining and predicting phenomena.”

Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut, maka dapat diperoleh suatu gambaran teori menjelaskan suatu kejadian yang menunjukkan suatu set yang universal. Adapun set yang universal ini terbentuk oleh tiga bagian. Bagian pertama adalah kejadian yang diketahui yang dinyatakan sebagai fakta, hokum atau prinsip. Bagian kedua dinyatakan dengan asumsi, preposisi dan postulat. Sedangkan bagian ketiga merupakan bagian dari set universal atau bagian dari keseluruhan yang belum diketahui. Menurut Sukmadinata (2002) , visualisasi hubungan antara bagian-bagian tersebut dapat dilihat pada bagian berikut:



Keterangan :
ABC = set universal (keseluruhan)
A = kejadian-kejadian yang diketahui
B = kejadian-kejadian yang diasumsikan
C = kejadian-kejadian yang tidak diketahui

Teori yang dirumuskan memiliki beberapa fungsi, secara umum fungsi teori diantaranya adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan memprediksi suatu hal. Brodbeck (1963) menambahkan bahwa “ a theory not oly explains and predict, it also unifies phenomena.”

Suatu teori dapat digunakan untuk mensistematikkan penemuan-penemuan penelitian dan memeberi arti pada peristiwa-peristiwa yang kelihatannya tidak saling berhubungan. Sebuah teori juga merupakan suatu generator yang tidak ternilai dari hipotesa-hipotesa penelitian. Salah satu kegunaan teori adalah untuk menyampaikan pada para ilmuwan tempat menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Suatu teori yang baik dapat menghemat usaha-usaha yang tidak berguna dengan menunjukkan dimana kiranya letak segi keuntungan bila dilakukan suatu penelitian. Nilai heuristika yang dimiliki teori sangat penting untuk sebuah penelitian pada berbagai tingkatan. Namun perlu diperhatikan bahwa keuntungan ini dapat ditinjau dari dua segi. Suatu teori yang kurang baik konstruksinya atau suatu teori yang salah dalam pokok-pokok dasarnya, dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang salah, dank arena itu menyebabkan dilakukannya penelitian yang tidak terarah.

Mouly (1970) mengemukakan beberapa ciri-ciri suatu teori yang baik, yaitu:
1. A theoritical sistem must permit deduction which be tested empirically.
2. A theory must be compatible both with observation and with previously validated theories.
3. Theories must be stated in simple terms, that theory is best which explains the most in the simplest form.
4. Scientific theories must be based on empirical facts and relationships.

Sebuah teori dapat digunakan untuk melakukan perediksi. Fungsi ini mirip dengan fungsi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa teori dapat melahirkan hipotesa-hipotesa, tetapi dengan implikasi yang lebih kuat. Suatu teori bukan hanya membawa ilmuwan pada pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan berguna, melainkan teori juga dapat memperlihatkan apa yang diharapkannya untuk ditemukan, bila seseorang telah melakukan penelitian, eksperimen atau pengamatan.

Teori juga dapat digunakan untuk menjelaskan, dalam arti bahwa fungsi teori dalam hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa. Mengapa terjadi peristiwa-peristiwa tertentu, dan mengapa manipulasi suatu variable dapat menghasilkan perubahan pada variable yang lainnya. Banyak kejadian yang ditentukan atau disebabakan oleh factor-faktor yang tidak diketahui, atau diketahui secara tidak sempurna, sehingga menuntut penjelasan secara teoritis.

Fungsi menjelaskan dari suatu teori luas sekali, dan kerap kali disalahgunakan. Setiap kejadian dapat dijelaskan oleh suatu teori selalma penjelasan itu masuk akal dan paling sedikit melibatkan kejadian yang diamati (Dahar). Suatu teori yang adekuat, bukan hanya menjelaskan dengan cara past hoc, melainkan dengan cara menghubung-hubungkan beberapa kejadian, kejadian yang satu dikaitkan dengan kejadian yang lainnya. Dengan demikian teori merupakan generator penjelasan-penjelasan.

Dalam usaha mendeskripsikan, menjelaskan dan membuat prediksi, para ahli terus mencari dan menemukan hukum-hukum baru dan hubungan-hubungan baru di antara hukum-hukum tersebut. Melalui proses demikian mungkin terjadi di dalam suatu det kejadian, semua hukum dan interelasinya dapat dinyatakan dalam teori itu telah berkembang menjadi hukum yang lebih tinggi. Para ahli teori mencari hubungan baru dengan menggabungkan beberapa set kejadian menjadi suatu set kejadian yang baru yang lebih universal. Hal tersebut mendorong pencarian dan pengkajian selanjutnya untuk menemukan hukum-hukum bar dan hubungan baru dalam suatu teori baru. Sehingga diperoleh fungsi yang lebih besar dari suatu teori yaitu melahirkan teori baru.

Proses pembentukan suatu teori atau bagaimana proses teori berlangsung menurut Sukmadinata, terjadi melalui beberapa langkah sebagai berikut:

a. Pendefinisian istilah merupakan hal yang sangat penting dalam berteori, terutama berkenaan dengan kejelasan atau ketepatan penggunaan istilah yang telah didefinisikan.

b. Klasifikasi yaitu pengelompokkan informasi-informasi yang relevan dengan kategori-kategori yang sejenis. Klasifikasi juga merupakan pengelompokkan fakta dan generalisasi ke dalam kelompok-kelompok yang homogen, tetapi tidak menjelaskan interelasi antar kelompok atau interaksi antara fakta dengan generalisasi dalam suatu kelompok.

c. Induksi dan deduksi merupakan dua proses penting dalam mengembangkan pernyataan –pernyataan teoritis setelah pendefinisian dan pengklasifikasian. Induksi merupakan proses penarikan kesimpulan yang lebih bersifat umum dari fakta-fakta atau hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan deduksi merupakan penurunan kaidah-kaidah khusus dari kaidah yang lebih umum.

d. Pembentukkan suatu teori yang kompleks mungkin berpangkal dari inferensi-inferensi yaitu penyimpulan dari apa yang diaamati. Inferensi mungkin ditarik melalui perumusan asumsi, hipotesis, dan generalisasi dari hasil-hasil observasi. Sesuai dengan fungsi dari teori yaitu memberikan prediksi, teori juga berkembang melalui prediksi dan penelitian. Ada prediksi yang dibuktikan dengan suatu penelitian, tetapi ada juga prediksi yang tetap sebagai prsdiksi saja.

e. Cakupan teori sering menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak dan kompleks, maka untuk memberikan gambaran yang lebih konkret dan sederhana dibuatlah model-model. Model ini menggambarkan kejadian-kejadian serta interaksi antara kejadian.

f. Suatu teori yang telah mapan dan komprehensif mendorong untuk terbentuknya sub-subteori. Subteori ini cenderung memperluans lingkup dari suatu teroi dan juga memberikan penyempurnaan.

TOTAL QUALITY MANAGEMENT (5)

FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN TQM
By: Sri Hendrawati, M.Pd

Menurut Nanang Fattah dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah, diungkapkan bahwa ada dua faktor yang dapat menyebabkan kegagalan penerapan TQM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern organisasi yang akan diuraikan di bawah ini.

1. Faktor Intern Organisasi

a. Top manajemen tidak melaksanakan komitmennya.

Hampir semua pakar TQM sependapat bahwa salah satu fungsi pokok keberhasilan tau kegagalan implementasi TQM adalah management commitmen. Apabila manajemen mempunyai dan memegang teguh komitmennya . Kemungkinan besar mereka akan berhasil. Sebaliknya , apabila mereka kurang komitmen bisa dipastikan bahwa organisasi akan mengalami kegagalan mencapai TQM. Komitmen ini setidaknya, menurut Dobbind(1995) meliputi tiga hal, yaitu waktu, antusiatitas( enthusiasm) dan tersedianya sumber-sumber(resource) dalam organisasi. Komitmen terhadap waktu ini merupakan kesadaran manajemen bahwa implementasi TQM, tergantung pada kondisi perusahaan, memerlukan pengorbanan waktu . dalam hal ini manajemen harus menyediakan waktu yang cukup berkonsentrasi pada TQM . Antusiatitas mengacu kepada konsisten manajemendalam mempertahankan keinginannya memperbaiki kualitas. Sedangkan sumber-sumber mengacu kepada tersedianya sumber yang berkualitas sesuai dengan target tingkatkualitas tertentu yang diharapkan. Selain itu, komitmen manajemen, menurut Corrigan (1995) , dapat pula berupa support yang serius dan leadership yang menumbuhkan motivasi. Komitmen ini bukan hanya diucapkan oleh para manajer, yang berupa slogan-slogan semata, tapi dapat dilihat dari kacamata dan dirasakan oleh para karyawan -managements crebility is in the workers eyes (Anand. 1995) Seluruh staf dan karyawan akan merasakan adanya komitmen manajemen. Dengan kata lain, slogan-slogan atau motto dan omongan saja tidaklah cukup tanpa diikuti oleh tindakan nyata manajemenyang mengarah pada quality. Namun harus diingat, bahwa untuk membuktikan keseriusan manajemen tidaklah mudah. Ini bisa dilacak melalui action research, long – period observation atau keyakinan para subordinate.

b. Komitmen manajemen ini harus diikuti dengan employee imvolvement.

Kurangnya mengikutsertakan seluruh lapisan manajemen dan karyawan , baik secara individu maupun sebagai suatu kelompok, departemen atau bagian, menimbulkan rasa kurang bertanggung jawab. Dengan kata lain kurangnya memeran sertakan karyawan dalam masalah kualitas akan menyebabkan orang merasa bahwa masalah kualitas hanya tanggungjawab bagian quality control, bukan tanggung jawab semua orang. Padahal setiap individu dalam suatu organisasi adalah ikut menentukan tingkat keberhasilan kualitas yang dicapai.

c. Drensek dan Grubb (1995) menambahkan bahwa struktur organisasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan TQM juga menjadi penghambat.

TQM menghendaki struktur yang dengan jelas menetapkan tanggungjawab dan prioritas bagi setiap anggota team. Prioritas mengacu pada pengertian bahwa tidak ada bagian atau seseorang yang tugasnya lebih pentingdari pada yang lain.semua tugas mempunyai tingkat “penting” yang sama sesuai dengan sifat tugas itu. Sehingga yang membedakan adalah prioritas urutan tugas. Bila struktur itu tidak terjadi, perusahaan akan mengalami kendala pencapaian TQM.

d. Lack of understanding tentang apa yang dimaksud dengan filosofi TQM.

Kekurangan-kekurangan ini menjelma dalam beberapa tindakan. Hoover (1995) mengungkapkan bahwa seringkali manajemen mengharapkan terlalu banyak dan terlalu cepat akan hasilnya. Karena kelihatannya mudah untukimplementasi TQM, sehingga mencapai word-class quality. Manajemen beranggapan bahwa filosofi ini dapat diterapkan pada segala keadaan (circumstances) dan budaya. Kekurang pahaman ini, menurut Corrigan (1995) , tercermin pada besarnya antusias manajemen pada awal dimulainya TQM, namun antusias itu segera hilang karena ketidaksabaran. Akibatnya yang negative adalah tidak maunya berpartisipasi pada usaha-usaha TQM atau ketidak mauan merubah kebiasaan (behavior). Semua ini disebabkan karena kurang training.

e. Meskipun bukan dalam rangka TQM , training yang berkesinambungan bagi segenap anggota organisasi adalah penting,

Tujuan training yang berkesinambungan yaitu mencapai apa yang dimaksud dengan learning organization dimana pengetahuan menyebar pada segenap lapisan manajemen . Karena sukses itu, Anderson et al (1995) mengklaim, memerlukan pengembangan organisasi yang selalu membangun dan secara ajeg (continually) memperbaharui kemampuan bersaing dalam segala fungsinya. Salah satu cara yaitu melalui penyelenggaraan training yang berkelanjutan. Lebih-lebih dalam usaha meningkatkan kualitas, training secara menyeluruh merupaka salah satu persyaratanyang tidak bia ditinggalkan . kembali pada usaha enerapan TQM, kurangnya training yang memadai juga merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan.

f. Selain tidak konsisten dalam mencapai tujuan, leadership (kepemimpinan) yang kurang memadai, Corrigan ( 1995) menambahkan, juga merupakan salah satu hambatan yang harus direduksi.

Kelemahan yang lazim yaitu menyamakan masalah kepemimpinan dengan mekanisme kerja mesin. Padahal kepemimpinan adalah produk aktivitas social. Ia bukan dan berbeda dari ilmu eksata dimana melalui suatu proses tertentu akan menghasilkan output yang sama ( hoover, 1995) kepemimpinan itu bersifat spesifik, sehingga tidak dapat digeneralisasi. Kepemimpinan ini memerlukan responsibility and ownership (Corrigan). Menurut Corrigan. Komitmen manajemen mengarah pada bagaimana memerankan personel dan responsibilitynya. Sedangkan ownership mengacu pada bagaimana eksekutif memahami dan menerima bahwa perubahan kultur organisasi harus dimulai dari perubahan kebisaan (behavior) pada level manajemen.

g. Berikutnya yaitu masalah sumber daya manusia (SDM) kelemahan yang ada lazimnya berupa tidak memadainya SDM yang tersedia untuk mencapai tingkat kaulitas tertentu.

Hal ini mungkin saja ditimbulkan karena proses requitment kurang baik atau manajemen hanya mementingkan biaya pegawai yang murah . asumsinya, yaitu bila kualitas SDM rendah bisa dibayar dengan gaji yang relatif rendah pula. Tetapi kendalanya, yaitu akan mempengaruhi kualitas organisasi secara keseluruhan. Selain itu adanya kemungkinan manajemen menekankan kualitas secara teknik (technical quality) atau mengkonsentasikan pada kualitas produk tetapi melupakan kualitas SDM.

h. Hal lain yang ada kaitannya dengan masalah manusia yaitu keengganan manusia untuk menerima perubahan ( employee resistance) terhadap kemapanan meskipun perubahan itu menawarkan sesuatu yang lebih baik.

Kecenderungannya, karyawan yang sudah bekerja lama pada suatu organisasi (senior) itu tidak mau berubah. Padahal penerapan filosofi TQM itu menghendaki adanya perubahan furdamental dalam struktur berfikir dan bertidak secara dinamis yang mungkin bertentangan dengan pola kemapanan. Factor keengganan ini harus disadarai betul adanya , kemudian dicari dan diindentifikasi penyebabnya, kemudian diusahakan pemecahannya. Employee Resistence ini diklaim sebagai faktor yang paling sulit untuk diubah. Untuk itu dilakukan perubahan melalui pendekatan sosio-kultural. Kegagalan mengatasi hal ini berdampak pada kegagalan penerapan TQM secara tidak langsung.

i. Lengahnya manajemen terhadap dampak sosial akibat perubahan lingkungan kerja.

Meskipun telah disebutkan bahwa TQM membawa perubahan ke arah yang lebih baik , namun manajemen harus tetap mempertimbangkan dampak perubahan sosial yang akan terjadi . Hal ini berkaitan dengan aspek emosi (rasa) manusia. Manajemen tidak boleh melupakan hal ini, karena manusia itu sejak lahir sudah dilengkapi dengan emosi rasa. Oleh karena itu manajemen sudah mempertimbangkan kemungkinan ini sejak awal dimulainya program TQM.

j. Penyebab kegagalan intern lainnya yaitu faktor cost, manajemen mengabaikan perhitungan aspek pembiayaan , sehingga pembiayaan TQM melebihi hasil yang biasa diraih.

Salah satu implementasi TQM adalah untuk memperbaiki pula posisi keuangan(financial performance) Apabila setelah menerapakan TQm perusahaan malah mengalami kondisi keuangan yang semangkin memburuk, bererti terdapat sesuatu yang tidak benar . jadi seharusnya dengan implementasi TQM , perusahaan akan memperbaiki kondisi keuangannya. Jadi pertimbangan biaya adalah mutlak dilakukan sebelum program TQM dimulai. Namun yang harus diingat dalam membandingkan antara biaya dan manfaat yaitu periode (jangka) waktu. Karena biaya pengeluaran program TQM jelas tidak akan kembali dalam waktu satu tahun. Ia akan kembali setelah perusahaan mencapai tingkat kualitas yang diharapkan.

k. Menekankan segala bentuk kenaikan biaya.

Penyebab kegagalan yang relevan dengan pengorbanan yaitu perbaikan kualitas tidak diikuti oleh penyesuaian-penyesuaian (alignment) antara hak dan kewajiban yang seimbang (award system) Peningkatan kaulitas harus disertai oleh adanya peningkatan (reward). Adalah sesuatu yang tidak mungkin bila kita menungtut sesuatu yang lebih, member imbalan yang memadai , antara lain berbentuk kenaikan upah/gajiyang sesuai diperlukan agar usaha pencapaian TQM mendapat support yang kontinyu.

l. Selain pengorbanan material (uang) , manajemen juga dituntut pengorbanan lainnya, yaitu waktu.

Manajemen harus meluangkan waktu yang cukup dan berkonsentrasi penuh terhadap program TQM. Di samping waktu yang disediakan oleh manajemen harus pula dasar akan waktu untuk mencapai target kualitas yang diinginkn. Pencapaian target ini selalu melalui proses yang seringkali makan waktu yang cukup panjang. Kegagalannya yaitu karena manajemen menghendaki perubahan yang cepat dan melupakan masalah proses.

m. Faktor intern yang terakhir problem solving techniques.

Karyawan tidak diberi kesempatan memecahkan masalah mereka sendiri. Seakan-akan pemecahan ,masalah adalah tanggung jawab supervisor. Ada hal seperti yang telah ditegaskan oleh Drensek dan Grubb (1995) , karyawan sebetulnya yang paling mengetahui penyebab suatu problem, sehingga mereka harus tahu dan mampu memecahkan problemnya pula. Sedangkan supervisor biasanya hanya berusaha menghilangkan atau mematikan api dari pada menyelesaikan masalah, oleh karenanya , sebaiknya supervisor bersama-sama dengan fasilitator atau consultan, bertindak selaku penengah dan nara sumber dalam masalah problem solving yang dilakukan oleh karyawan ( lihat juga Hoover , 1995)

2. Faktor Ekstern Organisasi

Dilihat dari sudut pengaruh extern organisasi, bahwa kegagalan implementasi TQM terutama disebabkan karena dua hal pokok, yaitu peran supplier dan consumer. Peran supplier dalam hal ini mengacu pada external supplier bukan internal supplier.

a. Ketidakmampuan mengontrol kualitas produk supplier

Di Indonesia cukup sulit untuk menentukan dan mengontrol kualitas produk bahan baku yang di suplai supplier. Kesulitan itu antara lain karena sifatnya, misalnya produk alami, dan dikuasai oleh supplier (monopoli). Tetapi yang menjadi problem yaitu belum terbiasanya perusahaan membuat kerjasama dalam bidang kualitas antara penjual dan pembeli (Bemowski 1995, Roosevelt,1995). Tujuannya membentuk produk yang memenuhi standar pembeli. Sebagian penjual masih berprinsip menjual sebanyak mungkin. Padahal , peran supplier itu penting dalam pengertian bila kualitas bahan baku itu telah sesuai dengan standar perusahaan berarti proses produksi telah dimulai dengan standar yang diharapkan, berarti manajemen dapat mengkonsentrasikan tindakan kualitas pada elemen manajemen yang lain. untuk mencapai TQM diperlukan supplier yang mau membuat hubungan kerjasama timbal- balik yang sesuai dengan rencana pengembangan perusahaan

b. Kurang memfokuskan pada konsumen

Manajemen kurang menaruh perhatian akan kepentingan konsumen. Kelemahan yang sering terjadi yaitu” manajemen kurang medengarkan keluhan, keinginan dan penapat konsumen” (lihat bemowski 1995 ; hoover , 1995) sehingga manajemen kurang peka terhadap keinginan konsumen. Bagian marketing yang sering berhubungan dengan konsumen harus difungsikan pula sebagai information gatherer and tracer.

c. Lack of guidance

Akhirnya selain masalah supplier dan konsumen, faktor eksternal lain yaitu lack of guidance. Konsultan kurang memberi pengarahan atau manajemen perusahaan tidak sepenuhnya memberi kepercayaan pada konsultan , sehingga konsultan kurang berperan. Hal ini berkaitan dengan kurang konsisten dan komitmen dari manajemen. Dengan alasan klasik, “ masalah kerahasiaan”, manajemen bertindak kurang terbuka. Kekurangterbukaan ini mengakibatkan adanya keluhan dan menjadikan konsultan sebagai kambing hitam , sehingga menimbulkan anggapan bahwa konsultan kurang professional.

13 Desember 2010

TOTAL QUALITY MANAGEMENT (4)

ELEMEN PENDUKUNG DALAM TQM
By: Sri Hendrawati, M.Pd

Penerapan TQM dapat berhasil jika didukung oleh elemen-elemen yang sinergis dan mengacu pada peningkatan mutu. Elemen-elemen pendukung TQM dimaksud adalah sebagai berikut ;

1. Kepemimpinan

Kepemimpinan menurut Sondang P.Siagian (1985;6) merupakan inti dari manajemen, karena merupakan motor penggerak dari semua sumber-sumber dan alat-alat yang tersedia bagi suatu organisasi. Dalam perspektif TQM, kepemimpinan didasarkan pada filosofi bahwa perbaikan metode dan proses kerja secara berkesinambungan akan dapat memperbaiki kualitas, biaya dan produktivitas, dan pada gilirannya juga dapat meningkatkan daya saing. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, baik kebutuhan bekerja, motivasi, financial dan kebutuhan lainnya yang pantas didapatkannya.

2. Pendidikan dan Pelatihan

Mutu didasarkan pada keterampilan setiap karyawan yang pengertiannya tentang apa yang dibutuhkan oleh pelanggan ini mencakup mendidik dan melatih semua karyawan, memberikan informasi yang mereka butuhkan untuk menjamin perbaikan mutu dan memecahkan persoalan. Pelatihan inti ini memastikan bahwa suatu bahasa dan suatu set alat yang sama akan diperbaiki di seluruh perusahaan. Pelatihan tambahan pada bench marking, statistik, dan teknik lainnya juga digunakan dalam rangka mencapai kepuasan pelanggan yang paripurna.

3. Struktur Pendukung

Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, sekolah harus mampu membangun network yang dapat meningkatkan kualitas dan daya saing. Peranan stakeholder seperti komite sekolah, orangtua murid, masyarakat serta lembaga lainnya yang terkait birokrasi dengan sekolah hendaknya merupakan kesatuan yang solid dan memiliki visi dan misi yang sama untuk perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peranan struktur pendukung sangat penting dan sekolah harus melibatkan partisipasi mereka dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah sehingga tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan dan rasa kepemilikan sekolah menjadi milik bersama.

4. Komunikasi

Peranan komunikasi dalam suatu penciptaan mutu sangat penting untuk menghasilkan komitmen yang sungguh-sungguh dalam melakukan perubahan, perbaikan dan usaha peningkatan mutu. Komunikasi diantara setiap elemen dalam TQM harus terjalin dengan harmonis dan lancar, setiap unsur atau elemen memiliki peran, fungsi, wewenang yang jelas dan tidak tumpang tindih sehingga mempermudah arus komunikasi yang dibangun diantara mereka.

5. Ganjaran dan Pengakuan

Tim individu yang berhasil menerapkan proses mutu harus diakui dan mungkin diberi ganjaran sehingga karyawan lainnya sebagai anggota organisasi akan mengetahui apa yang diharapkan. Gagal mengenali seseorang mencapai sukses dengan menggunakan proses menejemen mutu terpadu akan memberikan kesan bahwa ini bukan arah menuju pekerjaan yang sukses dan menungkinkan promosi atau sukses individu secara menyeluruh. Jadi, pada dasarnya karyawan yang berhasil mencapai mutu tertentu harus diakui dan diberi ganjaran agar dapat menjadi panutan/contoh bagi karyawan lainnya.

6. Pengukuran

Penggunaan data hasil pengukuran menjadi sangat penting di dalam menetapkan proses manajemen mutu. Penjelasan, pendapat harus diganti dengan data dan setiap orang harus diberi tahu bahwa yang penting bukan yang dipikirkan, melainkan yang diketahuinya berdasarkan data. Di dalam menentukan penggunaan data, kepuasan pelanggan eksternal harus diukur untuk menentukan seberapa jauh pengetahuan pelanggan bahwa kebutuhan mereka benar-benar dipenuhi.

Di samping keenam elemen pendukung di atas, ada unsur yang tidak bisa diabaikan, yaitu gaya kepemimpinan dalam organisasi/perusahaan bersangkutan. Suatu cara/gaya bagaimana seorang manajer sebagai seorang pimpinan melakukan sesuatu sangat berpengaruh pada pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh bawahan/karyawan. Terdapat 13 hal yang perlu dimiliki oleh seorang pimpinan dalam manajemen mutu terpadu, yaitu sebagai berikut.

1. Pimpinan mendasarkan keputusan pada data, bukan pendapat saja.
2. Pimpinan merupakan pelatih dan fasilitator bagi setiap individu/bawahan.
3. Pimpinan harus secara aktif terlibat dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh bawahan.
4. Pimpinan harus bisa membangun komitmen, yang menjamin bahwa setiap orang memahami misi, visi, nilai, dan target perusahaan yang jelas.
5. Pimpinan dapat membangun dan memelihara kepercayaan.
6. Pimpinan harus paham betul untuk mengucapkan terima kasih kepada bawahan yang berhasil/berjasa.
7. Aktif mengadakan kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan yang terprogram.
8. Berorientasi selalu pada pelanggan internal/eksternal.
9. Pandai menilai situasi dan kemampuan orang lain secara tepat.
10. Dapat menciptakan suasana kerja yang sangat menyenangkan.
11. Mau mendengar dan menyadari kesalahan.
12. Selalu berusaha memperbaiki sistem dan banyak berimprovisasi.
13. Bersedia belajar kapan saja dan di mana saja.

10 Desember 2010

TOTAL QUALITY MANAGEMENT DALAM PENDIDIKAN (3)

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TQM DALAM PENDIDIKAN
By: Sri Hendrawati, M.Pd

Penerapan Total Quality Management dipermudah oleh beberapa piranti, yang sering disebut “alat TQM”. Alat-alat ini membantu kita menganalisis dan mengerti masalah-masalah serta membantu membuat perencanaan. Delapan alat TQM yang diuraikan adalah sebagai berikut.

1. Curah pendapat (sumbang saran) - Brainstorming
Curah pendapat adalah alat perencanaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas kelompok. Curah pendapat dipakai, antara lain untuk menentukan sebab-sebab yang mungkin dari suatu masalah atau merencanakan langkah-langkah suatu kegiatan, penyusunan program kerja sekolah misalnya.
2. Diagram alur (bagan arus proses)
Bagan arus proses adalah satu alat perencanaan dan analisis yang digunakan, antara lain untuk menyusun gambar proses tahap demi tahap untuk tujuan analisis, diskusi, atau komunikasi dan menemukan wilayah-wilayah perbaikan dalam proses.
3. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah dengan kerangka Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Analisis SWOT penting sekali dilakukan untuk memahami sejauh mana potensi yang dimiliki sekolah, bagaimana sekolah menyusun strategi untuk meningkatkan kinerjanya dengan mengoptimalkan kelebihan yang dimilikinya, meminimalkan kelemahannya, serta mampu menghadapi tantangan dan mempunyai keberanian memanfaatkan peluang yang dimilikinya demi kemajuan pendidikan di sekolah.
4. Ranking preferensi
Alat ini merupakan suatu alat interpretasi yang dapat digunakan untuk memilih gagasan dan pemecahan masalah di antara beberapa alternatif. Dengan alat ini, sekolah dapat menentukan skala prioritas dalam menetapkan sasaran atau target yang ingin ditempuh dalam menjalankan program kerjanya. Sehingga visi , misi sekolah dapat direalisasikan melalui program jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
5. Analisis tulang ikan
Analisis tulang ikan (juga dikenal sebagai diagram sebab-akibat) merupakan alat analisis, antara lain untuk mengkategorikan berbagai sebab potensial dari suatu masalah dan menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses.
6. Penilaian kritis
Penilaian kritis adalah alat bantu analisis yang dapat digunakan untuk memeriksa setiap proses manufaktur, perakitan, atau jasa. Alat ini membantu kita untuk memikirkan apakah proses itu memang dibutuhkan, tepat, dan apakah ada alternatif yang lebih baik.
7. Benchmarking
Benchmarking adalah proses pengumpulan dan analisis data dari organisasi kita dan dibandingkan dengan keadaan di dalam organisasi lain. Hasil dari proses ini akan menjadi patokan untuk memperbaiki organisasi kita secara terus menerus. Tujuan benchmarking adalah bagaimana organisasi kita bisa dikembangkan sehingga menjadi yang terbaik. Sekolah dapat melakukan studi komparatif untuk mengadopsi inovasi yang diterapkan oleh sekolah lain disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan sekolah untuk meningkatkan kinerja dan daya saing.
8. Diagram analisa medan daya (bidang kekuatan)
Diagram medan daya merupakan suatu alat analisis yang dapat digunakan, antara lain untuk mengidentifikasi berbagai kendala dalam mencapai suatu sasaran dan mengidentifikasi berbagai sebab yang mungkin serta pemecahan dari suatu masalah atau peluang.

Penerapan TQM di sekolah menuntut beberapa syarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan TQM dapat sesuai dengan harapan, adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
a. Setiap sekolah/satuan pendidikan harus secara terus menerus melakukan perbaikan mutu lulusan serta pelayanan pendidikan sehingga dapat memuaskan para pelanggan.
b. Sekolah dapat memberikan kepuasan kerja kepada tenaga pendidik dan kependidikan,
c. Sekolah memiliki wawasan jauh ke depan dan selalu melakukan inovasi untuk meningkatkan kinerjanya.
d. Sekolah harus fokus pada proses pendidikan dan tidak semata-mata menitik beratkan pada hasil saja.
e. Sekolah sebaiknya mamp menciptakan iklim kerja yang kondusif dimana setiap unsure diberi kesemparan untuk aktif berpartisipasi dalam menciptakan keunggulan mutu.
f. Ciptakan kepemimpinan pensisikan di sekolah yang berorientasi pada bawahan dan aktif memotivasi elemen di bawahnya, bukan dengan cara otoriter sehingga diperoleh suasana kondusif bagi lahirnya ide-ide baru.
g. Sekolah harus pandai memberikan reinforcement, apakah berbentuk reward ataupun berbentuk punishment kepada mereka yang berhak menerimanya. Kesediaan memberikan ganjaran atau pengakuan bagi mereka yang memiliki kinerja yang baik serta kejelasan pemberian sanksi bagi mereka yang lalai dalam tugasnya, untuk kemudian melalui proses pembinaan, sekolah mampu memberikan maaf dan kesempatan bagi yang belum berhasil/berbuat salah.
h. Sekolah harus mampu mengarsipkan data atau dokumen sekolah dengan tertib administrasi. Dalam setiap pengambilan keputusan , hendaknya berdasarkan pada data, baru berdasarkan pengalaman dan pendapat.
i. Dalam melaksanakan program kerja, setiap langkah kegiatan harus selalu terukur jelas sehingga pengawasan lebih mudah. Peran supervise dan pengawasan menjadi hal yang penting dalam evaluasi kegiatan demi perbaikan dan peningkatan kinerja sekolah.
j. Pemberdayaan guru dengan meningkatkan kualitas SDM dapat ditempuh melalui kegiatan pembinaan, dan pelatihan guru. Peran KKG dan MGMP menjadi sangat krusial dan penting bagi peningkatan kinerja guru.

Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu di sekolah, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam sekolah tersebut yang disebut siswa. Siswa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers), karena siswa langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari sekolah tersebut. Siswa terkait dengan orang yang mengirimnya ke sekolah, yaitu orang tua. Oleh sebab itu orangtua disebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari interen lembaga; mereka itu adalah para guru dan tenaga administrasi di sekolah, serta pimpinan sekolah (internal customers). Walaupun para para guru/ dan tenaga administrasi, serta pimpinan sekolah tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan sekolah untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas para siswanya, maka mereka diuntungkan, baik secara kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan di sekolah haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.

Sebagai contoh dari penerapan 14 prinsip-prinsip pencapaian mutu Edward Deming, kita bisa mengaplikasikan pada sekolah. Uraian tentang penerapan prinsip-prinsip tersebut, dapat meliputi hal-hal berikut:
(1) Untuk menjadi sekolah yang bermutu diperlukan komitmen dan usaha yang sungguh-sungguh dari segenap unsur di dalamnya.
(2) Sekolah yang bermutu adalah yang secara keseluruhan memberikan kepuasan kepada masyarakat pelanggannya, artinya harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi dengan jasa yang diberikan oleh sekolah tersebut. Kebutuhan pelanggan misalnya siswa adalah berkembangnya potensi dan kemampuan yang dimilikinya selalma mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, sehingga menghasilkan lulusan yang mandiri dan memang dibutuhkan oleh masyarakat.
(3) Dalam sekolah yang bermutu tumbuh dan berkembang kerjasama yang baik antar sesama unsur didalamnya untuk mencapai mutu yang ditetapkan.
(4) Diperlukan pimpinan sekolah yang mampu memotivasi, mengarahkan, dan mempermudah serta mempercepat proses perbaikan mutu. Kepemimpinan haruslah yang membuat orang kemudian merasa lebih berdaya, sehingga yang dipimpin mampu melaksanakan tugas pekerjaannya lebih baik dan hasil yang lebih baik pula.
(5) Sekolah mengupayakan perbaikan mutu secara berkelanjutan. Untuk ini standar mutu yang ditetapkan sebelumnya selalu dievaluasi dan diperbaiki sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Misalnya dalam menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal sekolah, maka diperlukan peningkatan dari tahun ke tahun.
(6) Segala keputusan untuk perbaikan mutu pelayanan pendidikan/pengajaran selalu didasarkan data dan fakta untuk menghindari adanya kelemahan dan keraguan dalam pelaksananannya. Penyajian data dan fakta dapat ditunjang dengan berbagai alat dan teknik untuk perbaikan mutu yang bisa dianalisis dan disimpulkan, sehingga tidak menyesatkan.
(7) Hendaknya sekolah mampu menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan kalender pendidikan yang disusun oleh sekolah dan mengacu pada kalender pendidikan yang disusun secara nasional. Budaya disiplin, tepat waktu serta pengalokasian waktu secara cermat dapat meningkatkan kinerja sekolah dan iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan.
(8) Tradisikan pertemuan antar pengajar dan siswa untuk mereview proses belajar-mengajar dalam rangka memperbaiki pendidikan/pengajaran yang bemutu. Pertemuan dengan orang tua siswa, pertemuan dengan tokoh masyarakat, dengan alumni, pemerintah daerah, pengusaha dan donatur dapat dilakukan oleh sekolah untuk menggalang partisipasi mereka dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Berdasarkan hal-hal diatas, dapat diperoleh gambaran bahwa pada intinya mutu pendidikan merupakan akumulasi dari semua mutu jasa pelayan yang ada di lembaga pendidikan yang diterima oleh para pelanggannya. Layanan pendidikan adalah suatu proses yang panjang, dan kegiatannya yang satu dipengaruhi oleh kegiatannya yang lain. Bila semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan tersebut akan mencapai hasil yang baik, berupa “mutu terpadu”.

TOTAL QUALITY MANAGEMENT

TOTAL QUALITY MANAGEMENT DALAM PENDIDIKAN (2)
OLEH:
SRI HENDRAWATI, M.PD

ULASAN 2

TUJUAN, PRINSIP, DAN UNSUR UTAMA TQM

Tujuan utama TQM adalah meningkatkan mutu pekerjaan, memperbaiki produktivitas dan efisiensi. TQM sebagai suatu prosedur untuk mencapai kesuksesan, dinilai berhasil manakala mutu dari suatu pekerjaan meningkat lebih baik kualitasnya dari sebelumnya, produktivitasnya tinggi yang ditunjukkan dengan hasil kerja berupa produk/jasa lebih banyak jumlahnya dari sebelumnya, dan lebih efisien yang bisa diartikan lebih murah biaya produksinya atau input lebih kecil daripada outputnya.
Tujuan selanjutnya dari Total Quality Management adalah perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus. Dengan demikian, juga Quality Management sendiri yang harus dilaksanakan secara terus-menerus. Sejak tahun 1950-an pola pikir mengenai mutu terpadu atau TQM sudah muncul di daratan Amerika dan Jepang dan akhirnya Koji Kobayashi, salah satu CEO of NEC, diklaim sebagai orang pertama yang mempopulerkan TQM, yang dia lakukan pada saat memberikan pidato pada pemberian penghargaan Deming prize di tahun 1974 (Deming prize, established in December 1950 in honor of W. Edwards Deming, was originally designed to reward Japanese companies for major advances in quality improvement. Over the years it has grown, under the guidance of Japanese Union of Scientists and Engineers (JUSE) to where it is now also available to non-Japanese companies, albeit usually operating in Japan, and also to individuals recognised as having made major contributions to the advancement of quality.)

Banyak perusahaan Jepang yang memperoleh sukses global karena memasarkan produk yang sangat bermutu. Perusahaan/organisasi yang ingin mengikuti perlombaan/ bersaing untuk meraih laba/manfaat tidak ada jalan lain kecuali harus menerapkan Total Quality Management. Philip Kolter (1994) mengatakan “Quality is our best assurance of custemer allegiance, our strongest defence against foreign competition and the only path to sustair growth and earnings”.

Di Jepang, TQM dirangkum menjadi empat langkah, yaitu sebagai berikut.
- Kaizen: difokuskan pada improvisasi proses berkelanjutan (continuous Improvement) sehingga proses yang terjadi pada organisasi menjadi visible (dapat dilihat), repeatable (dapat dilakukan secara berulang-ulang), dan measurable (dapat diukur).
- Atarimae Hinshitsu: berfokus pada efek intangible pada proses dan optimisasi dari efek tersebut.
- Kansei: meneliti cara penggunaan produk oleh konsumen untuk peningkatan kualitas produk itu sendiri.
- Miryokuteki Hinshitsu: manajemen taktis yang digunakan dalam produk yang siap untuk diperdagangkan.


Menurut Hensler dan Brunell (dalam Scheuing dan Christopher,1993,pp.165-166), ada empat prinsip utama dalam TQM. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kepuasan Pelanggan
Dalam TQM, konsep pelanggan dan mutu diperluas, sehingga dimaknai bahwa mutu tidak hanya semata-mata kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu saja, melainkan ditentukan pula oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam berbagai aspek, termasuk di dalamnya harga, keamanan dan ketepatan waktu. Dalam konteks pendidikan, pelanggan meliputi siswa, orangtua serta masyarakat pengguna jasa dari lulusan suatu sekolah.
2. Respek Terhadap setiap Orang
Dalam TQM, karyawan dipandang sevagai individu yang unik yang memiliki talenta dan kreativitasnya masing-masing.dengan demikian karyawan memiliki nilai yang sangat berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu karyawan diberi kesempatan untuk ikut terlibat dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan di dalam perusahaan. Dalam konteks pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan merupakan asset sekolah yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan, oleh karena itu penyiapan, perekrutan dan pembinaan bagi mereka adalah upaya yang harus ditempuh dengan sungguh-sungguh untuk memberdayakannya agar efektif dan efisien.
3. Manajemen Berdasarkan Fakta
Perusahaan yang menerapkan TQM, berorientasi pada fakta. Hal ini berarti bahwa data atau dokumentasi menjadi sangat penting bagi perusahaan, sehingga tidak semata-mata mengandalkan feeling atau naluri saja. Fakta berbicara. Demikian pula halnya dalam pendidikan, data prestasi sekolah, misalnya, adalah fakta yang menentukan bagi perumusan program sekolah, perbaikan dan peningkatan kinerja sekolah selanjutnya
4. Perbaikan Berkesinambungan
Agar perusahaan dapat sukses, maka diperlukan langkah-langkah yang sistematis untuk mewujudkannya, terutama dalam melakukan perbaikan yang berkesinambungan. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan siklus PDCA (plan-do-check-act), yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksanaan hasil dan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh.


Menurut Slamet (1999), ada lima unsur utama dalam penerapan TQM, yaitu: (1) berfokus pada pelanggan, (2) perbaikan pada proses secara sistematik, (3) pemikiran jangka panjang, (4) pengembangan sumberdaya manusia, dan (5) komitmen pada mutu (Slamet,1999).

Manajemen mutu terpadu (TQM) berfokus pada pelanggan. Pelanggan adalah sosok yang dilayani. Perhatian dipusatkan pada kebutuhan dan harapan para pelanggan. Untuk ini setiap yang akan melaksanakan TQM harus mengetahui ciri-ciri pelanggan-pelanggannya, dan karena itu maka harus mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan harapan pelanggan tersebut agar bisa memuaskannya. Produk/jasa yang dibuat atau diberikan haruslah bertumpu pada pelanggan. Perbaikan pada proses secara sistematik, menunjuk pada kondisi dimana setiap kegiatan hendaknya direncanakan dengan baik, dilaksanakan secara cermat, dan hasilnya dievaluasi dibandingkan dengan standar mutu yang ditentukan sebelumnya. Selain itu, bahwa setiap prosedur kerja yang sedang dilaksanakan juga perlu ditinjau apakah telah mendatangkan hasil yang diharapkan. Bila tidak, maka prosedur itu perlu diubah dan diganti dengan yang lebih baik dan sesuai. Jadi disini, harus ada keterbukaan dan kesediaan berubah dan menggantikan hal yang lama dengan hal ayng baru jika memang diperlukan. Ini berlaku bagi multilevel, baik dari tingkat pimpinan sampai dengan staf terbawah. Pemikiran jangka panjang menunjuk pada visi dan misi lembaga. Visi dan misi lembaga harus dirumuskan dan dicapai bersama oleh segenap unsur dalam lembaga, kemana arah lembaga akan tertuju untuk jangka panjang. Suatu kegiatan staf atau siapapun dalam lembaga tersebut harus dapat ditelusuri mampu menyumbang apa dan seberapa kepada pencapaian visi dan misi lembaga. Disilah maka, untuk menerapkan TQM dipersyaratkan adanya pimpinan yang memiliki visi jangka panjang, berkemampuan kerja keras, tekun dan tabah mengemban misi, disiplin, dan memiliki sikap kepelayanan yang baik misalnya: kepedulian terhadap staf, sopan dan berbudi, sabar, bijaksana, bersahabat dan bersedia membantu sesama dalam lembaga tersebut.

Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi kata kunci dalam penerapan TQM. Semua anggota atau bagian dari lembaga tersebut harus berusaha menguasai kompetensi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam lembaga harus terjadi suasana saling belajar, segala sumber belajar dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi masing-masing staf. Bagaikan suatu bangunan, lemahnya SDM dalam bagian tertentu dalam lembaga akan mengganggupencapaian visi dan misi, sehingga harus diperbaiki/ ditingkatkan. Unsur lainnya adalah komitmen pada mutu. Semua kegiatan lembaga harus diorientasikan pada pencapaian mutu. Harus ada kesadaran dan keyakinan bagi seluruh anggota atau bagian dalam lembaga akan perlunya mutu kinerja masing-masing, dan karenanya harus ada tekat dan rasa keterikatan yang kuat untuk menjada dan meningkatkan mutu kerja masing-masing yang menyokong mutu lembaga. Dengan adanya komitmen pada mutu, akan mampu menggerakkan usaha-usaha yang terus menerus untuk meningkatkan mutu, sehingga tidak akan menyerah pada kendala-kendala dan kesulitan-kesulitan yang menghadang diperjalanan menerapkan TQM dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga penghasil produk/jasa, yaitu:
1. Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga penghasil produk/jasa (stakeholders) . Dalam hal ini terutama antara pimpinan/pemilik lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga tersebut.
2. Perlunya ditumbuh-kembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu produk/jasa. Setiap orang harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3. Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan TQM bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.
4. Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil produksi/jasa. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan produk/jasa yang bermutu sesuai yang diharapkan.


Cara lain untuk mencapai suatu mutu dari produk/jasa, menurut Edward Deming (Salis, 1993) terdapat 14 prinsip yang harus dilakukan, yaitu:
1. Tumbuhkan terus menerus tekad yang kuat dan perlunya rencana jangka panjang berdasarkan visi ke depan dan inovasi baru untuk meraih mutu.
2. Adopsi filosofi yang baru. Termasuk didalamnya adalah cara-cara atau metode baru dalam bekerja.
3. Hentikan ketergantungan pada pengawasan jika ingin meraih mutu. Setiap orang yang terlibat karena sudah bertekat mencipkan mutu hasil produk/jasanya, ada atau tidak ada pengawasan haruslah selalu menjaga mutu kinerja masing-masing .
4. Hentikan hubungan kerja yang hanya atas dasar harga. Harga harus selalu terkait dengan nilai kualitas produk atau jasa.
5. Selamanya harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kualitas dan produktivitas dalam setiap kegiatan.
6. Lembagakan pelatihan sambil bekerja (on the job training), karena pelatihan adalah alat yang dahsyat untuk pengembangan kualitas kerja untuk semua tingkatan dalam unsur lembaga.
7. Lembagakan kepemimpinan yang yang membantu setiap orang untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik misalnya: membina, memfasilitasi, membantu mengatasi kendala dll.)
8. Hilangkan sumber-sumber penghalang komunikasi antar bagian dan antar individu dalam lembaga.
9. Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang merasa takut dalam organisasi agar mereka dapat bekerja secara efektif dan efisien.
10. Hilangkan slogan-slogan dan keharusan-keharusan kepada staf. Hal seperti itu biasanya hanya akan menimbulkan hubungan yang tidak baik antara atasan dan bawahan; atau lebih jauh akan menjadi penyebab rendahnya mutu dan produktivitas pada sisten organisasi; bawahan hanya bekerja sekedar memenuhi keharusan saja.
11. Hilangkan kuota atau target-target kuantitatif belaka. Bekerja dengan menekankan pada target kuantitatif sering melupakan kualitas.
12. Singkirkan penghalang yang merebut/merampas hak para pimpinan dan pelaksana untuk bangga dengan hasil kerjanya masing-masing.
13. Lembagakan program pendidikan dan pelatihan untuk pengem-bangan diri bagi semua orang dalam lembaga. Setiap orang harus sadar bahwa sebagai profesional harus selalu meningkatkan kemampuan dirinya, dan
14. Libatkan semua orang dalam lembaga ikut dalam proses transformasi menuju peningkatan mutu. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa ikut serta dalam usaha memperbaiki mutu produk/jasa yang diusahakan.


Pendapat lain tentang bagiamana mencapai mutu yaitu dari Philip Crosby ( Salis, 1993), bahwa terdapat 14 langkah, meliputi:
a. Komitmen pada pimpinan. Inisiatif pencapaian mutu pada umumnya oleh pimpinan dan dikomunikasikan sebagai kebijakan secara jelas dan dimengerti oleh seluruh unsur pelaksana lembaga.
b. Bentuk tim perbaikan mutu yang bertugas merumuskan dan mengendalikan program peningkatan mutu.
c. Buatlah pengukuran mutu, dengan cara tentukan baseline data saat program peningkatan mutu dimulai, dan tentukan standar mutu yang diinginkan sebagai patokan. Dalam penentuan standar mutu libatkanlah pelanggan agar dapat diketahui harapan dan kebutuhan mereka.
d. Menghitung biaya mutu. Setiap mutu dari suatu produk/jasa dihitung termasuk didalamnya antara lain: kalau terjadi pengulangan pekerjaan jika terjadi kesalahan, inspeksi/supervisi, dan test/ percobaan.
e. Membangkitkan kesadaran akan mutu bagi setiap orang yang terlibat dalam proses produksi/jasa dalam lembaga.
f. Melakukan tindakan perbaikan. Untuk ini perlu metodologi yang sistematis agar tindakan yang dilakukan cocok dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, dan karenanya perlu dibuat suatu seri tugas-tugas tim dalam agenda yang cermat. Selama pelaksanaan sebaiknya dilakukan pertemuan regular agar didapat feed back dari mereka.
g. Lakukan perencanaan kerja tanpa cacat (zero deffect planning) dari pimpinan sampai pada seluruh staf pelaksana.
h. Adakan pelatihan pada tingkat pimpinan (supervisor training) untuk mengetahui peranan mereka masing-masing dalam proses pencapaian mutu, teristimewa bagi pimpinan tingkat menengah. Lebih lanjut juga bagi pimpinan tingkat bawah dan pelaksananya.
i. Adakan hari tanpa cacat, untuk menciptakan komitmen dan kesadaran tentang pentingnya pengembangan staf.
j. Goal Setting. Setiap tim/bagian merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan tepat dan harus dapat diukur keberhasilannya.
k. Berusaha menghilangkan penyebab kesalahan . Ini berarti sekaligus melakukan usaha perbaikan. Salah satu dari usaha ini adalah adanya kesempatan staf mengkomunikasikan kepada atasannya mana diantara pekerjaannya yang sulit dilakukan.
l. Harus ada pengakuan atas prestasi (recognition) bukan berupa uang, tapi misalnya penghargaan atau sertifikat dan lainnya sejenis.
m. Bentuk suatu Komisi Mutu, yang secara profesional akan merencanakan usaha-usaha perbaikan mutu dan menonetor secara berkelanjutan, dan
n. Lakukan berulangkali, karena program mencapai mutu tak pernah akan berakir.