Proses Memperoleh Pengetahuan Menurut Piaget
Oleh: Sri Hendrawati, M.PdBanyak sekali teori belajar yang menggambarkan bagaimana siswa belajar dan memperoleh pengetahuannya, salah satunya adalah teori kognitif Piaget. Piaget erupakan salah satu tokoh pendidikan yang sangat berjasa yang membantu pemahaman kita mengenai perkembangan kognitif terutama pada anak dan remaja. Piaget memang tidak mengkhususkan penelitiannya untuk perkembangan dunia pendidikan, namun hasil dari penelitiannya sangat relevan dan membantu kita dalam memahami perkembangan individu dalam aspek kognitif, bagaimana siswa memperoleh pengetahuan dan bagaimana siswa belajar.
Istilah kognitif
berasal dari bahasa latin “cognoscre”
yang berarti mengetahui (to know).
Dalam Peterson(1996,685), cognition berarti a general term for thought or intellectual
function. Cognition involves mental processes such as
perseptioning,reasoning,language,judgement and imagination.
Istilah kognitif ini
erat kaitannya dengan konsep intelektual atau intelegensia. Claparede dan Stern
mendefinisikan intelegensia sebagai suatu adaptasi mental pada lingkungan baru
(Piaget,1981,halm.9 dalam Suparno,2001). Gardner (2003,hal.83) mengemukakan
bahwa intelegensia adalah potensi biopsikologis yang ditentukan oleh faktor
genetik dan sifat-sifat psikologinya, mulai dari kekuatan kognitifnya sampai
dengan kecenderungan kepribadiannya.
Untuk memahami teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget,
ada beberapa konsep yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu :
a.
Inteligensi
Piaget
mengartikan intelegensia secara lebih luas dan tidak mendefinisikannya secara
ketat. Ia memberikan beberapa definisi yang umum yang lebih mengungkapkan
orientasi biologis, seperti yang terdapat dalam Suparno (2001,hal.19) :
- Intelegensi adalah suatu contoh khusus adaptasi biologis …(Origin of Intelligence,hal.3-4)
- Intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme sensori diarahkan… (Piaget,1981,halm.6)
Secara progressif, dapat dikatakan bahwa :
- Inteligensi membentuk keadaan ekuilibrium kearah mana semua adaptasi sifat-sifat sensorimotor dan kognitif dan juga interaksi-interaksi asimilasi dan akomodasi antara organisme dan lingkungan mengacu (Piaget,1981).
b.
Organisasi
Menunjuk
pada tendensi semua spesies untuk mengadakan sistematisasi dan mengorganisasi
proses-proses mereka dalam sustu sistem yang koheren, baik secara fisis maupun
psikologis (Suparno,2003,hal.19). Contoh : bayi menggabungkan kemampuan melihat
dan menjamah.
c.
Skema
Schema is Piaget’s term for
cognitive unit that coordinates related actions and perceptions
(Peterson,1996,hal.699). Skema adalah
struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama
perkembangan kognitif seseorang. Skema bukanlah benda yang nyata yang dapat
dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran seseorang.
Skema tidak mempunyai bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. (Wadsworth,1989
dalam Suparno)
d.
Asimilasi
Assimilation is Piaget’term for the
incorporation of new information into an existing mental category or schema(Peterson,1996,hal.684). asimilasi adalah proses kognitif
dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,konsep atau pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada di dalam fikirannya. Menurut Wadsworth dalam
Suparno, asimilasi tidak menyebabkan perubahan skemata, tetapi memperkembangkan
skemata.
e.
Akomodasi
Accomodation is Piaget’term for
alteration of a thought process, or schema, to incorporate new information (Peterson,1996,hal.683).
Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema yang lama, hal ini
terjadi karena dalam menghadapi rangsangan/pengalaman baru, seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia
miliki, hal ini terjadi karena pengalaman baru itu tidak cocok dengan skema
yang telah ada.
f.
Ekuilibrasi
Equilibration is the act of
achieving equilibrium.
Equilibrium is a state of harmony
or stability. In Piaget’s theory, relative (or temporary) equilibrium occurs
whenever assimilation and accommodation are in balance with one another (Peterson,1996;hal.689).
g.
Adaptasi
Adaptation in Piaget’s theory
consist of an interplay between the processes of assimilation and accommodation
(Peterson,1996;hal.683).
Istilah kognitif berasal
dari bahasa latin “cognoscre” yang
berarti mengetahui (to know). Dalam
Peterson(1996,685), cognition berarti a general term for thought or intellectual
function. Cognition involves mental processes such as
perseptioning,reasoning,language,judgement and imagination.
Istilah kognitif ini
erat kaitannya dengan konsep intelektual atau intelegensia. Claparede dan Stern
mendefinisikan intelegensia sebagai suatu adaptasi mental pada lingkungan baru
(Piaget,1981,halm.9 dalam Suparno,2001). Gardner (2003,hal.83) mengemukakan
bahwa intelegensia adalah potensi biopsikologis yang ditentukan oleh faktor
genetik dan sifat-sifat psikologinya, mulai dari kekuatan kognitifnya sampai
dengan kecenderungan kepribadiannya
Secara garis besar,
Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap, yaitu : tahap
sensorimotor, tahap praoperasi, tahap operasional konkret, dan tahap
operasional formal.
Tahap sensorimotor
lebih ditandai dengan pemikiran berdasarkan tindakan inderawinya. Tahap
praoperasional diwarnai dengan mulai digiunakannya symbol-simbol untuk
menghadirkan suatu benda atau pemikiran, khususnya penggunaan bahasa. Tahap
operasional konkret ditandai dengan penggunaan aturan logis yang jelas. Tahap
operasional formal dicirikan dengan pemikiran abstrak, hipotesis, deduktif,
serta induktif. Secara skematis, keempat tahap itu dapat digambarkan sebagai
berikut :
Skema
Empat Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap
|
Umur
|
Ciri
Pokok Perkembangan
|
Sensorimotor
|
0-2
tahun
|
*
Berdasarkan tindakan
*
Langkah demi langkah
|
Praoperasional
|
2-7
tahun
|
* Penggunaan symbol/bahasa
tanda
* Konsep intuitif
|
Operasional
Konkret
|
8-11
tahun
|
*
Pakai aturan jelas/logis
*
Reversibel dan kekekalan
|
Operasi
Formal
|
11
tahun ke atas
|
*
Hipotesis
*
Abstrak
*
Deduktif dan induktif
*
Logis dan probabilitas
|
Sumber
: Suparno,2003;hal.25
Tahap-tahap di atas
saling berkaitan. Urutan tahap-tahap tidak dapat ditukar atau dibalik, karena
tahap sesudahnya mengandalkan terbentuknya tahap sebelumnya. Tetapi, tahun
terbentuknya tahap tersebut dapat berubah sesuai dengan situasi seseorang.
Misalnya seseorang dapat mulai tahap operasional formal pada usia 11 tahun,
sedangkan ada juga orang yang baru memasukinya pada usia 15 tahun.
Perbedaan pada tiap
tahap sangatlah besar karena ada perbedaan kualitas pemikiran yang lain.
Meskipun demikian, unsur dari perkembangan sebelumnya tetapi tidak dibuang.
Jadi, ada kesinambungan dari tahap ke tahap, walaupun ada juga perbedaan yang
sangat mencolok.
Proses
Perkembangan Kognitif
1.
Fase sensorimotor (usia 0 – 2 tahun)
Berlangsung dari
kelahiran hingga usia 2 tahun. Dalam tahap ini pola kognitif anak masih
bersifat biologis yang berpusat pada fungsi-fungsi alat indra dan gerak,
kemudian secara bertahap berkembang menjadi kemampuan berinteraksi dengan
lingkungan secara lebih tepat.
Pada masa 2 tahun
kehidupannya, anak berinteraksi dengan dunia di sekitarnya, terutama melalui
aktivitas sensoris (melihat, meraba, merasa, mencium dan mendengar) dan
persepsinya terhadap gerakan fisik, dan aktivitas yang berkaitan dengan
sensoris tersebut. Koordinasi aktivitas ini disebut dengan istilah
sensorimotor.
Fase sensorimotor
dimulai dengan gerakan-gerakan refleks yang dimiliki anak sejak dilahirkan.
Pada masa ini, anak mulai membangun pemahamannya tentang lingkungan melalui
kegiatan sensorimotor, seperti menggenggam, mengisap, melihat, melempar dan
secara perlahan ia menyadari bahwa suatu benda tidak menyatu dengan
lingkungannya, atau dapat dipisahkan dari lingkungan di mana ia berada.
Selanjutnya, ia mulai belajar bahwa benda-benda memiliki sifat-sifat khusus.
Anak telah mulai membangun pemahamannya terhadap aspek-aspek kausalitas,
bentuk, dan ukuran, sebagai pemahamannya terhadap aktivitas sensorimotor yang
dilakukannya.
Pada akhir usia dua
tahun, anak sudah menguasai pola-pola sensorimotor yang bersifat kompleks,
seperti bagaimana cara mendapatkan benda yang diinginkannya, menggunakan suatu
benda dengan tujuan yang berbeda.kemampuan ini merupakan awal kemampuan
berpikir simbolis, yaitu kemampuan untuk memikirkan suatu objek tanpa kehadiran
objek tersbut secara empiris.
2.
Fase
praoperasional (usia 2 – 7 tahun)
Dalam tahapan ini
pola berpikir anak sudah mulai berkembang kepada pola-pola berpikir tertentu.
Anak sudah mampu membuat logikanya sendiri meskipun masih bersifat primitif dan
kurang rasional. Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia dengan
kata-kata dan gambar-gambar.
Anak mulai
menyadari bahwa pemahamannya tentang benda-benda di sekitarnya tidak hanya
dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, akan tetapi juga dapat dilakukan
melalui kegiatan bersifat simbolis. Kegiatan
ini dapat berupa percakapan dan kegiatan simbolis lainnya. Sabagaimana yang
dikemukan oleh Santrock (2005) pemikiran operasional juga mencakup transisi
dari penggunaan simbol-simbol primitif kepada yang lebih maju. Fase ini
memberikan andil yang besar bagi perkembangan intelektual anak.
Fase ini merupakan
masa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun
pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak pada masa ini belum stabil dan
tidak terorganisasi secara baik. Fase ini dibagi ke dalam tiga subfase, yaitu
subfase fungsi simbolis, subfase berpikir secara egosentris, dan subfase
berpikir secara intuitif.
· Subfase fungsi simbolis (usia 2 – 4 tahun). Kemampuan
unutk berpikir tentang objek dan peristiwa walaupun objek tersbeut tidak hadir
secara nyata di hadapan anak.
· Subfase
berpikir secara egosentris (usia 2 – 4 tahun). Ditandai oleh oleh
ketidakmampuan anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain.
· Subfase
berpikr secara intuitif (usia 4 – 7 tahun). Kemampuan unutk menciptakan sesuatu, seperti menggambar
atau menyusun balok, akan tetapi tidak mengetahui alasan melakukannya. Artinya,
anak belum memiki kemampuan berpikir kritis tentang apa yang ada di balik suatu
kejadian.
3.
Fase operasional
konkret (usia 7 – 12 tahun)
Ditandai dengan
anak mulai berpikir secara logis, dengan syarat, objek yang menjadi sumber
berpikir logis tersebut hadir secara konkret. Kemampuan berpikir logis ini
terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan klasifikasinya,
mengurutkan benda sesuai dengan tata urutannya, kemampuan untk memahami cara
pandang orang lain, dan kemampuan berpikir secara deduktif. Hal
ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Peterson (1996: 223) ”...This is the acquisition to concrete operational thought, leading to
the organisation of the child’s ideas about physical, logical and social
problems into paterned grouping of mental operations”. Menurut Piaget dalam
Peterson (1996: 223) fase ini terbagi empat yaitu closure, reversibility, associativity, and identity.
4.
Fase operasional formal (usia 12 tahun sampai
usia dewasa)
Fase ini ditandai
oleh perpindahan dari cara berpikir konkret ke abstrak. Kemampuan berpikir
abstrak dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian
yang akan terjadi, dan melakukan proses berpikir ilmiah, yaitu mengemukakan
hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut.
Pada tahap ini anak
juga sudah mampu berpikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan
secara sistematik untuk memecahkan permasalahan. Menurut Adams dan Gullota
(1983) dalam Desmita (2006 : 196), kemampuan untuk mengapresiasikan hubungan
antara kenyataan dan kemungkinan, kombinasi penalaran dan hipotesis deduktif,
dimaksudkan sebagai aspek-aspek struktural dari pemikiran yang muncul bersamaan
dengan pemikiran formal pada semua tugas.
Menurut Piaget perkembangan pemikiran operasional
formal berlangsung pada usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal
lebih abstrak daripada pemikiran seorang anak, remaja tidak terbatas pada
pengalaman konkret actual sebagai dasar pemikiran. Sebaliknya mereka sudah
membangkitkan situasi-situasi khayalan-khayalan, kemungkinan-kemungkinan
hipotesis atau dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak (Santrock,
2002: 10).
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting yaitu: sifat deduktif-induktif hipotesis dan
sifatberpikir operasional juga kombinatoris. Jadi dengan berpikir
operasional formal memungkinkan orang lain mempunyai tingkah laku problem solving yang betul-betul ilmiah
serta memungkinkan untuk mengadakan hipotesis dengan variable-variabel yang
mungkin ada. Berpikir abstrak atau formal
operation merupakan cara berpikir yang bertalian dengan hal-hal yang tidak
dilihat dan kejadian-kejadian yang tidak langsung dihayati.
a. Sifat
Deduktif Hipotesis
Dalam
menyelesaikan suatu masalah seorang akan mengawalinya dengan pemikiran
teoritik. Ia menganalisis masalah dan mengajukan cara-cara penyelesaian
hipotesis yang mungkin. Pada dasarnya pengajuan hipotesis itu menggunakan cara
berpikir induktif di samping deduktif, oleh sebab itu dari sifat analisis yang
ia lakukan, ia dapat membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoritik ini
dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengajukan pendapat-pendapat atau
prediksi tertentu, yang juga disebut proporsi-proporsi, kemudian mencari
hubungan antara proporsi yang berbeda-beda tadi. Berhubungan dengan itu maka
berpikir operasional juga disebut proposisional.
b. Berpikir
Operasional juga berpikir Kombinatoris
Sifat ini
merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana
melakukan analisis. Misalnya anak diberi lima buah gelas berisi cairan
tertentu. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak
diminta untuk mencari kombinasi ini.
Anak yang
berpikir operasional formal, lebih dahulu secara teoritik membuat matriknya
mengenai segala macam kombinasi yang mungkin, kemudian secara sistematik
mencoba mengisi setiap sel matriks tersebut secara empiris. Bila ia mencapai
penyelesaian yang betul, maka ia juga akan segera mereproduksi.
Jadi,
dengan berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah
laku problem solving yang betul-betul
ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan
variable-variabel tergantung yang mungkin ada. Berpikir abstrak atau formal
operation ini merupakan cara berpikir yang bertalian dengan hal-hal yang tidak
dilihat dan kejadian-kejadian yang tidak langsung dihayati.
Cara
berpikir terlepas dari tempat dan waktu, dengan cara hipotesis, deduktif yang
sistematis, tidak selalu dicapai oleh semua remaja. Tercapai atau tidak
tercapainya cara berpikir ini tergantung juga pada tingkat intelegensi dan
kebudayaan sekitarnya. Seorang remaja yang dengan kemampuan intelegensi
terletak di bawah normal atau nilai
IQnya kurang dari 90 % tidak akan mencapai taraf berpikir abstrak. Seorang
dengan kemampuan berpikir normal tetapi hidup dalam lingkungan atau kebudayaan
yang tidak merangsang cara berpikir, misalnya tidak adanya kesempatan untuk menambah
pengetahuan, pergi ke sekolah tetapi tidak adanya fasilitas yang dibutuhkan,
maka ia sampai dewasa pun tidak akan sampai pada taraf berpikir abstrak.
(Sunarto, 2002 : 104-105)
Pemikiran opersional formal lebih
abstrak, idealistis dan logis daripada pemikiran operasional kongkret. Piaget
yakin bahwa remaja semakin mampu menggunakan pemikiran deduktif hipotesis.
Secara umum karakteristik pemikiran operasional formal yang penting adala
- Kesadaran bahwa realitas adalah hanya kasus tertentu yang mungkin terjadi.
- Kemampuan untuk menghasilkan secara sistematis dan menguji hipotesis, termasuk dalalm mengkombinasikan beberapa variable yang mungkin dapat dikombinasikan.
- Menggunakan metode ilmiah untuk memisahkan dan mengendalikan variable.
- Pemahaman secara logis terhadap sesuatu yang tidak dapat diraba (tidak nyata) dan konsep yang multi dimensi.
- Koordinasi operasional logika matematika tentang negasi dan hubungan timbal balik.
- Pemahaman tentang proporsionalitas, sekaligus menghubungkan pikiran dengan pecahan, persamaan, probabilitas (kemungkinan) dan korelasi. (Candida Peterson, 1996: 387)
Setelah pendapat ini
berkembang beberapa tahun, muncul beberapa gagasan yang mulai meragukan
pendapat Piaget tentang pemikiran operasional formal ini. Menurut mereka yang
menentang, tidak semua anak dapat mencapai tahap pemikiran operasional formal
ketika mereka mencapai usia remaja, bahkan sampai dewasa pun mereka belum mampu
mencapai tahap pemikiran ini.
Kemudian Piaget
merevisi teorinya dengan menyatakan bahwa seorang anak dapat mencapai tahapan
berpikir operasional formal ketika mereka hidup di dalam lingkungan dan
kebudayaan yang dapat merangsang kemampuan berpikir mereka. (Candida Peterson,
1996: 388)
Sehubungan
dengan tahap-tahap perkembangan kognitif yang diuraikan di atas, Piaget dalam
(Nasution, 1992:57) menjelaskan bahwa, urutan tahapan perkembangan kognitif
anak tidak pernah berubah, hanya saja ada beberapa anak yang mampu melewati
tahapan itu lebih cepat daripada anak-anak yang lain.
Piaget
menjelaskan bahwa ada berbagai macam hal yang mempengaruhi perkembangan
kognitif seseorang. Kematangan organis, sistem saraf, dan fisik seseorang
mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Pengalaman dan berbagai
macam latihan juga menunjang perkembangan pemikiran seorang anak, demikian pula
halnya dengan interaksi social yang tidak kalah pentingnya dalam membantu
pemahaman siswa terhadap suatu konsep atau bahan belajar.
Piaget menekankan hal terpenting
dalam perkembangan kognitif , yaitu bagaimana seseorang dapat mengembangkan self-regulasinya untuk mencapai suatu
ekuilibrasi dalam proses pemikirannya. Self-regulasi
ini didapatkan melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus,
berkesinambungan, terhadap lingkungan dan masalah yang dihadapi oleh seorang
anak. Dalam proses itulah, seseorang senantiasa ditantang untuk selalu
mengembangkan pemikirannya, dan dengan demikian, berkembang pulalah
pengetahuannya.
Sehubungan
dengan proses asimilasi dan akomodasi ini, Nasution (1992: 55) berpendapat
bahwa: “Apabila pada anak hanya dihadapkan informasi dan pengalaman yang dapat
diasimilasikan dengan mudah, tidak akan terjadi akomodasi dan perkembangan anak
pun akan terhambat. Dilain pihak akomodasi pun tidak akan terjadi apabila
pengalaman yang terlalu asing bagi anak, sehingga anak pun tidak dapat
memahaminya”.
Terkait
dengan asimilasi dan akomodasi, itu Like Kagan, Jean Piaget dalam Peterson
(1996: 131) menyatakan bahwa “conceptualised
infant mental development as a process of building up mental constructs, image
and schemata through assimilation, or altering existing ideas to make them
concistent with new information trhought acomodation”.
Piaget membedakan
dua pengertian tentang belajar, yaitu belajar dalam arti sempit dan belajar
dalam arti luas (Ginsburg & Opper,1988). Belajar dalam arti sempit adalah
belajar yang hanya menekankan perolehan informasi baru dan pertambahan. Belajar
itu disebut belajar figurative, suatu
bentuk belajar yang pasif. Contohnya, seorang anak menghafalkan perkalian
bilangan. Belajar dalam arti luas adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan
struktur pemikiran yang lebih umum yang daopat digunakan pada berbagai situasi.
Belajar ini disebut juga belajar operative.
Contohnya anak mengerti tentang kekekalan massa suatu benda. Dalam hal ini anak
mengetahui suatu struktur yang lebih luas yang tidak terbatas pada situasi
tertentu, sehingga pengertian ini dapat digunakan dalam situasi yang lain.
Menurut
Wadsworth (dalam Suparno,2003,141) mengingat dan menghafal tidak dianggap
sebagai belajar yang sesungguhnya karena kegiatan tersebut tidak memasukkan
proses asimilasi dan pemahaman.
Piaget berpendapat, bahwa
pengetahuan itu dibentuk sendiri oleh murid dalam berhadapan dengan lingkungan
atau objek yang sedang dipelajarinya. Oleh karena itu, kegiatan murid dalam
membentuk pengetahuannya sendiri menjadi hal yang sangat penting dalam sistem
piaget. Proses balajar harus membantu dan memungkinkan murid aktif
mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam hal ini, penekanan pembelajaran aktif
terletak pada kebutuhan dan kemampuan siswa atau student centre bukan teacher
centre.
Piaget membedakan tiga macam
pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial. Ketiga
pengetahuan itu dibentuk oleh tindakan murid terhadap pengalaman fisik dan
sosial. Pengetahuan fisik dikonstruksi melalui tindakan murid kepada objek
fisik secara langsung. Pengetahuan matematis-logis dibentuk dengan tindakan
murid terhadap objek secara tidak langsung, yaitu dengan pemikiran operatif.
Pengetahuan social dibentuk oleh pengalaman murid berinteraksi dengan
lingkungan social dan orang banyak. Pengetahuan-pengetahuan itu tidak bisa
ditransfer melalui kata atau symbol, melainkan hanya dapat diperoleh melalui
tindakan dan pengalaman. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran IPA, IPS dan
Matematika di SD perlu menggunakan media pembelajaran yang bervariasi yang
mendorong siswa berinteraksi langsung dengan objek yang dipelajarinya.
Menurut Piaget, seorang anak
mempunyai cara berfikir yang berbeda secara kualitatif dengan ornag dewasa dalam
melihat dan mempelajari realitas. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran,
guru seyogyanyalah memahami cara berfikir murid dalam memandang suatu objek
yang dipelajarinya. Guru hendaknya menyediakan bahan belajar yang sesuai dengan
taraf perkembangan kognitif anak agar
dapat memudahkan mereka menuntaskan materi pelajaran yang diberikan dan lebih
berhasil dalam membentuk konstruksi pengetahuan dalam fikiran anak tersebut.
Anak dapat mengkonstruksi
pengetahuannya dengan baik, jika ia diberi peluang untuk dapat aktif
berinteraksi dalam pembelajaran, baik dengan guru, media pengajaran, lingkungan
sosial, dan sebagainya. Dengan belajar secara aktif, anak dapat mengolah bahan
belajar, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan dengan kritis, sehingga
mampu memecahkan permasalahan, membuat kesimpulan dan bahkan merumuskan suatu
rumusan menggunakan kata-kata sendiri. Peran guru sebagai fasilitator, dan
motivator sangat penting bagi keberhasilan anak dalam mengkonstruksi
pengetahuannya (Jacob,1981), dan guru bukanlah sebagai pentransfer ilmu
pengetahuan semata..
Dalam rangka menemukan dan
membangun pengetahuannya, murid hendaknya diberi keleluasaan untuk
mengungkapkan gagasannya, pemikirannya, dan rasa keingintahuannya akan objek
belajar yang dipelajarinya, baik secara lisan dan tulisan. Guru hendaknya
menjadi jembatan antara anak dengan pengetahuan untuk meminimalkan terjadinya
miskonsepsi anak terhadap suatu konsep atau materi pelajaran.
Piaget mengemukakan bahwa ada
dua hal yang dapat menjadi motivasi intrinsik dalam diri seseorang, yaitu :
adanya proses asimilasi dan adanya situasi konflik yang merangsang seseorang
melakukan akomodasi. Tindakan asimilasi ini akan menghubungkan pengetahuan yang
sudah dimiliki seseorang dengan hal baru yang sedang dipelajari atau
ditemukannya. Agar proses adaptasi dan asimilasi ini berjalan baik, diperlukan
kegiatan pengulangan dalam suatu latihan atau praktik. Pengetahuan baru yang
telah dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan agar semakin bermakna
bagi dirinya.
Sementara itu, keadaan konflik
diperlukan untuk merangsang sseseorang mengadakan akomodasi atau perubahan
pengetahuan. Guru dalam hal ini memerlukan tanda-tanda konflik dan tahu
bagaimana menciptakan konflik agar murid tertantang secara kognitif untuk mengubah
dan mengembangkan pengetahuannya (Jacob,1981). Contohnya adalah peristiwa
anomaly air, siswa dapat mengalami kebingungan dihadapkan dengan peristiwa yang
bertentangan dengan apa yang telah dibangun di dalam fikirannya bahwa air
mendidih pada suhu 1000 C.
Piaget juga mengemukakan bahwa
perkembangan kognitif anak juga tergantung pada interaksi unsure-unsur lain,
seperti kematangan diri dan transmisis social. Oleh karena itu dalam lingkungan
sekolah, perlu diperhatikan tingkat kematangan murid untuk menangkap pelajaran
dan bagaimana mereka berinteraksi dalam lingkungan social mereka, seperti
pertemanan. Tidak ada salahnya guru mendatangkan nara sumber lain yang
merupakan ahli di bidangnya untuk memperkuat konsep yang dimiliki oleh siswa.
Secara agak khusus, Piaget
banyak berbicara tentang pengajaran matematika. Piaget menyarankan agar dalam
pengajaran matematika untuk murid, terlebih sebelum tahap operasional formal,
lebih ditekankan pada aktifitas, pengalaman, dan penggunaan metode aktif
(Piaget,1972 dalam Suparno). Pengajaran matematika hendaknya dimulai dengan
memperkenalkan konsep yang konkret menuju ke yang abstrak. Bagi orang dewasa,
pengajaran matematika dengan metode ceramah, masih mungkin dilakukan, namun
untuk anak-anak, sebaiknya pengajaran matematika tidak boleh mengabaikan
aktivitas pengamatan dan interaksi langsung antara siswa dengan objek yang
diamatinya.
Terkadang dapat dijumpai ada
anak yang belum paham benar tentang suatu konsep matematika namun dapat
menggunakan rumusnya untuk menyelesaikan masalah, menurut Piaget, hal ini
kurang baik, mengingat konsep tersebut
seharusnya tetap dikuasai anak secara menyeluruh dan anak memahami benar
tentang konsep tersebut. Di sinilah peran latihan menjadi sangat
penting.
Seorang
pendidik harus mengetahui dan memahami perkembangan intelektual individu pada
masing-masing tahapan perkembangan. Anak
berbeda dengan orang dewasa dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu,
dalam proses pendidikan dan pengajaran seorang pendidik harus memusatkan
pengajaran pada anak, dengan mempertimbangkan tahapan perkembangan kognitif
anak.
1. Aktivitas di dalam proses belajar mengajar hendaknya
ditekankan pada pengembangan struktur kognitif, melalui pemberian kesempatan
pada anak untuk memperoleh pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran terpadu
dan mengandung makna yang dikaitkan dengan pengembangan dasar-dasar
pengetahuan.
2.
Memulai kegiatan dengan membuat konflik dalam
pikiran anak.
3.
Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan
berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya
4.
Melakukan
tanya jawab yang dapat mendorong anak untuk berpikir dan mengemukakan
pikirannya.
5.
Informasi
dan pengalaman yang baru diberikan hendaknya dikaitkan dengan informasi dan
pengalaman yang telah mereka miliki agar tidak menghambat proses asimilasi dan
akomodasi anak.
Menurut Gage dan
Berliner dalam Nurihsan (2007: 140-141), implikasi perkembangan kognitif sangat
penting bagi pengembangan sistem dan praktek pendidikan, sehinggga pendidik
seyogyanya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut yaitu intellectual empathy, using concrete objects, using inductive approach,
sequency instruction, taking amount of fit of new experience, applying student
self-regulation principles, and developing cognitive values of interaction.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar