Laman

06 Februari 2012

Manajemen Berbasis Sekolah

Konsep Dasar MBS
By: Sri Hendrawati, M.Pd

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) meru¬pakan suatu inovasi dalam sistem pengelolaan sekolah yang diadopsi dari konsep "School-Based Management" (SBM). Model MBS ini telah lama diterapkan dalam pengelolaan sekolah di negara-negara maju, seperti: Kanada, Amerika, dan Australia. Secara konseptual model SBM merupakan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan secara desen¬tralisasi sampai di tingkat sekolah. Dalam MBS, se¬kolah diberi otonomi yang lu.as dan bertanggungjawab untuk mengembangkan berbagai program sekolah dengan segala implikasinya untuk mening,katkan mutu pendidikan secara menyeluruh. Penelitian terhadap praktek penerapan MBS di negara-negara maju tersebut menunjukkm bahwa pelaksanaan SBM mendukung peningkatan kualitas pendidikan secara signifikan dan optimalisasi pemanfaatan potensi sekolah dan masyarakat dalam rnendukung sistem pendidikan nasional (Solkov-Brecher,1992). Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa secara politic, sistem pemerintahan negara-negara tersebut sejak lama menganut sistem desentralisasi.

Bagi negara dengan sistem pemerintahan yang baru memulai sistem desentralisasi, seperti halnya Indonesia, sistem pengelolaan sekolah dengan model MBS memerlukan modifikasi yang cermat dalam pengembangan konsep maupun pola-pola penera¬pannya disesuaikan dengan karakteristik budaya lokal yang ada. Sering terjadi, inovasi pendidikan yang diadopsi dari negara maju kurang berhasil diterapkan dalam konteks persekolahan di. Indonesia, karena tidak melalui proses pengkajian secara mendalam untuk memodifikasi konsep dasar maupun pola-pola implementasi yang sesuai dengan kondisi aktual masyarakat pendidikan dan persekolahan Indonesia. Dengan demikian, upaya implementasi suatu inovasi pendidikan, dalam hal ini upaya penerapan MBS memerlukan kajian khusus terhadap berbagai faktor pendukung pelaksanaannya di tingkat sekolah. Jika perlu, model inovasi yang diadopsi tersebut diujico¬baltan terlebih dulu dengan berbagai kondisi sekolah, sehingga diperoleh bahan kajian atau model penerapan yang relevan dengan kondisi .aktual sekolah yang ada di Indonesia.

Manajemen berbasis Sekolah (MBS) meru¬pakan transliterasi dari istilah School-Based Management (SBM) sebagai suatu model pengelolaan sekolah secara desentralisasi di tingkat sekolah. MBS merupakan sistem pengelolaan sekolah yang menjadikan lembaga sekolah sebagai institusi yang memiliki otonomi luas dengan segala tanggungjawabnya untuk mengembangkan dan melaksanakan visi, misi, dan tujuan-tujuan yang disepakati. Sekolah memiliki kewenangan luas untuk rnenetapkan berbagai kebijakan teknis operasional sekolah dengan berbagai implikasinya sesuai dengan kebutuhan aktual siswa atau masyarakat. Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan luas untuk menggali dan rnemanfaatkan berbagai sumberdaya sesuai dengan prioritas kebutuhan aktual sekolah (Calwell and Spinks, 1988; Department of Education of Quesland,1990;Mohrman and Wohlstetter, 1994).

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Implementasi praktis dari konsep dasar MBS sangat bervariasi dari satu negara dengan Negara lainnya, bahkan dari satu sekolah dengan sekolah lainnya. Hal ini sangat tergantung kepada sistem politik pendidikan dan kebijakan dasar sistem pengelolaan pendidikan yang diterapkan di negara yang bersang¬kutan. Di Negara bagian Queensland Australia, misalnya MBS dilaksanakan dengan mempadukan kebijakan dasar pendidikan pemerintah negara bagian dengan aspirasi dan partisipasi masyarakat yang dihimpun dalam wadah "School Council" dan "Parent and Community Association". Perpaduan dari dua kepentingan tersebut dibicarakan dan disosialisasikan secara terbuka, dan hasilnya dituangkan dakun dokumen tertulis yang dijadikan pedoman bagi semua pihak terkait. Dokumen tertulis tersebut terdiri dari 1) "school policy' (kebijakan sekolah) yang memuat visi, misi, tujuan, dan sasaran-sasaran prioritas pengembangan program sekolah untuk mencapai visi, misi, dan tujuan-tujuan yang dikehendaki bersama, 2) "school planning review", yaitu rencana jangka pendek atau menengah sekolah yang memuat berbagai rencana kerja sekolah untuk jangka waktu antara tiga sampai lima tahun, dan 3) "school annual planning.", yaitu program kerja tahunan sekolah yang lebih rinci, termasuk anggaran biaya yang diperlukan.

Penilaian terhadap penjaminan, kualitas dan akuntabilitas hasil kegiatan sekolah (quality assurance and accountability of the school programs) dilakukan melalui monitoring dan evaluasi secara kontinyu oleh berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan sekolah. Bahkan jika perlu, pihak "school council" dan "parent and community association" membentuk tim monitoring dan evaluasi yang bersifat permanen. Anggota tim ini dipilih secara demokratis dari kedua belah pihak sebagai representasi dari kedua lembaga tersebut. Dengan cara ini, perkembangan dan kemajuan sekolah dapat selalu dimonitor dan diinforrnasikan kepada kedua lembaga yang bersangkutan sebagai bahan evaluasi untuk perubahan atau perbaikan dokumen yang disepakati bersama.

Secara teoritis, pengelolaan sekolah dalam MBS ditandai oleh adanya karakteristik dasar pernberian otonomi sekolah yang luas dan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam mendukung program sekolah. Otonomi yang luas diberikan kepada institusi lokal sekolah untuk mengelola berbagai sumberdaya yang tersedia dan mengalokasikan dana yang tersedia sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah dalam upaya meningkatkan mutu sekolah secara umum dan mutu hasil belajar siswa. Sekolah diberi kewenangan yang luas untuk mengembangkan program-program kegiatan dan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa serta tuntutan masyarakat setempat. Dengan otonomi luas ini, sekolah dapat meningkatkan kinerja staf dengan menawarkan partisipasi aktif mereka dalam rnengambil keputusan bersarna dan bertanggungjawab bersarna dalam pelaksanaan keputusan yang diambil. (Patterson, 1993).

Selain otonomi yang luas, sekolah juga didukung oleh adanya partisipasi yang tinggi dari pihak orangtua siswa dan masyarakat di sekitar sekolah dalam merealisir progam-program sekolah. Orangtua dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan financial, tetapi bersama "school council" merumuskan dan mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah secara umum. Masyarakat menyediakan diri untuk rnembantu sekolah sebagai nara sumber atau organisator kegatan sekolah yang dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa dan prestise sekolah secara keseluruhan. Orangtua dan masyarakat juga terlibat secara aktif dalam proses control kualitas pengelolaan sekolah. Dengan demikan, dalam pelaksanaan MBS, sekolah dituntut untuk memiliki tingkat "accountability' yang tinggi kepada masyarakat dan pemerintah.

Dalam prakteknya, pelaksanaan MBS akan bervariasi dari satu sekolah dengan sekolah yang lainnya atau antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini sangat tergantung dari persiapan aspek-aspek pendukung implementasi MBS di tingkat sekolah serta kernampuan sumber daya manusia pelaksana di tingkat sekolah. Implementasi MBS dalam pengelolaan pendidikan dasar di Indonesia, khususnya Sekolah Dasar, memerlukan modifikasi konsep dan aplikasi sesuai dengan kondisi aktual sekolah, agar inovasi yang ditawarkan dapat dilaksanakan dengan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar MBS. Selain itu, penerapan MBS secara praktis perlu dukungan berbagai faktor yang dewasa ini secara aktual ada sekolah, sehingga MBS mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan sekolah dengan lebih baik.

Program MBS mulai dirintis bersama Depdiknas – UNICEF – UNESCO sejak tahun 2000 dengan nama Creating Learning Communities for Children (CLCC). Program bermula dirintis di 7 kabupaten di empat provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Sumber dana untuk rintisan terutama dari Pemerintah Selandia Baru (NZAID) sebesar U$3,7 juta selama 3 tahun (2003-2005), Pemerintah Australia (AusAID) dan donor lain seperti Citibank, Bank Niaga, Chef for Kids, dan BFI Hingga Desember 2006, program telah meluas di 42 kabupaten dari 11 provinsi dengan jumlah sekolah 3.748, termasuk yang didanai dari APBD. Sekolah-sekolah yang menjadi sasaran program MBS adalah SD yang terletak jauh dari kota, umumnya di kecamatan dan desa dan SD biasa-biasa saja.

Ada lima prinsip yang mendasari program MBS (CLCC), yaitu (1) suitable—program cocok dengan sistem dan kultur di Indonesia; (2) workable—dapat dilaksanakan, program lebih bersifat praktis dan “membumi”; (3) affordable—terjangkau, program dapat dilaksanakan oleh sekolah dengan inisiatif sendiri secara mandiri, bila perlu tanpa harus ada bantuan dari luar; (4) replicable—program dapat direplikasi kepada sekolah lain; dan (5) sustainable—program dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan karena didesain sesuai dengan dan diimplementasikan ke dalam sistem dan struktur yang ada. Jadi program MBS tidak memproduksi “barang baru”.

Tiga pilar MBS (Hallinger, Murphy, & Hausman, 1992) yang diintervensi dalam CLCC adalah (i) manajemen sekolah, (ii) proses pembelajaran, dan (iii) peran serta masyarakat. Dalam manajemen sekolah, kepala sekolah dan stafnya (para guru dan pegawai administrasi sekolah) didorong untuk berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, yang kemudian akan menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Pengambilan keputusan melibatkan warga sekolah, sesuai dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan. Dengan cara ini, pengetahuan, informasi dan keahlian terbagi di antara kepala sekolah, guru dan warga sekolah lain terutama komite sekolah.

Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS
• Sekolah berupaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah
• Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
• Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas)
• Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
• Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
• Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
• Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
• Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll).
• Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar