Laman

14 Desember 2010

Penelitian Tindakan Kelas (IPS SD)

Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (role playing) pada Materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”


Rini Kusmarini, S.Pd.* Uung Mashuri R.Suryadilaga, M.M.Pd.**

ABSTRAK

Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk melakukan upaya peningkatan hasil belajar siswa kelas IV melalui pembelajaran bermain peran (role playing) dalam pembelajaran IPS pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 dengan subjek penelitian siswa SDN Cihaugeulis 2 Bandung yang duduk di kelas IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan hasil belajar pada siklus pertama dan kedua. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan metode bermain peran mampu meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV pada aspek kognitif dan afektif siswa.

Kata kunci: bermain peran, role playing, IPS, koperasi

A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan melatih keterampilan untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa diri sendiri atau masyarakat . Sejalan dengan itu mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi menyebutkan bahwa mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Selanjutnya disebutkan pula bahwa mata pelajaran IPS di sekolah dasar bertujuan: (1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; (2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; (4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Dalam arti yang lebih substansial, proses pembelajaran hingga dewasa ini masih terjadi dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya (Trianto, 2007). Permasalahan lain yang terjadi dalam pembelajaran IPS di sekolah adalah pembelajaran IPS cenderung untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi ujian semester atau ujian nasional dengan nilai yang memuaskan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan orang tua atau masyarakat yang menilai tolak ukur keberhasilan pembelajaran adalah jika peserta didik naik kelas dengan nilai yang baik, lulus ujian nasional, dan diterima di sekolah favorit, sehingga yang terjadi selanjutnya adalah pembelajaran di kelas monoton dari hari ke hari. Waktu belajar siswa banyak dihabiskan untuk mengerjakan soal-soal latihan.
Dalam proses pembelajaran sekarang saat ini guru dituntut untuk menentukan metode pembelajaran yang aktif, efektif, kreatif, dan menyenangkan, untuk itulah guru harus kreatif memilih metode yang sesuai dengan tuntutan. Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dipilih adalah metode pembeajaran dalam pendidikan IPS, adalah metode pembelajaran bermain peran (role playing). Metode pembelajaran bermain peran merupakan bagian dari metode-metode pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Metode-metode pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial didasarkan pada asumsi: (1) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial; (2) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build in dan terus-menerus, (Mulyani Sumantri, 2001).
Pembelajaran dengan metode bermain peran (role playing) adalah metode pembelajaran yang dapat dilakukan dengan mengemas berbagai masalah sosial dalam bentuk permainan yang memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik. Metode pembelajaran ini membuat siswa seolah–olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Dalam metode ini siswa berkesempatan terlibat secara aktif sehingga akan lebih memahami konsep dan lebih lama mengingat. Atas dasar dan latar belakang inilah penulis tertarik untuk menganalisis dan mengkaji tentang metode pembelajaran khususnya dalam pembelajaran ilmu sosial serta penerapannya dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Kajian dan penelitian tersebut akan dikemas dalam suatu karya ilmiah berupa penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (role playing) pada Materi Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”.

B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, yang telah dikemukakan di atas maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan: Apakah penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan peningkatan hasil belajar IPS siswa kelas IV di Sekolah Dasar Negeri Cihaurgeulis 2 Bandung?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan metode role playing untuk meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV di SDN Cihaurgeulis 2 Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bersifat praktis dalam upaya meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik dan memberikan pengalaman kepada peserta didik bahwa belajar IPS itu menyenangkan. Dengan demikian, metode pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian ini akan menumbuhkan minat dan motivasi untuk belajar IPS. Bagi guru hasil penelitian ini akan bermanfaat antara lain: 1) meningkatkan kualitas keterampilan dalam mengelola pembelajaran IPS; 2) menjadi agen perubahan bagi teman sejawat, 3) sebagai model bagi guru yang mempunyai masalah sama atau mirip dengan permasalahan dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini, dan 4) dapat memanfaatkan apa yang ada dilingkungan sekitar dalam menyajikan pembelajaran IPS sehingga lebih menarik.

D. Tinjauan Teoretis
Kompetensi merupakan kecakapan hidup (life skill) yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kecakapan hidup merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusinya sehingga mampu mengatasinya (Mimin Haryati, 2007).
Kompetensi pengetahuan (kognitif), sikap dan nilai-nilai (afektif) dan keterampilan (psikomotor) yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga mampu menghadapi persoalan yang dihadapinya (Mimin Haryati, 2007). Sebenarnya kompetensi suatu lulusan dapat dikenali atau diketahui melalui sejumlah pencapaian hasil belajar dan indikatornya dimana ia dapat diukur dan diamati. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan ajar secara kontekstual.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial untuk tingkat sekolah sangat erat kaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang terintegrasi dengan humaniora dan ilmu pengetahuan alam yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Karena Pendidikan IPS ditingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitude and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2008). Untuk mencapai tujuan tersebut, guru sebagai perencana pembelajaran perlu memperhatikan beberapa aspek, seperti model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut adalah model sosialisasi. Model sosialisasi adalah rumpun model pembelajaran yang menitik beratkan pada proses interaksi antar individu yang terjadi dalam kelompok individu tersebut (Muhibbin Syah, 2007: 194).
Salah satu metode yang mengutamakan interaksi antara peserta didik dalam situasi demokrasi itu adalah model pembelajaran bermain peran (role playing). Metode pembelajaran bermain peran (role playing) adalah metode pembelajaran yang dikemas dalam bentuk permainan, yaitu bermain peran. Hal ini akan menarik dalam pembelajaran di sekolah dasar mengingat karakteristik sekolah dasar yang senang bermain dan lebih suka bergembira/riang.

E. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoretik dan pengembangan kerangka konseptual di atas, maka diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut. Metode pembelajaran bermain peran (role playing) akan berdampak positif terhadap peningkatan hasil belajar IPS siswa Kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung.

F. Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN Cihaurgeulis 2 yang berlokasi di Bandung. Penelitian dilakukan dari bulan April- Mei 2009.

G. Metode dan Desain Intervensi Tindakan
Berdasarkan tujuan penelitian, metode yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Model proses yang digunakan dalam penelitian menggunakan “sistem spiral refleksi diri menurut Kemmis dalam bukunya Kasihani Kasbolah” Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi (Kasbolah, 1998:113). Alur pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.


H. Data dan sumber data
1. Data pelaksanaan tindakan
Data yang dikumpulkan berkenaan dengan penelitian tindakan kelas adalah dalam bentuk instrumen, yang terdiri atas: lembar observasi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, lembar pengamatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran, foto, wawancara, dan tes tertulis.
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru kelas, guru bidang studi IPS dan siswa kelas IV SDN Cihaurgeulis 2 Bandung.

I. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, yaitu mengumpulkan data melalui pengamatan langsung secara sistematis mengenai permasalahan yang akan diteliti, kemudian dibuat catatan, sesuai dengan hal tersebut. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi langsung.


J. Hasil Penelitian
1. Penguasaan Kompetensi Sosial Kognitif Berdasarkan Aspek Kognitif
Penguasaan kompetensi sosial kognitif berdasarkan aspek kognitif dilakukan untuk memetakan penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kompetensi sosial kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang digunakan dalam pengembangan isntrumen pengukuran kompetensi sosial kognitif. Aspek kognitif yang digunakan adalah pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4) dan sintesis (C5). Penyajian data didasarkan atas skor rata-rata dan nilai rata-rata. Skor rata-rata adalah rata-rata jumlah jawaban yang benar berdasarkan aspek. Sedangkan nilai rata-rata adalah nilai rata-rata peserta didik berdasarkan aspek tertentu yang telah dikonversi dalam skala 100.
Tabel 1 Penguasaan kompetensi sosial kognitif berdasarkan aspek kognitif
Kelas Aspek Kognitif Penguasaan
(C1) (C2) (C3) (C4) (C5)
SIKLUS I Nilai Rata-rata 72 64 54 52 45 57
SIKLUS II Nilai Rata-rata 85 80 68 62 62 71

Penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kognitif pada siklus I untuk aspek pengetahuan (C1) diperoleh nilai rata-rata sebesar 72 , aspek pemahaman (C2) sebesar 64 , aspek penerapan (C3) sebesar 54, aspek analisis (C4) sebesar 52, dan aspek sintesis (C5) sebesar 45. Dari kelima aspek tersebut diperoleh nilai rata-rata penguasaan peserta didik sebesar 57. Sedangkan penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kognitif pada siklus II untuk aspek pengetahuan (C1) diperoleh rata-rata sebesar 85, aspek pemahaman (C2) sebesar 80, aspek penerapan (C3) sebesar 68, aspek analisis (C4) 62, dan aspek sintesis (C5) sebesar 62. Dari kelima aspek tersebut diperoleh nilai rata-rata penguasaan materi peserta didik sebesar 71.
Hasil penguasaan kompetensi sosial kognitif peserta didik berdasarkan aspek kognitif menunjukkan peningkatan skor rata-rata antara siklus I dan Siklus II terjadi pada aspek pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan analisis (C4). Sedangkan untuk aspek kognitif sintesis (C5) tidak mengalami peningkatan.
Tabel 2 Penguasaan kompetensi sosial kognitif antara siklus I dan siklus II

Aspek Kognitif Keterangan
Pengetahuan (C1) Meningkat
Pemahaman (C2) Meningkat
Penerapan (C3) Meningkat
Analisis (C4) Meningkat
Sintesis (C5) Meningkat

2. Penguasaan Kompetensi Sosial Afektif Berdasarkan Aspek Afektif
Setelah mengetahui kompetensi sosial kognitif berdasarkan aspek kognitif, langkah selanjutnya adalah menentukan tingkat penguasaan kompetensi sosial afektif berdasarkan aspek afektif. Hal ini dilakukan untuk memetakan penguasaan peserta didik berdasarkan aspek kompetensi sosial afektif. Aspek afektif yang digunakan adalah penerimaan (A1), partisipasi (A2), penilaian/penentuan sikap (A3), organisasi (A4) dan pembentukan pola hidup (A5). Penyajian data didasarkan atas skor rata-rata dan nilai rata-rata. Skor rata-rata adalah rata-rata jumlah skor jawaban angket pengukuran kompetensi sosial kognitif yang dikategorikan berdasarkan aspek afektif. Sedangkan nilai rata-rata adalah nilai rata-rata peserta didik yang diperoleh dari rata-rata jumlah skor jawaban angket setelah dikonversi dalam skala 100.




Tabel 3. Penguasaan kompetensi sosial Afektif berdasarkan aspek Afektif
Kelas Aspek Afektif Penguasaan
(A1) (A2) (A3) (A4) (A5)
SIKLUS I Nilai Rata-rata 68 65 70 66 70 68
SIKLUS II Nilai Rata-rata 81 82 78 72 82 79


Penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik berdasarkan aspek afektif pada siklus I untuk aspek penerimaan (A1) diperoleh nilai rata-rata sebesar 68, aspek partisipasi (A2) sebesar 65, aspek penilaian/penentuan sikap (A3) sebesar 70, aspek organisasi (A4) sebesar 66, dan pembentukan pola hidup (A5) sebesar 70. Dari kelima aspek tersebut diperoleh skor rata-rata penguasaan peserta didik sebesar 68. Sedangkan penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik berdasarkan aspek afektif pada siklus II untuk aspek penerimaan (A1) diperoleh skor rata-rata sebesar 81, aspek partisipasi (A2) sebesar 82, aspek penilaian/penentuan sikap (A3) sebesar 78, aspek organisasi (A4) sebesar 72, dan pembentukan pola hidup (A5) sebesar 82. Dari kelima aspek tersebut diperoleh nilai rata-rata penguasaan peserta didik sebesar 79.
Tabel 4. Penguasaan kompetensi sosial afektif antara siklus I dan siklus II

Aspek Afektif Keterangan
Penerimaan (A1) Meningkat
Partisipasi (A2) Meningkat
Penilaian/Penentuan Sikap (A3) Meningkat
Organisasi (A4) Meningkat
Pembentukan Pola Hidup (A5) Meningkat

Hasil penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik berdasarkan aspek afektif menunjukkan peningkatan nilai rata-rata antara siklus I dan siklus II terjadi pada aspek penerimaan (A1), partisipasi (A2), penilaian/penentuan sikap (A3), rganisasi (A4) dan pembentukan pola hidup (A5).

K. Pembahasan
1. Penerapan Pembelajaran Bermain Peran
Metode pembelajaran bermain peran (role playing) merupakan bagian dari kelompok model-model pembelajaran sosial yang didasarkan pada asumsi: (1) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dengan menggunakan proses-proses sosial, dan (2) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build in dan terus-menerus (Mulyani Sumantri, 2001).
Dalam bermain peran (role playing) siswa diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik pembelajaran (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Jadi, dalam pembelajaran peserta didik harus aktif. Tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi (Sardiman, 2001).
Dalam penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) sebagaimana telah diuraikan dalam rencana pembelajaran, secara garis besar langkah-langkah kegiatan pembelajaran terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti dan penutup.
a. Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan dapat dimulai dengan membuka pelajaran dan apersepsi. Membuka pelajaran dan apersepsi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan kesiapan mental dan menarik perhatian peserta didik secara optimal, agar mereka memusatkan diri sepenuhnya pada pelajaran yang akan disajikan untuk kepertingan tersebut. Menurut E. Mulyasa (2008) upaya-upaya dapat dilakukan oleh guru dalam membuka pelajaran dan apersepsi sebagai berikut: (1) Menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi yang akan disajikan; (2) Menyampaikan tujuan yang akan dicapai dan garis besar materi yang akan dipelajari; (3) Menyampaikan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan tugas-tugas yang harus diselesaikan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan; dan (4) Mendayagunakan media dan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang disajikan.
Mengajukan pertanyaan, baik untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap pelajaran yang telah lalu maupun untuk menjajagi kemampuan awal berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari.

b. Kegiatan Inti
Kegiatan inti pembelajaran dengan penerapan pembelajaran bermain peran (role palying) dalam penelitian ini terdiri dari pembentukan konsep, aplikasi konsep dan pemantapan konsep. Langkah pertama adalah pembentukan konsep, dilakukan dengan memberikan penjelasan tentang konsep materi yang sedang dipelajari. Langkah kedua dilakukan aplikasi konsep, untuk mengaplikasikan konsep dilakukan dengan permainan yaitu bermain peran. Sebelum dilakukan permainan peran, guru membuat setting permaian agar tampak sebagaimana mestinya. Misalnya, menjelaskan kepada peserta didik peran apa yang akan dimainkan. Menjelaskan tujuan dan aturan permainan kemudian dilanjutkan bermain peran sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Jika terjadi kesalahan dalam suatu tahapan, guru langsung melanjutkan ke tahapan berikutnya hingga permainan peran selesai. Setelah permainan peran selesai, guru bersama peserta didik mendiskusikan tentang aturan permainan yang semestinya, kemudian dilakukan pemeranan ulang. Biasanya pemeranan ulang lebih baik dari pemeranan pertama. Langkah ketiga dengan pemantapan konsep, pada tahap pemantapan konsep guru dapat mengkomunikasikan dan tanya jawab secara lisan konsep–konsep yang telah dipelajari. Kemudian diakhir dengan membuat kesimpulan/rangkuman.

c. Kegiatan Penutup
Menutup pelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk mengetahui pencapaian tujuan dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah dipelajari serta mengakhiri kegiatan pembelajaran. Untuk kepentingan tersebut guru dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Menarik kesimpulan mengenai materi yang telah dipelajari (kesimpulan bisa dilakukan oleh guru, oleh peserta didik atas permintaan guru atau oleh peserta didik bersama guru); (2) Mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan dan keefektifan pembelajaran yang telah dilaksanakan; (3) Menyampaikan bahan-bahan pemdalaman yang harus dipelajari dan tugas-tugas yang harus dikerjakan sesuai dengan pokok bahasan yang telah dipelajari; dan (4) Memberikan post tes baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.
Hasil pengamatan terhadap penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) antara lain: (1) pada awalnya keberanian dan kemampuan berkomunikasi peserta didik khususnya dalam berbicara di depan kelas dapat dikategorikan masih rendah. Hal ini dapat dilihat pada saat pertama kali memilih partisipan, tidak ada peserta didik yang secara sukarela menjadi partisipan bahkan saat guru menunjuk peserta didik untuk menjadi partisipan, beberapa diantara peserta didik menolak dan tidak berani menjadi partisipan. Disamping itu juga dapat diamati pada saat peserta didik memainkan peran di depan teman-temannya masih gemetaran dan merasa canggung (tidak percaya diri). Kondisi seperti ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan peserta didik dalam pembelajaran sebelumnya; (2) Bermain peran dapat memberikan semacam hidden practise, dimana peserta didik tanpa sadar telah melakukan suatu interaksi dan kumunikasi berupa ungkapan-ungkapan tentang konsep materi pembelajaran; (3) Bermain peran melibatkan peserta didik aktif melakukan aktivitas berupa pengalaman-pengalaman sesuai dengan perannya aktivitas berkoperasi; (4) Bermain peran dapat memberikan kepada peserta didik kesenangan karena bermain peran pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain peserta didik akan merasa senang karena bermain adalah dunia peserta didik. (5) Dalam pelaksanaan permain peran selanjutnya, rasa percaya diri peserta didik tampak lebih baik dibandingkan pada siklus sebelumnya. Komunikasi antar partisipan lebih leluasa dalam memainkan peran, suasana pembelajaran tampak lebih meriah apalagi permainan peran melibatkan partisipan dengan kelompok yang besar.

2. Penguasaan Kompetensi Sosial Kognitif
Dalam penelitian ini, salah satu aspek yang diukur sebagai hasil belajar adalah kompetensi sosial kognitif. Kompetensi sosial kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir termasuk di dalamnya kemampuan memahami, menghafal, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi dalam tatanan ilmu pengetahuan sosial. Menurut Taksonomi Bloom (Mimin Haryati, 2007), kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir secara hierarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berpikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut pesrta didik untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi sosial kognitif peserta didik, sebagai salah satu aspek yang diukur dari penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) dapat dilihat dari hasil pretest dan postest. Data hasil siklus I dan siklus II diperoleh dari hasil pengujian dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa test objektif pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“.
Data hasil siklus I dan siklus II kompetensi sosial kognitif tersebut kemudian diolah dan dikelompokkan untuk mengetahui penguasaan kompete peserta didik sosial kognitif pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“. Dari hasil pengolahan data siklus I menunjukkan nilai rata-rata penguasaan kompetensi sosial koginitif mengalami peningkatan padi siklus II. Dengan demikian dapat disimpulkan penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan kompetensi sosial kognitif peserta didik dalam pembelajaran IPS materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“.

3. Penguasaan Kompetensi Sosial Afektif
Setelah kompetensi sosial kognitif, aspek lain yang diukur dalam penelitian sebagai hasil belajar adalah kompetensi sosial afektif. Kompetensi sosial kognitif berhubungan dengan penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup.
Data hasil siklus I dan siklus II kompetensi sosial afektif tersebut kemudian diolah dan dikelompokkan untuk mengetahui penguasaan kompetensi sosial afektif peserta didik pada materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“. Dari hasil pengolahan data siklus I menunjukkan nilai rata-rata penguasaan kompetensi sosial afektif mengalami peningkatan pada siklus II. Dengan demikian dapat disimpulkan penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dapat meningkatkan kompetensi sosial afektif siswa dalam pembelajaran IPS materi “Mengenal Pentingnya Koperasi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat“.

4. Peranan Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Terhadap Kompetensi Sosial Kognitif Peserta Didik Dalam Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar.
Kompetensi merupakan kecakapan hidup (life skill) yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kecakapan hidup merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusinya sehingga mampu mengatasinya (Mimin Haryati, 2007). Dalam lingkup pendidikan IPS, Pendidikan IPS ditingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitude and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik (Sapriya, 2008).
Dalam pembelajaran bermain peran, peserta didik mengkaji masalah-masalah hubungan manusia dengan memerankan situasi–situasi masalah, kemudian mendiskusikannya. Siswa dapat menjelajah dan mengkaji perasaan, sikap, nilai dan strategi pemecahan masalah. Metode pembelajaran bermain peran memungkinkan individu untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial dan memecahkan dilema-dilema dengan bantuan kelompok sosial. Pada dimensi sosial metode pembelajaran bermain peran memungkinkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial. Terutama permasalahan interpersonal, dalam mengembangkan cara-cara yang demokratis untuk menghadapi situasi tersebut.
Dengan demikian ditinjau dari kompetensi sosial kognitif, penerapan metode bermain peran mampu meningkatkan hasil belajar siswa, yaitu semakin membaiknya nilai rata-rata sesudah penerapan metode bermain peran dibandingkan dengan nilai sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan Nurasia (2009), bahwa penerapan pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

5. Peranan Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Terhadap Kompetensi Sosial Afektif Peserta Didik Dalam Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar.
Selain kompetensi sosial kognitif, kompetensi lain yang menjadi tolak ukur penguasaan siswa sebagai proses dan hasil pembelajaran dari penerapan pembelajaran bermain peran adalah kompetensi sosial afektif. Kompetensi sosial afektif penerimaan (receiving), partisipasi (responding), penilaian/penentuan sikap (valuing), organisasi (organizantion) dan pembentukan pola hidup (characterization by value or value complex), Mimin Haryati (2007). Secara umum afektif adalah aspek kepribadian yang berkenaan dengan perasaan, sikap, nilai dan moral seseorang. Di dalam berperasaan manusia mengadakan penilaian terhadap objek-objek yang dihadapi atau dihayatinya apakah itu suatu benda, suatu peristiwa atau seseorang, baginya berharga/bernilai atau tidak.
Demikian juga peserta didik dalam menghayati nilai dari pembelajaran di sekolah lewat alam perasaannya. Pengalaman belajar dinilai secara spontan, apakah bermakna bagi siswa atau tidak. Penilaian dilakukan secara keseluruhan pengalaman belajar di sekolah maupun masing-masing bidang studi bersama dengan tenaga pengajarnya. Menurut Winkel (1996), penilaian yang spontan melalui alam perasaan ini amat berperan terhadap gairah dan semangat belajar. Menurut Pophan dalam Mimin Haryati (2007), bahwa ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Artinya ranah afektif sangat menentukan keberhasilan seorang peserta didik untuk mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran. Seorang peserta didik tidak akan memiliki minat atau karakter terhadap mata ajar tertentu, maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan belajar secara maksimal. Sedangkan peserta didik yang memiliki minat atau karakter terhadap mata ajar, maka hal itu akan sangat membantu untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.
Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk: (1) Menggali perasaannya, (2) Memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsinya, (3) Mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) Mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Hal ini bermanfaat bagi peserta didik pada saat terjun ke masyarakat kelak, karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi dimana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja dan lain-lain. (Hamzah B. Uno, 2007).

L. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang upaya peningkatan hasil belajar IPS Peserta Didik kelas IV di SDN Cihaurgeulis 2 Bandung melalui penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing). Berikut ini dapat diuraikan beberapa kesimpulan:
1. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap refleksi peserta didik dalam proses pembelajaran dengan penerapan pembelajaran metode bermain peran, terdapat beberapa perubahan, antara lain:
a. Penerapan pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
b. Peserta didik memiliki keberanian dalam memainkan peran sebagai partisipan, mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat teman.
c. Dalam melakukan pemeranan, peserta dididk mampu menjaga etika bermain peran, memimpin diskusi, bekerja sama, tanggung jawab, mencari dan mengolah informasi, menganalisis dan membuat simpulan.
d. Bermain peran dapat menumbuhkan sikap kritis, demokratis dan kreatif peserta didik dalam menyikapi persoalan yang dihadapi pada saat pembelajaran.
2. Pengaruh penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) terhadap kompetensi sosial kognitif peserta didik dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar dapat meningkatkan kompetensi sosial kognitif siswa yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kompetensi sosial kognitif pada siklus I dan siklus II.
3. Pengaruh penerapan metode pembelajaran bermain peran (role playing) terhadap kompetensi sosial afektif siswa dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar dapat meningkatkan kompetensi sosial afektif peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kompetensi sosial kognitif pada siklus I dan siklus II.

Dari temuan hasil penelitian menunjukan penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar, dapat diuraikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Penerapan pembelajaran bermain peran (role playing) dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dapat meningkatkan kompetensi sosial kognitif dan kompetensi sosial afektif. Dalam meningkatkan kompetensi sosial kognitif, dan kompetensi sosial afektif, penerapan metode pembelajaran bemain peran dapat melibatkan peserta didik sebagai partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata dan keinginan untuk mengatasinya.
2. Metode pembelajaran bermain juga dapat diterapkan sebagai metode pembelajaran untuk pendalaman materi dan remedial. Dengan menerapkan metode pembelajaran bermain peran dapat memungkinkan peserta didik tidak merasa jenuh atau bosan terhadap pembelajaran. Karena pembelajaran bermain peran adalah metode pembelajaran yang dikemas dalam bentuk permainan.
3. Sebelum penerapan metode pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran, perlu mempertimbangkan materi yang akan diajarkan, media yang dibutuhkan serta jumlah peserta didik. Jika tidak, maka proses dan hasil pembelajaran kurang maksimal. Misalnya untuk kelas yang besar harus membuat suatu permainan yang membutuhkan partisipan yang banyak, sehingga peserta pembelajaran ikut berpartisipasi sekaligus aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan karakteristik peserta didik sekolah dasar yang secara umum belajar secara puas efektif ketika mereka puas dengan situasi yang terjadi (Basset, et al., dalam Muhammad Ali, 2007). Metode pembelajaran bermain peran harus dapat melibatkan peserta didik secara aktif baik sebagai partisipan maupun sebagai pengamat. Dengan keterlibatan siswa secara aktif memungkinkan siswa merasa puas dengan tanggung jawab dan situasi yang terjadi.








DAFTAR PUSTAKA
Akdon. (2008). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian untuk Administrasi dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruchi
BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Hamzah B. Uno (2008), Model Pembelajaran – Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif, Jakarta: Bumi Aksara.
Hamzah B. Uno (2008), Perencanaan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan S. Hamid (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
M. Numan Somantri (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Mimin Haryati (2007), Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press.
Mudairin (2003), Role Play: Suatu Alternatif Pembelajaran Yang Efektif Dan Menyenangkan Dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, http://pakguruonline.pendidikan.net
Muhammad Ali (2007), Teori dan Praktek Pembelajaran Pendidikan Dasar, Modul Pembelajaran Mahasiswa Pasca Sarajana Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.
Muhibbin Syah (2007), Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Mulyani Sumantri & Nana Syaodih (2007), Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Universitas Terbuka.
Mulyani Sumantri & Johar Permana (2001), Strategi Belajar Mengajar, Bandung: CV. Maulana.
Mulyasa, E. (2008), Menjadi Guru Profesional – Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosdakara
Nurasia (2009 ), “Penerapan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Untuk Meningkatkan Kemampuan Apresiasi Drama - Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Cimanggung, Kabupaten Sumedang” http://ind.sps.upi.edu/?p=175
Sagala, Syaiful (2007). Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung Alfabeta
Sapriya & Susilawati & Nurdin, S. (2006), Konsep Dasar IPS. Bandung, UPI Press.
Suharsimi Arikunto (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Suharsimi Arikunto (2006). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sumaatmadja, Nursid dkk. (1997), Materi Pokok Konsep Dasar IPS. Jakarta Universitas Terbuka.
Suparno, Paul (2001), Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar