Laman

15 April 2012

Prinsip-prinsip Dasar Konstruktivisme


            Dari studi berbagai kepustakaan ditemukan ada beberapa prinsip dasar dari pandangan konstruktivisme. Menurut Wheatley (1991), Hendry (1996), Watts & Bentley (1997) menyatakan bahwa prinsip-prinsip konstruktivisme tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pengetahuan muncul atau ada hanya dalam pikiran manusia.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah selalu milik manusia (someone’s knowledge), dan hanya ada dalam pikiran manusia saja (Wheatley, 1991). Maksudnya adalah yang memberi makna dari keberadaan sesuatu yang nyata di dunia adalah manusia, dan makna itu hanya ada dalam diri atau pikiran manusia itu. Prinsip ini sangat bertentangan dengan prinsip objektivisme yang memandang bahwa pengetahuan itu adalah pikiran individu karena secara eksternal, pengetahuan itu memang ada dalam dunia nyata (Duffy & Jonassen, 1992;  Merrill, 1992;  Hendry, 1996). Prinsip konstruktivisme ini juga bertentangan dengan prinsip sosial konstruktivisme yang memandang pengetahuan tidak secara eksklusif ada dalam pikiran manusia, melainkan pengetahuan itu ada dalam pikiran manusia sebagai suatu kesatuan yang nyata (objective entity) dalam interaksi sosial (Lyddon and McLaughlin, 1992). Dari pendapat kaum objektivis dan sosial konstruktivis ini, kaum konstruktivis sependapat bahwa pengetahuan individu memang dibatasi (constrained) oleh keadaan dunia nyata; namun ide-ide (ideas), keyakinan-keyakinan (beliefs), dan nilai-nilai (values) tetap hanya ada dalam diri individu itu.

  1. Arti atau interpretasi yang diberikan oleh individu terhadap sesuatu tergantung pada pengetahuan yang dimilikinya.
Menurut aliran konstruktivisme, dalam keadaan sadar individu secara konstan menghubungkan dirinya dengan dunia luar (lingkungan), dan dia memberi arti pada apa yang dilihatnya atau yang ditemuinya sangat tergantung pada pengetahuan yang dimilikinya (Hendry, 1996). Dalam komunikasi kita memberikan arti pada apa yang disampaikan atau pada bahasa yang digunakan oleh orang lain, dan juga pada atribut-atribut yang ditampilkannya, tergantung pada pengetahuan kita tentang bahasa dan atribut tersebut (Wheatley, 1991).

  1. Pengetahuan dikonstruksi dari dalam diri individu dan dalam hubungannya dengan dunia nyata.
Pengetahuan dibentuk dalam diri manusia dan dalam hubungannya dengan hal-hal yang ada dilingkungan. Prinsip konstruktivisme ini menurut Hendry (1996) cukup membingungkan dan mengundang banyak pertanyaan yang bersifat substansial. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: (a) Bagaimanakah kesahihan suatu pengetahuan itu ditentukan? (b) Bagaimana caranya orang dapat mengkonstruk pengetahuan umum? (c) Secara fundamental, apa penyebab terjadinya konstruksi pengetahuan? (d) Bagaimana pengetahuan baru yang secara kualitatif berbeda dari yang sebelumnya itu diciptakan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab dalam prinsip ke-4, ke- 5, dan prinsip ke- 6 berikut ini.

  1. Pengetahuan tidak pernah pasti.
Larochelle & Desautels (1991) mengatakan bahwa kita tidak bisa melepaskan diri dari keinginan untuk membandingkan pengetahuan yang sudah terkonstruksi di dalam diri kita dengan apa yang ada atau yang terjadi di lingkungan. Oleh karena itu, Lerman (1989) mengatakan bahwa pengetahuan tidak akan pernah pasti. Suatu pengetahuan dikatakan valid hanya sebatas/selama tidak terjadi perubahan konstruksi di dalam diri seseorang tentang pengetahuan itu dalam hubungannya dengan dunia luar. Sebagaimana ditegaskan oleh Bodner (1986: 875) “Knowledge is good if and when it works”. Lebih lanjut Von Glasersfeld (1990) mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang benar-benar pasti dan berguna untuk selamanya, kepastian suatu pengetahuan hanyalah bersifat relative. 

  1. Pengetahuan umum datang dari otak dan tubuh yang bersifat umum, yang merupakan bagian dari alam semesta yang sama.
Menurut Hendry (1996), kita mengkonstruk pengetahuan yang bersifat umum karena proses kerja otak kita sama, karakteristik tubuh kita juga sama. Kita dapat berkomunikasi karena kita dapat menghasilkan bahasa yang sama yang bisa di gunakan untuk menandai ide-ide yang sama. Namun demikian, kita tidak pernah bisa yakin bahwa kata-kata yang kita gunakan untuk menandai pengetahuan kita juga menandai pengetahuan yang sama yang ada pada orang lain. Menurut Von Glasersfeld (1990), pengetahuan yang sama muncul pada diri orang lain jika mereka bisa menangkap makna dari apa yang kita sampaikan sama seperti yang kita maksutkan. Ini berarti bahwa kita tidak bisa memastikan apakah pengetahuan yang timbul pada orang lain itu sama atau berbeda dengan kita tampa menanyakan dan mendiskusikannya lebih lanjut. Kenyataan ini mempunyai implikasi yang sangat krusial dalam proses belajar mengajar.  

  1. Pengetahuan dikonstruksikan melalui persepsi dan aksi.
Menurut Roschelle & Clancey (1992), orang mengkonstruksi bentuk baru dari pengetahuan melalui proses persepsi dan aksi (perception and action process), dan  lebih spesifik lagi, melalui persepsi-aksi dalam komunikasi. Namun Hendry (1996) mengatakan bahwa pernyataan ini tidak bisa menjelaskan penyebab awal terjadinya konstruksi pengetahuan dalam interaksi kita dengan dunia luar. Menurut Peaget (1980), penyebab pertama munculnya pengetahuan pada diri seseorang karena adanya gangguan dari luar (external disturbance) pada struktur kognitifnya sehingga terjadi ketidak seimbangan (diseguilibrium). Keadaan ini disebut oleh Hand (1988) sebagai “conceptual conflict”, dan Wheatley (1991) menyebutnya sebagai gangguan pada aktivitas mental (a disturbance of mental activity). Seorang individu berhasil mengkonstruksi pengetahuan baru jika ia mampu beradaptasi atau menyeimbangkan kembali struktur kognitifnya yang sudah terganggu melalui proses aktif (perception-action). Bentuk keseimbangan yang baru ini secara kualitatif berbeda dengan keseimbangan atau pengetahuan sebelumnya. 

  1. Pengkonstruksian ilmu pengetahuan membutuhkan waktu dan energi.
Pengkonstruksian pengetahuan baru adalah suatu proses aktif yang membutuhkan energi (karena ada usaha mental/mental effort), dan waktu (Hendry, 1996). Lebih lanjut Hendry (1996) mengatakan bahwa usaha individu untuk mengkonstruksi pengetahuannya, sebagian tergantung pada gangguan yang dirasakannya. Jika tingkat gangguan yang dirasakan pada struktur kognitif atau tingkat ketidakpuasan terhadap pengetahuan yang dimilikinya rendah, maka usaha untuk mengkonstruksi pengetahuan juga rendah. Sebaliknya, usaha konstruksi akan maksimal jika tingkat gangguan atau tingkat ketidakpuasan yang dirasakan terhadap pengetahuan yang dimilikinya tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar