Laman

15 April 2012

Mendongkrak Mutu Pendidikan Melalui Ujian Nasional


Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan secara nasional untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa SMP dan SMA nampaknya masih saja menjadi momok yang sangat menakutkan. Hal ini bisa dirasakan oleh siswa, orangtua, guru dan pihak sekolah yang terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Kekhawatiran berlebihan yang dirasakan karena takut gagal ujian nampaknya benar-benar menjadi sebuah hal yang menegangkan, terutama saat pengumuman hasil ujian nasional dibuka. Bagi siswa yang lulus ujian, tentu lulus ujian adalah sesuatu yang membahagiakan, buah dari perjuangan selama tiga tahun menempuh jenjang pendidikan di SMP dan SMA. Sebaliknya, menangis histeris, berteriak, dan bahkan sampai ada yang jatuh pingsan adalah sebagian dari reaksi siswa-siswi SMP dan SMA yang tidak lulus ujian. Pro dan kontra seputar pelaksanaan ujian nasionalpun nampaknya kerap kali terjadi, namun tetap saja ujian nasional berjalan bak sebuah dilemma yang tak berkesudahan.
Ujian nasional pada dasarnya bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Anggapan UN dijadikan satu-satunya untuk menentukan kelulusan adalah keliru. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan, seleksi masuk pada jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/ atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Ujian nasional nampaknya masih menjadi salah satu strategi pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun langkah ini sempat mendapat sorotan tajam bahkan melibatkan Mahkamah Agung mengenai pelanggaran HAM yang terjadi selama pelaksanaan UN, namun UN tetap dilaksanakan dan dapat terselenggara dengan tertib, aman, dan lancar.  Pada 14 September 2009, MA menolak kasasi pemerintah tentang penyelenggaraan UN. UN dinilai cacat hukum sehingga pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan oleh Kristiono dkk. Kristiono adalah orang tua, dari Indah yang tak lulus karena nilai UN-nya tidak sesuai standar pemerintah. Putusan MA menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri  Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Diantara isi putusan tersebut pemerintah diminta untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta memberikan akses pendidikan kepada masyarakat.  Putusan MA itu tidak secara eksplisit menyatakan melarang penyelenggaraan UN. Artinya, tidak ada putusan yang menyatakan UN dihapuskan. Jadi UN tahun pelajaran 2009/2010 tetap dilaksanakan.
Kritik masyarakat mengenai pelaksanaan UN antara lain berkenaan dengan prasarana dan sarana pendidikan di Indonesia  yang masih pincang (tidak merata) sehingga standar pendidikan tidak merata terlebih dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengedepankan otonomi sekolah dan daerah. Kurangnya fasilitas: buku-buku, perpustakaan, komputer, laboratorium, kurangnya SDM guru serta pembiayaan pendidikan yang masih cukup besar sehingga memerlukan subsidi dari siswa adalah sebagian dari permasalahan pendidikan yang terjadi dewasa ini. Pelaksanaan UN dianggap sebagaian masyarakat bahwa pemerintah telah melupakan proses pendidikan, tiga mata pelajaran yang diujikan tidak representatif sehingga seolah mengesampingkan mata pelajaran lainnya. Permasalahan lain yang muncul adalah berkaitan dengan pelaksanaan UN yang ditengarai banyak terjadi kecurangan dan manipulasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian masyarakat yang menilai bahwa UN terasa berat, ketimpangan kualitas, tidak ada ujian ulangan (sebelum 2009/2010), serta tekanan  yang mungkin saja muncul dari orang tua siswa, kepala sekolah, bahkan pejabat pendidikan.
Berbagai kritik masyarakat yang menggema di seluruh penjuru tanah air, menyebabkan terjadinya perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan UN. Pada pelaksanaan  UN tahun pelajaran 2009/2010 dilaksanakan dua kali yaitu UN Utama dan UN Ulangan. Selain itu bagi peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN Utama, maka dapat mengikuti UN Susulan yang dilaksanakan seminggu setelah UN Utama. Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN yaitu memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya, dan khusus untuk SMK nilai ujian praktik kejuruan  minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN. Dibukanya kesempatan untuk melakukan UN Ulangan berkait dengan upaya untuk memberi kesempatan kepada siswa yang telah mengikuti pendidikan formal untuk tetap memperoleh tanda kelulusan di jalur formal (bukan penyetaraan), untuk membantu menghindari terjadinya tekanan psikologis terhadap siswa akibat gagal dalam pelaksanaan UN Utama. Dengan tetap memberi kesempatan untuk mendaftar di perguruan tinggi negeri. UN Ulangan diikuti oleh siswa yang dinyatakan tidak lulus UN.  Peserta didik yang akan mengikuti UN ulangan adalah yang memiliki nilai mata pelajaran kurang dari 5,5 pada semua atau sebagian mata pelajaran. Nilai yang dipakai adalah yang tertinggi.
Pro dan kontra seputar pelaksanaan UN sebaiknya disikapi secara arif dan bijaksana. Hasil penelitian dan seminar menunjukkan bahwa dengan adanya UN maka siswa terdorong belajar lebih giat, guru-guru terdorong mengajar lebih baik, kepala sekolah terdorong memperbaiki mutu sekolah, dan orang tua siswa terdorong untuk lebih memperhatikan anak belajar. Mari kita perhatikan sejarah pelaksanaan penilaian pada sistem pendidikan di Indonesia, pada penyelenggaraan ujian negara (1945-1971) dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Hal ini berdampak pada mutu lulusan yang tinggi namun tingkat kelulusan rendah sehingga banyak kritik masyarakat. Penyelenggaraan ujian sekolah (1971-1983) dilakukan sepenuhnya oleh sekolah dan berdampak pada tingkat kelulusan hampir mencapai 100% namun mutu lulusan rendah sehingga diperlukan seleksi untuk masuk ke jenjang berikutnya. Meskipun ada pembenahan penyelenggaraan ujian melalui EBTANAS (1983-2002) namun dampak negatifnya masih dapat dirasakan karena domain yang diukur hanyalah aspek kognitif saja sehingga mutu lulusan rendah meskipun tingkat kelululusan mencapai hamper 100%. Penyelenggaraan system penilaian di Indonesia ini tentunya menuai kritik masyarakat sehingga beranggapan bahwa siswa yang rajin atau malas atau siswa yang pintar atau bodoh mempunyai civil effect yang sama, tidak ada standard. Artinya semua siswa lulus, hal ini tentu berdampak pada citra pendidikan di Indonesia yang tidak berkualitas dan tidak memiliki Quality Control atau Quality Assurance. Hal ini  tentu saja  tidak mendorong siswa untuk belajar, tidak mendorong guru untuk mendidik dan mengajar dengan sungguh-sungguh, tidak mendorong budaya bersaing, dan yang paling mendasar adalah seolah memberikan pendidikan yang semu.
Berdasarkan hal tersebut, nampak bahwa UN yang berkualitas, transparan dan akuntabel diperlukan oleh negeri ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Perlu disadari pula bahwa ujian nasional bukan satu-satunya alat yang menentukan kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Menurut Pasal 72 PP No. 19/2005, syarat lulus dari satuan pendidikan adalah telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memiliki nilai baik kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, lulus Ujian Sekolah; dan lulus Ujian Nasional. Dengan demikian Ujian nasional tidak merampas hak guru dalam memberikan penilaian kepada siswa karena guru memiliki kewenangan untuk menilai seluruh mata pelajaran lain (US) yang tidak diujikan dalam UN, menilai kompetensi mata pelajaran UN yang tidak diujikan dalam Ujian Nasional. Perimbangan penilaian US dan UN memberikan gambaran bahwa seyogianya guru mempersiapkan dan melaksanakan ujian secara baik dan professional dan  melakukan penskoran secara objektif. Jika hal ini dilakukan, niscaya tidak terjadi kesenjangan antara US dan UN.
Dampak positif lain yang dapat dirasakan dengan pelaksanaan UN adalah hasil UN dijadikan sebagai dasar pemetaan dan pemberian bantuan (Pasal 68 PP No.19 Tahun 2005); dimana sekolah yang sudah baik dibimbing untuk terus berkembang secara lebih mandiri dan sekolah yang belum baik akan dibantu lebih banyak dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan melalui UN adalah meningkatkan efektivitas pembelajaran, memanfaatkan Standar Kompetensi Lulusan, memanfaatkan Kisi-kisi semaksimal mungkin, memanfaatkan Panduan Materi Ujian dan memanfatkan hasil analisis daya serap.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar