Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan secara nasional untuk mengukur
pencapaian hasil belajar siswa SMP dan SMA nampaknya masih saja menjadi momok
yang sangat menakutkan. Hal ini bisa dirasakan oleh siswa, orangtua, guru dan
pihak sekolah yang terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Kekhawatiran
berlebihan yang dirasakan karena takut gagal ujian nampaknya benar-benar
menjadi sebuah hal yang menegangkan, terutama saat pengumuman hasil ujian nasional
dibuka. Bagi siswa yang lulus ujian, tentu lulus ujian adalah sesuatu yang
membahagiakan, buah dari perjuangan selama tiga tahun menempuh jenjang
pendidikan di SMP dan SMA. Sebaliknya, menangis histeris, berteriak, dan bahkan
sampai ada yang jatuh pingsan adalah sebagian dari reaksi siswa-siswi SMP dan
SMA yang tidak lulus ujian. Pro dan kontra seputar pelaksanaan ujian
nasionalpun nampaknya kerap kali terjadi, namun tetap saja ujian nasional
berjalan bak sebuah dilemma yang tak berkesudahan.
Ujian nasional pada dasarnya bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Anggapan UN
dijadikan satu-satunya untuk menentukan kelulusan adalah keliru. Hasil UN
digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan dan/atau
program pendidikan, seleksi masuk pada jenjang pendidikan berikutnya, penentuan
kelulusan peserta didik dari program dan/ atau satuan pendidikan, serta
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan.
Ujian nasional nampaknya masih menjadi salah satu strategi
pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun langkah ini sempat
mendapat sorotan tajam bahkan melibatkan Mahkamah Agung mengenai pelanggaran
HAM yang terjadi selama pelaksanaan UN, namun UN tetap dilaksanakan dan dapat
terselenggara dengan tertib, aman, dan lancar.
Pada 14 September 2009, MA menolak kasasi pemerintah tentang
penyelenggaraan UN. UN dinilai cacat hukum sehingga pemerintah dilarang
menyelenggarakan UN. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan oleh Kristiono dkk. Kristiono adalah
orang tua, dari Indah yang tak lulus karena nilai UN-nya tidak sesuai standar
pemerintah. Putusan MA menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
377/PDT/2007/PT.DKI, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor
228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Diantara isi putusan tersebut pemerintah diminta
untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta
memberikan akses pendidikan kepada masyarakat. Putusan MA itu tidak
secara eksplisit menyatakan melarang penyelenggaraan UN. Artinya, tidak ada
putusan yang menyatakan UN dihapuskan. Jadi UN tahun pelajaran 2009/2010 tetap
dilaksanakan.
Kritik masyarakat mengenai pelaksanaan UN antara lain
berkenaan dengan prasarana dan
sarana pendidikan di Indonesia yang
masih pincang (tidak merata) sehingga standar pendidikan tidak merata terlebih
dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
mengedepankan otonomi sekolah dan daerah. Kurangnya fasilitas: buku-buku,
perpustakaan, komputer, laboratorium, kurangnya SDM guru serta pembiayaan
pendidikan yang masih cukup besar sehingga memerlukan subsidi dari siswa adalah
sebagian dari permasalahan pendidikan yang terjadi dewasa ini. Pelaksanaan UN
dianggap sebagaian masyarakat bahwa pemerintah
telah melupakan proses pendidikan, tiga mata pelajaran yang diujikan tidak representatif
sehingga seolah mengesampingkan mata pelajaran lainnya. Permasalahan
lain yang muncul adalah berkaitan dengan pelaksanaan UN yang ditengarai banyak
terjadi kecurangan dan manipulasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian
masyarakat yang menilai bahwa UN
terasa berat, ketimpangan kualitas, tidak ada ujian ulangan (sebelum
2009/2010), serta tekanan yang mungkin
saja muncul dari orang tua siswa, kepala sekolah, bahkan pejabat pendidikan.
Berbagai kritik masyarakat yang menggema di seluruh penjuru
tanah air, menyebabkan terjadinya perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan UN.
Pada pelaksanaan UN tahun pelajaran 2009/2010 dilaksanakan dua kali yaitu
UN Utama dan UN Ulangan. Selain itu bagi peserta didik yang karena alasan
tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN Utama, maka dapat
mengikuti UN Susulan yang dilaksanakan seminggu setelah UN Utama. Peserta UN
dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN yaitu memiliki nilai
rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai
minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata
pelajaran lainnya, dan khusus untuk SMK nilai ujian praktik kejuruan
minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN. Dibukanya kesempatan
untuk melakukan UN Ulangan berkait dengan upaya untuk memberi kesempatan kepada
siswa yang telah mengikuti pendidikan formal untuk tetap memperoleh tanda
kelulusan di jalur formal (bukan penyetaraan), untuk membantu menghindari
terjadinya tekanan psikologis terhadap siswa akibat gagal dalam pelaksanaan UN
Utama. Dengan tetap memberi kesempatan untuk mendaftar di perguruan tinggi
negeri. UN Ulangan diikuti oleh siswa yang dinyatakan tidak lulus UN.
Peserta didik yang akan mengikuti UN ulangan adalah yang memiliki nilai mata
pelajaran kurang dari 5,5 pada semua atau sebagian mata pelajaran. Nilai yang
dipakai adalah yang tertinggi.
Pro dan kontra seputar
pelaksanaan UN sebaiknya disikapi secara arif dan bijaksana. Hasil penelitian
dan seminar menunjukkan bahwa dengan adanya UN maka siswa terdorong belajar lebih giat, guru-guru terdorong mengajar lebih
baik, kepala sekolah terdorong memperbaiki mutu sekolah, dan orang tua siswa
terdorong untuk lebih memperhatikan anak belajar. Mari kita perhatikan sejarah pelaksanaan
penilaian pada sistem pendidikan di Indonesia, pada penyelenggaraan ujian
negara (1945-1971) dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah baik penyiapan bahan,
pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Hal ini berdampak pada mutu lulusan
yang tinggi namun tingkat kelulusan rendah sehingga banyak kritik masyarakat.
Penyelenggaraan ujian sekolah (1971-1983) dilakukan sepenuhnya oleh sekolah dan
berdampak pada tingkat kelulusan hampir mencapai 100% namun mutu lulusan rendah
sehingga diperlukan seleksi untuk masuk ke jenjang berikutnya. Meskipun ada
pembenahan penyelenggaraan ujian melalui EBTANAS (1983-2002) namun dampak
negatifnya masih dapat dirasakan karena domain yang diukur hanyalah aspek
kognitif saja sehingga mutu lulusan rendah meskipun tingkat kelululusan
mencapai hamper 100%. Penyelenggaraan system penilaian di Indonesia ini
tentunya menuai kritik masyarakat sehingga beranggapan bahwa siswa yang rajin
atau malas atau siswa yang pintar atau bodoh mempunyai civil effect yang sama, tidak ada standard. Artinya semua siswa
lulus, hal ini tentu berdampak pada citra pendidikan di Indonesia yang tidak
berkualitas dan tidak memiliki Quality Control atau Quality Assurance. Hal
ini tentu saja tidak mendorong siswa untuk belajar, tidak
mendorong guru untuk mendidik dan mengajar dengan sungguh-sungguh, tidak mendorong
budaya bersaing, dan yang paling mendasar adalah seolah memberikan pendidikan
yang semu.
Berdasarkan hal
tersebut, nampak bahwa UN yang berkualitas, transparan dan akuntabel diperlukan
oleh negeri ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Perlu disadari pula
bahwa ujian nasional bukan satu-satunya alat yang menentukan kelulusan siswa
dari satuan pendidikan. Menurut Pasal
72 PP No. 19/2005, syarat lulus dari satuan pendidikan adalah telah
menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memiliki nilai baik kelompok mata
pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, lulus Ujian Sekolah; dan lulus
Ujian Nasional. Dengan demikian Ujian nasional tidak merampas hak guru dalam
memberikan penilaian kepada siswa karena guru memiliki kewenangan untuk menilai
seluruh mata pelajaran lain (US) yang tidak diujikan dalam UN, menilai
kompetensi mata pelajaran UN yang tidak diujikan dalam Ujian Nasional. Perimbangan
penilaian US dan UN memberikan gambaran bahwa seyogianya guru mempersiapkan dan
melaksanakan ujian secara baik dan professional dan melakukan penskoran secara objektif. Jika hal
ini dilakukan, niscaya tidak terjadi kesenjangan antara US dan UN.
Dampak positif lain yang dapat dirasakan dengan pelaksanaan UN adalah hasil
UN dijadikan sebagai dasar pemetaan dan pemberian bantuan (Pasal 68 PP No.19
Tahun 2005); dimana sekolah yang sudah baik dibimbing untuk terus berkembang
secara lebih mandiri dan sekolah yang belum baik akan dibantu lebih banyak
dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air.
Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan melalui
UN adalah meningkatkan efektivitas pembelajaran, memanfaatkan Standar
Kompetensi Lulusan, memanfaatkan Kisi-kisi semaksimal mungkin, memanfaatkan
Panduan Materi Ujian dan memanfatkan hasil analisis daya serap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar