Laman

08 November 2009

Analisis Kebijakan KTSP

ANALISIS KEBIJAKAN
KTSP 2006

Oleh: Sri Hendrawati
Ditulis pada tahun 2007

A. PENDAHULUAN
Perubahan kurikulum di Indonesia hingga sampai pada KTSP tahun 2006 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanyalah disebabkan oleh kesalahan rancangan kurikulum. Anggapan seperti itu telah mengabaikan faktor lain yang juga ikut mempengaruhi terjadinya kegagalan itu sendiri. Dalam beberapa literatur dijelaskan beberapa faktor yang dimaksud adalah kompetensi guru dalam melaksanakan kurikulum, ketidaktersediaan sarana dan prasarana sekolah, kurangnya keterlibatan stakeholder, tidak terciptanya kerjasama yang baik antara perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan standarisasi nasional dan daerah yang tidak akurat, dan ketidakjelasan arah serta model pendidikan yang diselenggarakan.
KTSP singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan sebuah kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan karekteristik peserta didik. Kemunculan KTSP merupakan suatu jawaban atas tuntutan masyarakat dan realita yang kini dihadapi pendidikan di Indonesia yang seolah mengalami masa suram akibat rendahnya mutu sistem pendidikan di Indonesia.
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja, dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu.
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan berorientasi pada subject matter), yaitu:
 Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
 Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
 Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
 Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
 Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
 Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.

B. Selayang Pandang KTSP
KTSP adalah pengembangan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) yang di Australia dikenal dengan school based curriculum development (SBCD). Pengembangan kurikulum mencakup kegiatan merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kurikulum. Dalam KTSP dapat digunakan model-model kurikulum, seperti, KBK, subjek akademik, humanistik, rekonstruksi sosial, dan lain sebagainya. Namun, dalam tataran praktis karena tuntutan pencapaian standar kompetensi, yakni, siswa harus menguasai sejumlah kompetensi manakala mereka menamatkan pendidikan dalam satuan pendidikan, penggunaan model kurikulum yang mendasarkan pada pencapaian kompetensi (KBK) tidak dapat dielakkan.
KTSP merupakan model manajemen pengembangan kurikulum yang arahannya memberdayakan berbagai unsur manajemen (manusia, uang, metode, peralatan, bahan, dan lain-lain) untuk tercapainya tujuan-tujuan pengembangan kurikulum. Jika konsisten dengan namanya, KTSP bersifat desentralistik. Namun demikian, manakala kita melihat kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi, dan pengendalian serta evaluasi kurikulum yang masih tampak dominasi pemerintah pusat, maka pengelolaan KTSP tampaknya berada di antara sentralistik dan desentralistik, yakni dekonsentratif.
Hakikat KTSP, dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1 ayat 15) dikemukakan bahwa :
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyususnan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)

Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut :
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
- PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan.
- Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
- Permendiknas No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
- Permendiknas No.24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas No.22 dan 23 .

KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
1) Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Struktur kurikulum

Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalam muatan kurikulum setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituang kan dalam kompentensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan bahan belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompentensi tersebut terdiri atas standar kompentensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompentensi lulusan. Muatan local dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah mencangkup struktur kurikulum pendidikan umum dan pendidikan khusus.

Struktur kurikulum pendidikan umum
Struktur kurikulum pendidikan umum terdiri dari struktur kurikulum SD/MI, struktur kurikulum SMP/MTs, dan struktur kurikulum SMA/MA.

Struktur kurikulum SD/MI
Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai kelas I sampai dengan kelas VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompentensi lulusan dan standar kompentensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompentesi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah,keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokan kedalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan local ditentukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus di asuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan mengembangkan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri dengan kebutuhan, bakat, dan minat peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri di fasilitasi atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler.
2. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan “IPA terpadu” dan “IPS terpadu”.
3. Pembelajaran pada Kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
4. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum.
5. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.
6. Alokasi waktu satu jam pembelajaran 35 menit.
7. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.

STRUKTUR KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR/ MADRASAH IBTIDAIYAH
Struktur Kurikulum SD/MI Komponen Kelas dan Alokasi Waktu
I II III IV, V, dan VI
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama 3
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2
3. Bahasa Indonesia 5
4. Matematika 5
5. Ilmu Pengetahuan Alam 4
6. Ilmu Pengetahuan Sosial 3
7. Seni Budaya dan Keterampilan 4
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 4
B. Muatan Lokal 2
C. Pengembangan Diri 2*)
J u m l a h 26 27 28 32
*) ekuivalen 2 jam pembelajaran
Sumber: Sanjaya, Wina. (2007). Buku Materi Pokok: Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Halaman 259.



C. KONDISI RIIL PELAKSANAAN KTSP DI LAPANGAN
Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan, sebab kurikulum merupakan alat pencapaian pendidikan yang didalamnya berisi tentang rumusan tujuan yang harus dicapai, isi/materi pelajaran yang harus dipelajari siswa, cara untuk mempelajari serta bagaimana cara untuk mengetahui pencapaiannya. Namun demikian opini yang kini berhembus menyatakan bahwa banyak praktisi pendidikan termasuk guru yang tidak memahami kurikulum secara benar. Misalnya banyak guru yang ketika mengajar hanya mengandalkan buku pegangan yang diterbitkan salah satu penerbit, tidak pernah menghayati kurikulum kemudian menjabarkannya dalam bentuk perencanaan pembelajaran. Akibatnya, setiap terjadi penyempurnaan kurikulum, tidak pernah dijadikan sebagai sesuatu yang menantang untuk meningkatkan kualitas pendidikan, akan tetapi merupakan suatu beban yang sangat berat.
Dalam KTSP, guru maupun kepala sekolah merupakan key person untuk mewujudkan keberhasilan pengembangan KTSP, seperti yang diangkapkan Hamalik (2007;hal.232-233), karena memegang peranan yang sangat penting dan krusial sebagai berikut : Pengelolaan administrative ; Pengelolaan konseling dan pengembangan kurikulum, Guru sebagai tenaga profesi kependidikan; Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, Meningkatkan keberhasilan sistem instruksional Pendekatan kurikulum, Meningkatkan pemahaman konsep diri, Memupuk hubungan timbal balik yang harmonis dengan siswa.
Berdasarkan pernyataan Hamalik tersebut di atas , idealnya, jika setiap guru melaksanakan peran dan fungsinya secara baik, maka pengembangan KTSP dapat dilaksanakan dengan baik. Kekurangpahaman guru bisa berakibat fatal terhadap hasil belajar peserta didik. Hal ini terbukti, ketika mereka dihadapkan pada ujian nasional, mereka sering kelabakan, dan sering ketakutan, takut kalau-kalau peserta didik di sekolahnya tidak lulus ujian karena tidak bisa menyelesaikan soal dengan baik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.24 Tahun 2006 pasal 2 ayat (3) dan (4) bahwa jika satuan pendidikan tersebut telah melakukan uji coba KBK atau kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat melaksanakan KTSP secara menyeluruh untuk semua tingkatan kelas mulai tahun ajaran 2006/2007. Sedangkan yang belum melakukan uji coba KBK secara menyeluruh dapat melakukannya secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan tahun pertama kelas 1 dan 4; tahun kedua kelas 1,2,4,5 dan tahun ketiga kelas 1,2,3,4,5,6. Dengan demikian maka sebenarnya sekolah diberi keleluasaan untuk melaksanakan KTSP secara bertahap sesuai dengan kemampuannya, hal ini meliputi seluruh komponen pendidikan yang terkait dengan satuan pendidikan tersebut, termasuk kesiapan guru. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ini semua adalah tugas yang sangat berat bagi guru. Pemerintah sudah mengantisipasinya dengan memberikan jangka waktu agar sekolah dan komponennya dapat menerapkan KTSP secara maksimal.
Yang perlu menjadi dasar pemikiran adalah bagaimana memotivasi para guru untuk mau menerima perubahan ini dengan sikap yang terbuka, mau belajar, mau mencari tahu/informasi tentang bidang yang digelutinya, dalam hal ini tentang kurikulum sehingga guru tidak ketinggalan jaman, pemikirannya selalu up to date sejalan dengan perkembangan kemajuan dunia pendidikan, sehingga guru terutama guru senior, tidak hanya mengandalkan pengalamannya saja, melainkan mau mengembangkan dirinya untuk meningkatkan kemampuan yang menunjang profesionalismenya. Opini yang kini berkembang dalam benak para guru, bahwa kurikulum berubah-ubah padahal itu-itu saja , haruslah diubah. Pandangan seperti itu tidak benar, karena proses penyusunan kurikulum itu tidak mudah, melainkan dibuat dengan sangat serius, seperti penyusunan KTSP, dimana didalamnya terlibat sebuah badan independen BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), yang terdiri dari para ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, dan manajemen pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan. (UU Sisdiknas Tahun 2005 Pasal 74 ayat 2). Kemudian pada tahap pembuatan dokumen KTSP tingkat sekolah, baik kepala sekolah, para guru serta orangtua murid melalui Dewan Sekolah, turut ambil bagian yang sangat menentukan arah pengembangan kurikulum, serta tujuan yang ingin di capai. Nah, dengan demikian, maka para guru seyogyanyalah memaknai kurikulum yang disusunnya jauh lebih baik dari pada pihak lain, misalnya penerbit buku.
Dalam kaitannya dengan perencanaan dan perumusan KTSP di tingkat sekolah, banyak sekolah yang meng-copy paste isi KTSP, hanya ganti cover saja, demikian pula dengan silabus dan perangkatnya, dan tentunya guru pun melakukan hal yang sama yaitu meng-copy paste RPP, soal evaluasi dan sebagainya. (telaah berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan di beberapa sekolah). Sebenarnya dalam rangka sosialisasi KTSP , jika suatu sekolah mengadopsi KTSP dari sekolah lain, hal tersebut sah-sah saja selama mekanismenya berjalan dengan benar. Sekolah yang mempunyai kemampuan mandiri dapat mengembangkan KTSP dan silabus yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya dengan pengawasan dari Dinas Pendidikan (provinsi,kabupaten/kota). Dinas Pendidikan setempat dapat mengkoordinasikan sekolah-sekolah yang belum mempunyai kemampuan mandiri untuk menyusun KTSP dan silabus. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.24 Tahun 2006 pasal 1 ayat (4) bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP.
Berbicara mengenai pelaksanaan kurikulum ditatanan yang paling bawah yaitu sekolah, dan ujung tombaknya adalah pelaksanaan di dalam kelas yang dilakukan oleh guru, tidak terlepas dari peran supervisi dan pembinaan. Sampai sejauh mana sosialisasi KTSP dilakukan , apakah sudah tepat sasaran, apakah sudah menyentuh hingga lapisan yang paling bawah, bagaimana timbal baliknya, apakah sudah ada masukan yang berarti dari para praktisi termasuk guru tentang implementasi kurikulum yang berguna bagi perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Jangan-jangan memang faktor pembinaan yang kurang baik dilaksanakan hingga akhirnya setiap penyempurnaan kurikulum dianggap sebagai tugas yang berat bagi guru . Berikut adalah telaah faktor supervisi di dalam implementasi KTSP.
Dalam Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 55 dikatakan bahwa pengawasan satuan pendidikan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Dilanjutkan oleh Pasal 56 bahwa pemantauan dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah atau bentuk lain dari lembaga perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan serta ditegaskan oleh pasal 57 bahwa : supervisi yang meliputi supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan pendidikan.
Berdasarkan PP No.19 tahun 2005 tersebut, menyatakan betapa besarnya peranan kepala satuan pendidikan dan pengawas/penilik dalam melakukan supervisi dan pembinaan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, jika kepala sekolah maupun pengawas melakukan supervisi secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan, maka dapat mendeteksi sejak dini mana yang harus dibantu, mana yang harus ditingkatkan baik oleh guru maupun komponen sekolah lainnya. Kenyataan di lapangan mengindikasikan banyaknya kepala sekolah maupun pengawas yang memang belum paham tentang KTSP. Sebagai contoh kasus yang terjadi di sebuah komplek sekolah dasar di kota Bandung, guru-guru di sekolah tersebut mengalami kesulitan manakala harus menerapkan KTSP karena kurangnya pembinaan yang dilakukan kepala sekolah maupun pengawas. Ironisnya adalah komplek sekolah tersebut merupakan sekolah yang memang cukup diminati masyarakat, namun di dalamnya, manajemennya sungguh berantakan dan memprihatinkan. Dan hal ini dirasakan pula oleh sekolah lain yang berada di lingkungan kecamatan tersebut. Guru-guru mengalami kebingungan kemana harus bertanya untuk memulai apa yang harus dipersiapkan dan langkah apa yang harus ditempuh dalam melaksanakan KTSP. Mereka kesulitan dalam menyusun silabus, membuat RPP, menyususn penilaian, dsb. Hal ini disebabkan oleh banyak factor, satu diantaranya adalah pengawas dan kepala sekolah yang kurang kualified.
Selain daripada itu pemberdayaan KKG atau MGMP yang kurang maksimal mengakibatkan terhambatnya pemahaman guru mengenai KTSP. Pemberdayaan KKG dan MGMP jika ditingkatkan akan membantu program pembinaan yang dilakukan (Mulyasa;2007). Sehingga sosialisasi KTSP dapat berjalan maksimal. Peran KKG dan MGMP dapat membantu guru agar lebih memahami dan memaknai kurikulum serta memberdayakan guru binaannya dalam penyusunan RPP (Rencana Pelaksanan Pengajaran), penyusunan strategi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi metode dan evaluasinya, serta pemahaman terhadap peserta didik secara menyeluruh.

D. PERMASALAHAN
Secara umum kurikulum pendidikan dasar dan menengah menghadapi dua permasalahan pokok: “Pertama” yang berkaitan dengan materi/perangkat pengaturan yang ditetapkan oleh pusat (kurikulum tertulis), dan “Kedua” pelaksanaan dari kurikulum yang ditetapkan. Secara garis besar permasalahan kurikulum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Permasalahan yang Berkaitan dengan Kurikulum Tertulis
Yang dimaksud dengan kurikulum (tertulis) adalah dokumen KTSP yang disusun dan dikembangkan oleh sekolah yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Masalah yang dihadapi adalah:
a. Sekolah mengalami kesulitan dalam menyusun isi dokumen KTSP, mulai dari pembuatan misi dan visi sekolah, pemilihan materi pelajaran, hingga penyusunan silabus. Hal ini dikarenakan sumber daya manusianya kurang memadai.
b. Kekurangpahaman pihak sekolah terhadap penyusunan KTSP mengakibatkan banyak sekolah membuat KTSP asal jadi saja, mengadopsi mentah-mentah KTSP yang disusun oleh sekolah lain tanpa menyesuaikan dengan kondisi sekolah yang bersangkutan.
c. Kesulitan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional (kebutuhan tenaga bidang industri dan bidang lainnya yang belum sinkron dengan perencanaan pendidikan sebagai penghasil lulusan / tenaga kerja).
d. Tidak mudah memilih materi dan komposisi kurikulum yang tepat untuk mendukung berbagai tujuan yang telah ditetapkan sesuai kemampuan dan perkembangan jiwa anak.
e. Pengembangan kurikulum tidak melibatkan tim kerja yang kompak dan transparan, baik dari komponen guru maupun masyarakat.
f. Sebagai guru borongan, guru-guru SD mengalami kesulitan dalam menganalisis setiap mata pelajaran dalam kurikulum dan menentukan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik lingkungan serta peserta didik.
2. Permasalahan yang berkaitan dengan Pelaksanaan Kurikulum
Dalam melaksanakan kurikulum nasional ditemukan berbagai permasalahan, antara lain:
a. Besarnya sasaran pembinaan pendidikan dasar dan menengah tidak mudah mencukupi keperluan sarana/alat pendukung untuk melaksanakan kurikulum (antara lain: buku kurikulum, buku pelajaran, alat peraga, alat praktek).
b. Besarnya jumlah guru pendidikan dasar dan menengah yang tersebar diseluruh tanah air, sulit mendapatkan pembinaan yang intensif dan merata untuk dapat melaksanakan kurikulum pendidikan nasional dengan sebaik-baiknya.
c. Kurangnya jumlah dan mutu tenaga supervisi serta fasilitas pendukungnya, mengakibatkan pelaksanaan supervisi tidak dapat dilakukan dengan baik.
d. Sistem penataran guru dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan kurikulum pendidikan nasional belum mantap. Tak jarang guru yang dikirimkan untuk mengikuti penataran adalah orang yang itu-itu saja dan hasilnya tidak disampaikan secara maksimal kepada guru lainnya.
e. Belum terciptanya kondisi yang kondusif yang memberikan kemungkinan para pelaksana pendidikan (Pembina, Kepala Sekolah, dan Guru) untuk melaksanakan tugasnya secara kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab.
f. Peran KKG dan MGMP yang tidak maksimal menyebabkan terhambatnya sosialisasi KTSP.
g. Kurangnya sosialisasi KTSP, keterlambatan pengesahan pedoman standar penilaian oleh BSNP, keterlambatan pencetakan buku rapor siswa berdampak pada kinerja guru di sekolah.

E. ANALISIS SWOT PELAKSANAAN KTSP
Pada bagian ini khusus mengenai analisis pelaksanaan KTSP. Analisis ini menggunakan metode Analisis SWOT yang terdiri dari :
1. Strength = kekuatan/kelebihan
2. Weakness = kelemahan
3. Opportunity = peluang
4. Treat = tantangan /ancaman

A. Kelebihan KTSP
Kelebihan-kelebihan KTSP ini antara lain:
1. Mendorong terwujudnya otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata. Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan keunggulan khas yang ada di daerahnya. Sebagai implikasi dari penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab kebutuhan di daerah di mana sekolah tersebut berada.
2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan. Dengan demikian dapat terjadi persaingan yang cukup sehat diantara sekolah-sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Keberadaan suatu sekolah pun, pencitraan sekolah, kualitas lulusan yang dihasilkan pada akhirnya menjadi tolak ukur masyarakat dalam penilaian kinerja sekolah. Hal ini dapat menyebabkan seleksi alam, bahwa hanya sekolah bermutulah yang akan bertahan dan diminati masyarakat, sedangkan sekolah dengan kinerja yang kurang baik akan ter-eleminasi. Mau tak mau sekolah harus meningkatkan kualitasnya untuk mempertahankan eksistensinya.
3. Memberikan kesempatan bagi masyarakat dan orangtua untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kebijakan pendidikan di sekolah
Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
4. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.
Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnya. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa Inggris dan kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu menjadikan mata pelajaran tersebut sebagai sebuah keterampilan. Sehingga kelak jika peserta didik di lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka tidak berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi mereka dapat langsung bekerja menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh di bangku sekolah.
KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006.
5. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%.
KTSP dapat mengurangi beban belajar sebanyak 20% karena materi dalam KTSP disusun lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa.
Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP. Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada siswa sebelunya berkisar antara 1.000-1.200 jam pelajaran dalam setahun. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jam pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit setiap jam pelajaran. Total 1.000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar.dan dalam seminggu tersebut meliputi 36-38 jam pelajaran.
Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak. Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian secara alami.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa perlu dikurangi. Meski demikian, perngurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim dengan memangkas sekian jam frekwensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas. Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan pelajaran itu.
6. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan itu sejak beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira.
Kehadiran KTSP ini bisa jadi merupakan kabar baik bagi sekolah-sekolah plus. Sebagian sekolah-sekolah plus tersebut ada yang khawatir ditegur karena memakai bilingual atau memakai istilah kurikulum yang bermacam-macam seperti yang ada sekarang. Sekarang semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP. Sebagai contoh, Sekolah High Scope Indonesia, sebelumnya sejak awal berdiri pada 1990 telah menggunakan kombinasi kurikulum Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Kendati mendapat lisensi dari AS, namun pihaknya tetap mematuhi kurikulum pemerintah. Caranya dengan mematuhi batas minimal, namun secara optimal memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu yang tidak diatur oleh kurikulum. Misalnya tetap memberikan materi Bahasa Indonesia, namun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama.

B. Kelemahan KTSP
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia di samping memiliki kelebihan-kelebihan juga memiliki kelemahan-kelamahannya. Sebagai konsekuansi logis dari penerapan KTSP ini setidak-tidaknya terdapat beberapa kelemahan-kelamahan dalam KTSP maupun penerapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.
Pola penerapan KTSP terbentur pada masih minimnya kualitas guru dan sekolah. Sebagian besar guru belum bisa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk menjabarkan panduan kurikulum itu (KTSP), baik di atas kertas maupun di depan kelas. Selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2004, bahwa dari 2,7 juta guru menunjukkan bahwa ketidaksesuaian ijasah yang mengajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjukkan kecenderungan yang kurang mengembirakan, jika mengacu pada persyaratan yang ada. Guru SD tercatat 66,11% yang tidak memiliki ijasah sesuai ketentuan, guru SMP 39,99% , dan guru SMA sebanyak 34,08%. Selain itu tercatat secara umum terdapat 15,21% guru pada berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah yang mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. Hasil survey Human Development Indeks (HDI) sebanyak 60% guru SD, 40% guru SMP, 43% guru SMA, dan 34% guru SMK belum memenuhi standarisasi mutu pendidikan nasional. Lebih mengkhawatirkan lagi bila 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahliannya (Toharudin, Oktober 2005 dalam Muhyi,Dindin MZ, 2007)
Dari data di atas, dapat diperoleh gambaran kondisi guru di lapangan, dengan keadaan yang demikian, mampukah guru memaknai kurikulum dengan benar? Nampaknya hal ini sulit untuk dilakukan meskipun tidak mustahil, mengingat untuk memahami kurikulum yang begitu luas cakupannya, membutuhkan suatu keterampilan khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru yang sesuai dengan jenjang dan bidang keahliannya.
2. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif merupakan salah satu syarat yang paling urgen bagi pelaksanaan KTSP. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan masih banyak satuan pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta fasilitas penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP. Banyaknya fasilitas sekolah yang rusak sampai bangunan yang roboh, menambah panjang daftar kelemahan implementasi KTSP di lapangan.
3. Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan.
Masih rendahnya kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP dapat disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara menyeluruh. Jika tahapan sosialisasi tidak dapat tercapai secara menyeluruh, maka pemberlakuan KTSP secara nasional yang targetnya hendak dicapai paling lambat tahun 2009 tidak memungkinkan untuk dapat dicapai.
4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurang pendapatan para guru.
Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan menambah persoalan di dunia pendidikan. Selain menghadapi ketidaksiapan sekolah berganti kurikulum, KTSP juga mengancam pendapatan para guru. Sebagaimana diketahui rekomendasi BSNP terkait pemberlakuan KTSP tersebut berimplikasi pada pengurangan jumlah jam mengajar. Hal ini berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar para guru. Akibatnya, guru terancam tidak memperoleh tunjangan profesi dan fungsional.
Untuk memperoleh tunjangan profesi dan fungsional semua guru harus mengajar 24 jam, jika jamnya dikurangi maka tidak akan bisa memperoleh tunjangan. Sebagai contoh, pelajaran Sosiologi untuk kelas 1 SMA atau kelas 10 mendapat dua jam pelajaran di KTSP maupun kurikulum sebelumnya. Sedangkan di kelas 2 SMA atau kelas 11 IPS, Sosiologi diajarkan selama lima jam pelajaran di kurikulum lama. Namun di KTSP Sosiologi hanya mendapat jatah tiga jam pelajaran. Hal yang sama terjadi di kelas 3 IPS. Pada kurikulum lama, pelajaran Sosiologi diajarkan untuk empat jam pelajaran tapi pada KTSP menjadi tiga jam pelajaran. Sementara itu masih banyak guru yang belum mengetahui tentang ketentuan baru kurikulum ini. Jika KTSP telah benar-benar diberlakukan, para guru sulit memenuhi ketentuan 24 jam mengajar agar bisa memperoleh tunjangan.
5. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang kurang demokratis dan kurang profesional berdampak pada kurangnya peran serta masyarakat yang diwakilkan oleh Dewan/Komite sekolah dalam merumuskan KTSP
Masih rendahnya keikutsertaan masyarakat dalam hal ini dewan/komite sekolah dalam penyusunan KTSP menyebabkan pengembangan kurikulum di sekolah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan hingga akhirnya sekolah meng-copy paste saja dokumen KTSP yang sudah jadi. Al hasil, penerapan KTSP pun tidak maksimal.
6. Kurangnya pembinaan dan sosialisasi KTSP di tingkat kecamatan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sosialisasi KTSP yang kurang serta pembinaan yang kurang serius di tingkat cabang dinas pendidikan kecamatan, menyebabkan terhambatnya pemahaman guru dalam implementasi KTSP di sekolah. Bahkan masih banyak sekolah yang hingga hari ini dokumen KTSP-nya belum disahkan oleh pejabat yang berwenang di dinas pendidikan kota.
7. Keterlambatan sosialisasi standar penilaian serta keterlambatan pencetakan buku rapor siswa berdampak pada kesalahan dalam penulisan laporan pendidikan siswa (rapor)
Ketika pemerintah menurunkan kebijakan untuk melaksanakan KTSP, timbul keresahan di sana-sini, khususnya para guru. Hal ini disebabkan karena pedoman penyususnan dan pengembangan KTSP belum seluruhnya rampung disiapkan oleh pemerintah, salah satunya adalah standar penilaian. Keterlambatan sosialisasi penilaian ini menyebabkan beberapa sekolah salah menuliskan nilai pada buku rapor. Sebagian sekolah masih menggunakan rentang nilai 1-10, padahal di dalam KTSP telah menggunakan rentang nilai 1-100. keterlambatan pencetakan rapor terutama di kota Bandung menyebabkan guru terutama guru kelas 1 harus ekstra menulis ulang nilai rapor, rapor sementara dulu baru rapor asli. Di suatu sekolah terjadi kasus, bahwa rapor asli baru diterima pihak sekolah pada semester 2 dibarengi dengan pemberian foto copy buku pedoman penilaian. Dengan demikian terjadi perubahan nilai rapor dari rentang 1-10 menjadi rentang nilai 1-100 dengan pembulatan yang berakibat pada kebingungan orangtua murid. Hal ini berdampak pula pada kepercayaan orangtua murid terhadap sekolah yang pada akhirnya kinerja sekolah dinilai kurang baik.
Beberapa faktor kelemahan di atas harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar pemberlakuan KTSP tidak hanya akan menambah daftar persoalan-persoalan yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita. Jika tidak, maka pemberlakuan KTSP hanya akan menambah daftar makin carut marutnya pendidikan di Indonesia.

C. Peluang
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan, maka peluang untuk meningkatkan mutu pendidikan dan bangkit dari keterpurukan, dapat direalisasikan. Memang hal ini tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan waktu dan proses.
Keterlibatan guru, kepala sekolah, masyarakat yang tergabung dalam komite sekolah dan dewan pendidikan dalam pengambilan keputusan akan membangkitkan rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah, dan terhadap pengembangan kurikulum. Dengan demikian dapat mendorong mereka untuk mendayagunakan sumber daya yang ada seefisien mungkin untuk mencapai hasil yang optimal. Konsep ini sesuai dengan konsep Self Determination Theory yang menyatakan bahwa jika seseorang memiliki kekuasaan dalam pengambilan suatu keputusan, maka akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan keputusan tersebut.
KTSP memberikan peluang kepada sekolah untuk mengoptimalkan kondisi lingkungannya dengan memperhatikan karakteristik sekolah, peserta didik serta sosial budaya masyarakatnya. Dengan diberikannya otonomi luas kepada sekolah, maka sekolah dapat menentukan arah pengembangan kurikulum dengan jelas sesuai dengan kebutuhan. Hal ini memungkinkan terwujudnya sekolah-sekolah unggulan yang memiliki ciri khas dan keunikan sendiri yang memperkaya perkembangan dunia pendidikan negeri ini, sesuai dengan prinsip kebersamaan dalam keberagaman.
KTSP juga membuka peluang bagi sekolah untuk mandiri, maju dan berkembang berdasarkan strategi kebijakan manajemen pendidikan yang ditetapkan pemerintah dengan penuh tanggungjawab. Dengan demikian, sekolah dapat meningkatkan kualitasnya baik sumber daya, dalam hal ini tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, kualitas pembelajaran serta peningkatan mutu lulusan yang dihasilkannya.

D. Tantangan
KTSP merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pendidikan, dan dalam setiap inovasi selalu saja terdapat tantangan di dalamnya. Tantangan yang dihadapi dalam penerapan KTSP ini sangat kompleks namun secara umum tantangan yang dihadapi antara lain :
1. Pengembangan KTSP perlu didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). Iklim yang demikian akan mendorong pembelajaran yang menekankan pada learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. Suasana tersebut akan memupuk tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan warga sekolah tidak hanya bagi peserta didik, melainkan bagi guru dan pimpinannya.
2. KTSP yang memberikan otonomi luas kepada sekolah perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban yang relative tinggi untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi luas juga memiliki kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat. Sekolah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pelayanan prima yang berusaha untuk memuaskan pengguna jasa ( customer satisfaction) dalam hal ini peserta didik dan orangtua murid.
3. Pelaksanaan KTSP memerlukan sosok kepala sekolah yang professional, memiliki kemampuan manajerial yang handal serta demokratis dalam setiap pengambilan keputusan. Pada umumnya kepala sekolah di negeri ini belum dapat dikatakan professional seperti yang diungkapkan oleh Bank Dunia (1999) bahwa salah satu penyebab makin menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah kurang profesionalnya kepala sekolah sebagai manager pendidikan di lapangan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah sebaiknya melakukan perubahan dalam hal pengangkatan kepala sekolah, dari yang berorientasi pada pengalaman kerja ketika menjadi guru menjadi orientasi kemampuan dan keterampilan secara professional.
4. Dalam pengembangan KTSP, wujud partisipasi masyarakat dan orang tua murid tidak hanya dalam bentuk financial. Ide, gagasan dan pemikiran masyarakat sangat dibutuhkan untuk dapat menunjang keberhasilan sekolah. Sekolah harus berupaya untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat dan orangtua murid bahwa sekolah adalah lembaga yang harus didukung oleh semua pihak. Keberhasilan sekolah adalah kebanggaan bagi masyarakat, dan untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang harmonis.
5. KTSP menuntut kinerja sekolah terutama guru dalam implementasinya. Oleh sebab itu guru harus senantiasa mengembangkan kemampuan dan keterampilan profesionalismenya. Hal ini dapat juga dilakukan melalui KKG atau MGMP. Pemberdayaan KKG dan MGMP dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi guru dalam menyususn, merumuskan, melaksanakan, dan melakukan penilaian dalam pembelajaran. Kekompakan guru sebagai tim pengembang kurikulum perlu ditingkatkan untuk memberdayakan KKG dan MGMP.

Rekomendasi
Untuk menangani permasalahan tersebut, perlu diambil langkah-langkah kebijaksanaan baik mengenai kurikulum (tertulis) maupun kurikulum dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah kebijaksanaan yang ditempuh antara lain sebagai berikut:
1. Perlu diciptakan sistem informasi yang dapat mengkomunikasikan/memantau perkembangan pelaksanaan kurikulum pada berbagai daerah diseluruh tanah air.
2. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan profesionalisme (Pembina, pengawas/ penilik, kepal sekolah, guru) agar kurikulum dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
3. Mencukupi fasilitas pendukung pelaksanaan kurikulum baik oleh masyarakat maupun pemerintah (buku, alat pendidikan, dan sarana pendidikan lainnya)
4. Meningkatkan kesejahteraan bagi para pelaksana pendidikan agar berfungsi sesuai tugas dan tanggung jawabnya.
5. Menciptakan kondisi yang kondusif yang dapat memberikan kemungkinan para pelaksana pendidikan menjalankan tugasnya secara kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab.
6. Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dan memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap kondisi sekolah.


Daftar Referensi :

Ali, Muhammad.1992. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Pedoman Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP.
Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta : PT. Rineka Cipta
Depdiknas. 2005. Standar Nasional Pendidikan,Jakarta :Peraturan Pemerintah RI No.19 tahun 2005
----------. 2006. Standar Isi, Jakarta : Permendiknas No 22 tahun 2006
----------. 2006. Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta : Permendiknas No.23 tahun 2006
----------.2006. Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta : Permendiknas No.24 tahun 2006
Hamalik, Oemar (1990) Dasar-Dasar Pengembangan dan Perkembangan Kurikulum, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Hamalik, Oemar (2007) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hasan,Hamid,S. PENDEKATAN MULTIKULTURAL UNTUK PENYEMPURNAAN KURIKULUM NASIONAL disajikan pada seminar Pengembangan Kurikulum, pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),Bandung: tidak diterbitkan.
http://re-searchengines.com Plus Minus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tuesday, 04 September 2007
Idi,Abdullah.2007. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. Yogyakarta : Ar Ruzz Media
Muhyi,Dindin MZ (2007), Jurnal : Pendidikan di Indonesia Harus Berlandaskan Jati Diri Bangsa, Bandung: Al Mizan Mulyasa,E(2004) Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep,Karakteristik, dan Implementasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa,E.2007, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ; Suatu Panduan Praktis, Bandung :PT Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bandung : Fokusmedia
Peraturan Pemerintah Nomor : 28/1990, Tentang Pendidikan Dasar . Jakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Pusat Kurikulum. (2006). Model Penilaian Kelas: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Puskur BPP Depdiknas.
Sanjaya, Wina. (2006). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
---------. (2007). Buku Materi Pokok: Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Suderajat, Hari (2004), Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Bandung : CV Cipta Cekas Grafika
Sudjana,Nana.1988. Pembinaan dan PengembanganKurikulum di Sekolah.Bandung : Sinar Baru Algensindo
Sularto,St. Praksis Pendidikan Minus Visi, Catatan atas ”Bongkar Pasang” Kurikulum, Sebuah Opini. Jakarta–2005. www. ntt-online.org. Email disediakan; online_ntt@yahoo.com.
Suryosubroto,B.2005. Tata laksana Kurikulum. Jakarta : Rineka Cipta
www.depdiknas.go.id
www.duniaguru.com Beda KTSP dengan KBK ,ENDO KOSASIH - Pendidik di SMPN 4 Pagaden dan sekretaris MGMP Bahasa Inggris, Kabupaten Subang Saturday, 03 November 2007
www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

3 komentar:

  1. keren, bermanfaat.. pendalaman atas kurikulum emang jadi perkara penting bagi orang-rang yang peduli dengan pendidikan_^

    BalasHapus
  2. sayangnya...tidak semua praktisi pendidikan termasuk guru di sekolah mau mendalami kurikulum dan berbuat lebih banyak untuk mengembangkannya....

    BalasHapus
  3. yang penting ngajar... menyampaikan materi ...sudah!!!
    dasar malas!!!

    BalasHapus