Karakteristik anak TK/RA dan Metode Bermain
Oleh:
Sri Hendrawati
A. Karakteristik anak TK/RA
Menurut Snowman
Snowman (1993), mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang biasanya ada di TK. Ciri-ciri yang dikemukakan meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
a. Ciri Fisik Anak Prasekolah atau TK
- Penampilan maupun gerak gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya.
- Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memiliki penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. Berikan kesempatan kepada anak untuk lari, memanjat, dan melompat. Usahakan kegiatan-kegiatan tersebut di atas sebanyak mungkin sesuai dengan kebutuhan anak dan selalu di bawah pengawasan guru.
- -Setelah anak melakukan berbagai kegiatan, anak membutuhkan istirahat yang cukup. Seringkali anak tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat cukup. Jadwal aktivitas yang tenang diperlukan anak.
- Otot-otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari kontrol terhadap jari dan tangan. Oleh karena itu biasanya anak belum terampil, belum bisa melakukan kegiatan yang rumit seperti misalnya, mengikat tali sepatu.
- Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokus-kan pandangannya pada objek-objek yang kecil ukurannya, itulah sebabnya koordinasi tangan dan matanya masih kurang sempurna.
- Walaupun tubuh anak ini lentur, tetapi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak (soft). Hendaknya berhati-hati bila anak berkelahi dengan temannya, sebaiknya dilerai. Sebaiknya dijelaskan kepada anak-anak mengenai bahayanya.
- Walaupun anak lelaki lebih besar, dan anak perempuan lebih terampil dalam tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tug.~s motorik halus, tetapi sebaiknya jangan mengeritik anak lelaki apabila ia tidak terampil. Jauhkanlah dari sikap membandingkan lelaki-perempuan, juga dalam kompetisi keterampilan seperti apa yang tersebut di atas.
b. Ciri Sosial Anak Prasekolah atau TK
Anak prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang di sckitarnya.
- Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti. Mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi kemudian berkembang sahabat yang terdiri dari jenis kelamin yang berbeda.
- Kelompok bermainnya cenderung kecil dan tidak terlalu ter-organisasi secara baik, oleh karena itu kelompok tersebut cepat berganti-ganti.
- Anak yang lebih muda seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar. Parten (1932), dalam 'Social Participation Among Praschoole Children', melalui pengamatannya terhadap anak yang bermain bebas di sekolah, dapat membedakan beberapa tingkah,laku sosial:
• Tingkah laku 'unoccupied : Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. la mungkin berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apa pun.
• Bermain soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan, berbeda dari apa yang dimainkan oleh teman yang ada di dekatnya. Mereka tidak berusaha untuk saling bicara.
• Tingkah laku 'onlooker'. Anak menghasilkan waktu dengan mengamati. Kadang memberikan komenter tentang apa yang dimainkan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama.
• Bermain paralel. Anak-anak bermain dengan saling berdekatan, tetapi tidak sepenuhnya bermain bersama dengan anak lain. Mereka menggunakan alat mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara yang tidak saling bergantung. Bermain asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tetapi tanpa organisasi. Tidak ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri.
• Bermain kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi. Ada pimpinannya. Masing-masing anak melaku¬kan kegiatan bermain dalam kegiatan bersama, misalnya main toko-tokoan, atau perang-perangan.
- Pola bermain anak prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuai dengan kelas sosial dan 'gender'. Konneth Rubin dkk (1976), melakukan pengelompokan setelah mengamati kegiatan bermain bebas anak prasekolah yang dihubungkan dengan kelas sosial dan kognitif anak, yaitu:
• Bermain fungsional. Melakukan pengulangan gerakan-gerakan otot dengan atau tanpa objek-objek.
• Bermain konstruktif. Melakukan manipulasi terhadap benda-benda dalam kegiatan membuat konstruksi atau mengkreasi/ menciptakan sesuatu.
• Bermain dramatik, adalah dengan menggunakan situasi yang imaj iner.
- Perselisihan sering terjadi tetapi sebentar kemudian mereka telah berbaik kembali. Anak lelaki lebih banyak melakukan tingkah laku agresif dan persilisihan.
- Telah menyadari peran jenis kelamin dan sex typing. Setelah anak masuk TK, umumnya pada mereka telah berkembang kesadaran terhadap perbedaan jenis kelamin dan peran sebagai anak lelaki atau anak perempuan. Kesadaran ini tampak pada pilihan terhadap alat permainan clan aktivitas bermain yang dipilih anak lelaki clan anak perempuan. Anak lelaki umumnya lebih menyukai bermain di luar, bermain kasar dan bertingkah laku agresif. Anak perem¬puan lebih suka bermain yang bersifat kesenian, bermain boneka,dan menari.
c. Ciri Emosional Pada Anak Usia Prasekolah dan TK
- Anak TK cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas clan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut.
- Iri hati pada anak prasekolah sering terjadi. Mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.
d. Ciri Kognitif Anak Usia Prasekolah dan TK
- Anak prasekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa. Sebagian besar dari mereka senang bicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara. Sebagian dari mereka perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
- Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.
Perkembangan Moral Anak dalam Teori Piaget
- Dalam bukunya The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu jarang diajarkan secara formal oleh orang dewasa. Dengan demikian permainan itu mempunyai peraturan yang jarang atau malah tidak sama sekali ada campur tangan orang dewasa. Dan melalui perkembangan umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari sikap heteronom ( bahwasanya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi otonom dari dalam diri sendiri.
- Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa peraturan yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-anak beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para pemain.
- Anak-anak pada usia paling muda hingga umur 2 tahun melakukan aktivitas bermain dengan apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka patuhi. Mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Pada tahap ini mereka belum menyadari adanya peraturan yang koersif, atau bersifat memaksa dan harus di taati. Dalam pelaksanaannya peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu merupakan motor activity.
- Anak-anak pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan bahkan meniru cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka. Pada tahap ini anak-anak telah mulai menyadari adanya peraturan dan ketaatan yang telah dibuat dari luar dirinya dan harus ditaati dan tidak boleh diganggu gugat. Pada tahap ini anak-anak cenderung bersikap egosentris, mereka akan memandang “sangat salah” apabila aturan yang telah ada di ubah dan dilanggar. Dan ia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi untuk dirinya sendiri, tidak tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang dilakukan dengan anak-anak lainnya. Sehingga meskipun bermain dilakukan secara bersama sama namun sebenarnya mereka bermain secara individu, sendiri-sendiri dengan melakukan pola dan cara yang mereka yakini sendiri. Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang individualistis murni ke tahap permainan yang bersifat sosial.
B. Metode Bermain
Bermain sambil belajar merupakan jargon abadi dalam pendidikan usia dini. Setiap lembaga pendidikan pra-sekolah kemudian memfasilitasi kegiatan ini melalui alat-alat bermain dan waktu khusus untuk bermain. Dalam prakteknya, konsep bermain sambil belajar masih sulit untuk berjalan beriringan. Saat seorang anak masuk sekolah kita tidak akan merelakan mereka masuk sekolah hanya untuk bermain tanpa capaian tertentu yang terkonsentrasi pada aspek kognitif. Bermain seringkali dipandang sebagai kegiatan selingan dan cenderung dianggap membuang waktu. Sebagai orang dewasa yang telah melampaui masa kanak-kanak kita tetap belum bisa melihat esensi bermain yang sebenarnya dan kontribusi positif dalam proses perkembangan anak.
Tokoh pendidikan Friederich Wilhelm Froebel (1782-1852) mendefinisikan; Play is what we do when we do whatever we want to do. Pengertian bermain tak dapat dilepaskan dari sudut pandang teori yang mendasari fungsinya. Dari sejumlah teori yang ada dapat dikemukakan tujuh pandangan utama yang berasal dari Newman dan Newman (1978), yaitu:
1. Surplus Energy. Dalam pandangan ini dikatakan, bermain merupakan penyaluran energi yang berlebihan. Anak-anak yang memperoleh cukup gizi dan waktu beristirahat umumnya memiliki kelebihan energi sehingga untuk 'membuang' energi ekstra tersebut dapat dilakukan kegiatan bermain.
2. Relaxation clan recuperation. Pandangan ini menyatakan bahwa bermain merupakan cara seseorang untuk menjadi lebih santai dan segar (relaxing and refreshing) setelah tersalurnya energi. Frekuensi bermain anak menunjukkan adanya kebutuhan untuk lebih santai setelah bersusah payah mempelajari ketrampilan dan konsep-konsep baru. Dalam pandangan ini isi kegiatan bermain tidak terlalu menjadi penekanan.
3. Preparation. Di sini bermain dijelaskan sebagai suatu perilaku instinktif dimana anak-anak mempraktekkan elemen-elemen yang lebih kecil dari sejumlah perilaku orang dewasa yang lebih kompleks, misalnya, memandikan boneka dilihat sebagai praktek mengasuh (parenting) anak. Dalam hal ini ada dua kritik terhadap pandangan ini, pertama, adalah sulit untuk mengidentifikasi pola perilaku orang dewasa yang sudah matang yang mungkin berhubungan dengan begitu banyak kegiatan bermain anak-anak. Kedua, asumsi bahwa sejumlah perilaku kompleks seperti: mengasuh (parenting) atau bekerja (work¬ing) adalah perilaku instinktif masih perlu dipertanyakan. Namun demikian, pandangan ini telah memulai gagasan adanya hubungan antara kegiatan di masa anak-anak dengan kegiatan di masa dewasa.
4. Recapitulation.Pandangan ini mencoba menemukan hubungan antara kegiatan bermain dengan evolusi kebudayaan. Disini ditekankan bahwa setiap anak kembali melakukan berbagai perilaku manusia dewasa yang tampil selama masa transisi antara zaman berburu hingga zaman modern saat ini.
5. Growth dan enhancement. Pandangan ini menyatakan bahwa bermain merupakan salah satu cara untuk mengembang¬kan kemampuan anak. Dengan bermain anak melatih berbagai ketrampilan baru dan menyempurnakannya. Pandangan ini menekankan pentingnya bermain bagi anak untuk menuju kematangannya.
6. Socioemotionel expression. Menurut pandangan ini ada dua penjelasan tentang bermain yaitu: pertama, bermain merupakan ekspresi simbolik dari suatu harapan, kedua, merupakan upaya pengendalian pengalaman-pengalaman yang menegangkan. Kedua pandangan ini melihat bermain sebagai sarana menyalurkan emosi. Tidak sebagaimana Piaget yang melihat bermain sebagai asimilasi, pandangan yang didasari teori psikoanalisa ini melihat bermain sebagai upaya anak memanfaatkan peluang-peluang tertentu guna mengatasi tantangan-tantangan yang dalam kenyataannya belum tentu bisa dikuasai.
7. Cognitive restructuring. Pendapat ini menyatakan bahwa bermain adalah suatu upaya asimilasi. Sebagaimana dike¬tahui, Piaget (dikutip Newman dan Newman, 1978) menge¬mukakan adanya dua aspek yang ada dalam kemampuan adaptasi seseorang yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses dimana organisme menerapkan struktur yang sudah ada tanpa modifikasi terhadap aspek-aspek baru dari lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan akomodasi adalah proses dimana organisme memodifikasi struktur yang sudah ada menjadi struktur baru untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan
Berikut ini beberapa fungsi alat bermain dan permainan bagi anak;
- Sebagai alat penenang (pacifier)
- Alat bantu untuk mengenal minat dan potensi anak
- Membantu anak dalam melampiaskan perasaannya (catharcist)
- Sarana ekspresi diri (identification)
- Mengembangkan daya imajinasi
- Menstimulasi aspek kemampuan dasar
- Kesempatan untuk bereksperimen dan eksplorasi
- Cara untuk mengenal dunia diluar dirinya
- Membangun kemampuan sosial
- Sarana menata diri
Bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan dan spontan sehingga hal ini memberikan rasa aman secara psikologis pada anak. Begitu pula dalam suasana bermain aktif dimana anak memperoleh kesempatan yang luas untuk melakukan eksplorasi guna memenuhi rasa ingin tahunya, anak bebas mengekspresikan gagasan-gagasannya melalui khayalan, drama, bermain konstruktif dan sebagainya maka hal ini akan memungkinkan anak mengembangkan perasaan bebas secara psikologis.
Rasa aman dan bebas secara psikologis merupakan kondisi penting bagi tumbulnya kreativitas. Anak-anak yang diterima apa adanya, dihargai keunikannya dan tidak terlalu cepat dievaluasi akan merasa aman secara psikologis. Sementara mereka yang diberi kebebasan untuk mengekspresikan gagas¬annya secara simbolik akan mengembangkan rasa bebas secara psikologis. Keadaan bermain demikian sungguh berkaitan erat dengan upaya pengembangan kreativitas anak.
Bermain memberikan kesempatan kepada anak-anak un¬tuk mengekspresikan dorongan-dorongan kreatifnya sebagai kesempatan merasakan obyek-obyek dan tantangan untuk menemukan sesuatu dengan cara-cara baru, memberikan kesempatan untuk menemukan penggunaan suatu hal secara berbeda selain itu juga untuk menemukan hubungan yang baru antara sesuatu dengan sesuatu yang lain serta rnengarti¬kannya dalam banyak alternatif cara. Bermain juga dikatakan dapat memberikan kesempatan pada individu untuk berpikir dan bertindak imajinatif serta penuh daya khayal yang erat hubungannya dengan perkem¬bangan kreativitas anak.
Bermain secara natural, esensinya adalah bermain yang sesuai dengan natur anak dan harus mampu menjadi sarana mengekspresikan diri. Seorang anak harus diberi kesempatan dalam mengekspresikan diri secara tuntas dan total dalam bermain agar ia kemudian cukup siap untuk belajar dan menerima segala sesuatu yang datang dari luar dirinya. Pada saat bermain anak akan mengeluarkan dan membersihkan segala sesuatu yang membebani diri (psikis) nya. Rasanya aneh bukan membayangkan anak semuda ini telah menyimpan beban dalam dirinya? Ya, karena perpindahan dari alam sebelumnya ke alam dunia membutuhkan proses adaptasi pada diri anak yang tingkat penyesuaiannya berbeda satu sama lain. Mereka perlu dibantu untuk mengingat kembali proses perjalanan di alam sebelumnya yang berlanjut ke alam dunia ini, sehingga mereka tidak kehilangan orientasi dalam kehidupannya kelak. Bila tak terpenuhi, kelak sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah memberontak.
Constraint dari lingkungan sosial juga menuntut anak menyiapkan diri untuk mengikuti budaya sekitarnya. Membutuhkan waktu bagi anak yang pada awalnya berpikir secara universal dan menyatu kemudan menjadi secular/terkotakkan. Tapi begitulah natur dunia yang perlu dipahami dan dikenali perannya dalam proses pengenalan diri. Bukankah semesta adalah citra Tuhan yang paling nyata?
Kembali pada pengertian bermain secara natural tentu bukan dikategorikan natural lagi bila bermain direkayasa apalagi diselipkan target tertentu. Bermain secara natural juga berarti bermain dialam terbuka dengan sentuhan alam yang masih murni dan bukannya dalam ruang ber-ac dipenuhi mesin-mesin otomatis. Bermain secara natural adalah ketika seluruh ke-indra-an mereka distimulasi dengan segala sesuatu yang riil dan bernyawa. Saat telinga anak mendengar musik, bawa dan perdengarkan suara musik yang asli bukannya melalui CD/tape-recorder, saat sensori taktilnya menyentuh sesuatu, sentuhlah segala bahan yang alami bukan bahan sintetis. saat ia hendak menggambar gunung bawa ia kedaerah pegunungan dan bukannya sekedar meng-copy gambar gunung dari papan tulis atau buku. Biarkan imajinasinya menuntun ia dalam bermain, jangan lepaskan mereka dari dunia kanak-kanaknya tanpa alat bermain. Pada saatnya mereka akan sampai pada suatu fase dimana mereka memperoleh kesadaran tertentu tentang kehidupannya yang nyata. Pengertian alat bermain disini adalah segala sesuatu benda/material yang ada disekitarnya, baik berupa balok yang memang kita siapkan atau dengan menggunakan kardus bekas, misalnya.
Tugas para pendidik disini adalah untuk mengamati respon anak saat mengalami hal-hal baru dalam bermain, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Guru harus cermat menggali data dan mengenali potensi diri anak sebagai langkah awal mengenal dirinya.
Bila anak diibaratkan benih, orangtua dan guru harus menjadi petani yang bertugas menumbuh-kembangkan pohon dirinya. Tentunya ada siklus yang harus dipahami, ada pola yang harus diikuti dan karakteristik yang perlu dikenali dalam proses tersebut. Perlu diingat bahwa setiap diri telah memiliki blue-print masing-masing. Bukan kita yang menentukan ia akan menjadi pohon apa, melainkan bagaimana agar si pohon dapat tumbuh.
Kita sangat menyadari spektrum anak sangat luas, sangat spesifik dan unik. Sangat membutuhkan pendekatan individual pada masing-masing anak. Apapun metoda yang kita berikan harus berpegang pada 3 hal;
- Tanpa paksaan /drill; paksaan dapat membuat potensi art menjadi hancur dan bisa mengakibatkan stress yang dapat menyebabkan saraf halus anak yang sedang tumbuh menjadi terputus,
- Pemetaan rumah dan sekolah; pendidikan harus menjadi sesuatu hal yang berkelanjutan. Data awal sang anak sejak masih dirahim ibu, kebiasaan yang dilakukan dirumah, aturan dari rumah harus menjadi materi pembelajaran yang berkesinambungan dengan program sekolah,
- Rumah belajar; sekolah harus mampu menyediakan kelas/ruang yang sesuai dengan preferences anak, sekolah harus menjadi tempat bagi anak untuk mengeluarkan dan mengasah potensi dirinya, menjadi rumah (yang dikategorikan dengan kenyamanan) untuk belajar,
Para ahli menekankan fungsi'kesenangan' (pleasure) yang dihasilkan kegiatan bermain dan yang juga merupakan stimu¬lus untuk bermain. Ketika kemampuan bahasa dan fantasi anak mulai berkembang, fungsi 'kesenangan' ini juga semakin meluas sehingga anak merasakan adanya kenikmatan dalam memproyeksikan serta menciptakan sesuatu yang baru dari apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian bermain sangat erat kaitannya dengan kreativitas bahkan merupakan awal tumbuhnya kreativitas. Dengan bermain gembira, melalui suasana aman clan bebas anak tampil dengan gagasan-gagasannya yang unik dan lain daripada yang lain. Ia berani bertanya, berani mencoba, tidak takut salah dan berani mengekspresikan pendapat-pendapatnya. Semua ini merupakan awal dari tumbuhnya kreativitas. Dalam pelatihan pengembangan kreativitas harus diciptakan suasana bermain yang penuh keceriaan dan kewajaran dimana anak tidak merasa sedang dalam suasana pelatihan yang khusus sehingga dalam suasana seperti itu diharapkan akan muncul kreativitas secara optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar