Laman

28 September 2009

Artikel Tematik

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK TIPE SPIDER WEBBED UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP IPA DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SEKOLAH DASAR

OLEH:

SRI HENDRAWATI, S.Pd, M.Pd
SDN Sukaluyu 1 Bandung


Dr. WAHYU SOPANDI, M.A

Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung

Dr.Phill. ARI WIDODO, M.Ed
Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

Abstrak

Pembelajaran tematik yang dilaksanakan di sekolah dasar khususnya kelas rendah sejak bergulirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada tahun 2006, ternyata masih banyak kendala di lapangan dan tidak sesuai dengan ketentuan Stándar Isi Permendiknas No.22 Tahun 2006. Oleh sebab itu diperlukan sebuah upaya penerapan pembelajaran tematik yang sesuai dengan Standar Isi dan mampu meningkatkan mutu pembelajaran. Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu lintas bidang studi yang menggunakan tema sebagai pengikat kegiatan pembelajaran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan/N-Gain penguasaan konsep IPA siswa kelas tematik (0,50) dan N-Gain keterampilan proses sains siswa kelas tematik (0,60) lebih tinggi dibandingkan N-Gain penguasaan konsep IPA siswa kelas non tematik (0,24) dan N-Gain keterampilan proses sains siswa kelas non tematik (0,30). Peningkatan penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains siswa selain dipengaruhi oleh model pembelajaran tematik yang diterapkan, juga dipengaruhi oleh tingkat klasifikasi kemampuan siswa (tinggi, sedang, rendah).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan agar ada penelitian lanjutan berkenaan dengan pembentukan sikap ilmiah melalui pembelajaran tematik serta penelitian untuk mengembangkan bahan ajar tematik yang memiliki peranan penting dalam keberhasilan siswa dalam pembelajaran.


Pendahuluan

Mata pelajaran IPA dalam kurikulum Sekolah Dasar tahun1994 mulai diajarkan sejak kelas III hingga kelas VI, namun sejak diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 maka pembelajaran IPA diberikan sejak kelas I, namun teknik pelaksanaannya menggunakan model pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik adalah suatu model terapan dari pembelajaran terpadu yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran dalam satu kesatuan yang terikat oleh tema. Penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di SD dikarenakan perkembangan peserta didik pada kelas rendah sekolah dasar, pada umumnya berada pada tingkat perkembangan yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta baru mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana (Diknas, 2006). Namun dalam pelaksanaannya, pembelajaran terpadu atau tematik ini masih mengalami masalah dan hambatan. Pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas I-III tidak berjalan sesuai dengan ketentuan Standar Isi, karena guru-guru mengalami kesulitan dalam menyusun silabus sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ditetapkan dalam Standar Isi. Selain itu guru-guru mengalami kesulitan dalam mengalokasikan waktu yang harus dipergunakan dalam seminggu, karena tidak ada ketentuan alokasi waktu untuk setiap tema yang ditetapkan. Hal ini disebabkan guru-guru belum memahami esensi dan praktek pembelajaran tematik. Mereka umumnya belum mendapat pelatihan yang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran tematik (Puskur, 2007).

Pembelajaran tematik jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar akan memberikan peluang bagi pengembangan proses pembelajaran IPA. Hal ini sejalan dengan landasan filosofis pembelajaran terpadu yang berlandaskan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pembelajaran bermakna dikonstruksi oleh siswa sebagai hasil dari pengalamannya dalam menghadapi lingkungannya, melalui skema atau struktur kognitif yang akan menyatukan pemahaman dunianya (Saunders, 1992). Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan fenomena yang terjadi dilapangan, maka diperlukan sebuah penelitian untuk mengetahui penerapan model pembelajaran tematik dalam menunjang proses pembelajaran IPA khususnya untuk meningkatkan penguasaan konsep dan penguasaan keterampilan proses IPA.

Pembelajaran tematik adalah bagian dari pembelajaran terpadu (integrated learning) yang merupakan suatu konsep pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa.

Menurut Fogarty (1991) dalam bukunya How To Integrate The Curricula , ada 10 macam model pembelajaran terpadu, seperti : fragmented (penggalan), connected (keterhubungan), nested (sarang), sequenced (pengurutan), shared (irisan), webbed (jaring laba-laba), threaded (bergalur), integrated (terpadu), immersed (terbenam), dan networked (jaringan kerja).

Pembelajaran tematik model Jaring Laba-laba (Spider Webbed) adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik (Fogarty,1991). Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu. Setelah tema disepakati, maka dikembangkan menjadi subtema dengan memperlihatkan keterkaitan dengan bidang studi lain. setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang mendukung. Tema merupakan pengikat setiap kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu maupun lintas mata pelajaran. Model ini sangat tepat diterapkan di sekolah dasar karena pada umumnya siswa pada tahap ini masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional, terutama di kelas-kelas awal sekolah dasar (kelas I dan II).

Penelitian tentang pembelajaran tematik dilakukan pula oleh Turpin dan Cage (1998) pada siswa kelas VII yang menggunakan kurikulum IPA terpadu. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran tematik memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi pencapaian siswa dalam mempelajari sains, kemampuan keterampilan proses sains siswa serta kepemilikan sikap ilmiah. Siswa yang belajar menggunakan kurikulum IPA terpadu menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak menggunakan pembelajaran tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan disain yang disebut nonequivalent kontrol group design dengan menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Menurut Sugiyono (2007) disain ini memiliki kelompok kontrol namun tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Pertimbangan penggunaan disain ini adalah sulit sekali menemukan kelas yang memiliki karakteristik yang sama persis, baik dari segi kemampuan intelektual (IQ), motivasi/minat belajar IPA, latar belakang siswa, serta faktor-faktor lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi proses pembelajaran selama penelitian berlangsung. Sugiyono (2007) mengatakan bahwa pada jenis desain eksperimen ini terjadi pengelompokan subjek tidak secara acak. Desain eksperimennya adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Disain Penelitian

Kelas Eksperimen

O1 X1 O2

Kelas Kontrol

O1 O2

Keterangan :

O1 = Tes awal

O2 = Tes akhir

X1 = Perlakuan berupa penerapan pembelajaran tematik


Untuk memperoleh data pada kelas tersebut diberikan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Perbedaan antara kedua kelas tersebut adalah perlakuan dalam proses pembelajaran, dimana kelas eksperimen pembelajarannya menggunakan model pembelajaran tematik tipe spider webbed, sedangkan kelas kontrol pembelajarannya secara non tematik.

Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SDN Jamika 1 yang berada di Jalan Pagarsih Gang Pak Oyon Kota Bandung. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa di sekolah tersebut belum melaksanakan pembelajaran tematik secara utuh bahkan cenderung masih bersifat non tematik dengan pemisahan mata pelajaran yang jelas. Subjek dalam penelitian ini yaitu guru kelas II dan siswa kelas II pada SDN Jamika 1. Dasar pertimbangan pemilihan tingkat kelas adalah bahwa siswa kelas II diasumsikan sudah dapat membaca lancar kalimat sederhana, dengan demikian diharapkan pada saat penelitian tidak terdapat kendala yang cukup berarti pada saat siswa membaca soal-soal tes. Siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol kemudian diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Berikut adalah deskripsi siswa pada kedua kelas berdasarkan klasifikasi tingkat kemampuan siswa.

Tabel 2 Klasifikasi Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan

Tingkat Klasifikasi

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

Kemampuan Rendah

8 siswa

6 siswa

Kemampuan Sedang

32 siswa

31 siswa

Kemampuan Tinggi

9 siswa

12 siswa

Jumlah siswa

49 siswa

49 siswa

Pengembangan Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Perangkat Model Pembelajaran Tematik, (2)Tes Keterampilan Proses Sains, (3) Tes Penguasaan Konsep IPA, (4)Lembar Observasi, dan (5) Lembar Panduan Wawancara.

Setiap instrumen yang digunakan dalam penelitian ini telah melalui tahapan pengujian atau validasi, baik oleh ahli maupun secara uji empirik di lapangan. Khusus untuk pengujian instrumen berbentuk tes, validasi empirik memegang peranan yang sangat penting untuk mengetahui tingkat keterandalannya. Tes yang baik biasanya memenuhi kriteria validitas tinggi, reliabilitas tinggi, daya pembeda yang baik, dan tingkat kesukaran yang layak. Pengolahan data hasil uji coba instrumen ini dilakukan dengan menggunakan sebuah software Anates versi 4.


Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu data utama dan data penunjang. Data utama yang dikumpulkan merupakan data kuantitatif berupa skor tes penguasaan konsep IPA dan skor tes keterampilan proses sains siswa pada kedua kelas. Data selanjutnya yang dikumpulkan adalah data hasil observasi kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pada kedua kelas, yang kemudian dideskripsikan untuk memperoleh gambaran mengenai proses pembelajaran yang berlangsung sehingga dapat memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan perolehan skor siswa sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan pembelajaran. Data pendukung lainnya adalah hasil wawancara dengan guru mengenai proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang diolah dengan teknik perhitungan secara statistik menggunakan program SPSS for windows 12. Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain faktor (N-Gain) (Meltzer, 2002). Untuk mendeskripsikan hasil penelitian, maka dibutuhkan data pendukung berupa hasil observasi pembelajaran serta hasil wawancara yang dilakukan terhadap guru.

Hasil Penelitian

A. Penguasaan Konsep IPA

Tes penguasaan konsep IPA siswa diberikan kepada siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol, berupa soal tes awal dan tes akhir penguasaan konsep IPA. Berikut ini disajikan diagram perbandingan nilai penguasaan konsep IPA siswa pada kedua kelas.

Gambar 1 Diagram Nilai Rerata Penguasaan Konsep IPA Siswa Pada Kedua Kelas

Gambar 1 di atas memberikan gambaran secara umum bahwa sebelum pembelajaran dilaksanakan, kemampuan siswa menjawab tes awal penguasaan konsep IPA pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak memiliki perbedaan yang yang berarti. Setelah proses pembelajaran hasil rerata tes akhir penguasaan konsep IPA siswa pada kelas eksperimen yang menerapkan pembelajaran tematik menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dengan indeks N-Gain penguasaan konsep IPA kelas eksperimen (0,50) termasuk dalam kategori sedang (Meltzer, 2002) dan N-Gain penguasaan konsep IPA kelas kontrol (0,24) termasuk kategori rendah. Hasil pengujian Anova menunjukkan bahwa N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas dipengaruhi oleh (1) model pembelajaran yang diterapkan dan (2) tingkat klasifikasi kemampuan siswa. Berdasarkan uji Befferoni menggunakan SPSS for windows 12 diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat N-Gain terjadi pada setiap tingkat klasifikasi kemampuan siswa pada kedua kelas. Untuk memperjelas gambaran perbedaan rerata N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas, dapat dilihat pada diagram berikut ini.

Gambar 2 Diagram estimated marginal means of N-Gain penguasaan konsep IPA

Hasil pengujian statistik di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran tematik lebih efektif meningkatkan nilai penguasaan konsep IPA siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan sedang dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang memiliki kemampuan tinggi. Pembelajaran tematik juga lebih efektif dapat meningkatkan nilai penguasaan konsep IPA siswa berkemampuan sedang dan siswa berkemampuan rendah pada kelas eksperimen dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang memiliki kemampuan sedang dan kemampuan rendah.

B. Keterampilan Proses Sains Siswa

Tes keterampilan proses sains diberikan kepada siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol, berupa soal tes awal dan tes akhir penguasaan konsep IPA. Berikut ini disajikan diagram perbandingan rerata nilai keterampilan proses sains siswa pada kedua kelas.

Gambar 3 Diagram rerata nilai keterampilan proses sains siswa pada kedua kelas

Gambar 3 di atas memberikan gambaran secara umum bahwa sebelum pembelajaran dilaksanakan, kemampuan siswa menjawab tes awal keterampilan proses sains pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak memiliki perbedaan yang berarti. Setelah proses pembelajaran hasil rerata tes akhir keterampilan proses sains siswa pada kelas eksperimen yang menerapkan pembelajaran tematik menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, meskipun indeks N-Gain keterampilan proses sains kelas eksperimen dan kelas kontrol termasuk dalam kategori sedang (Meltzer, 2002). Berdasarkan pengujian anova dapat disimpulkan bahwa N-Gain keterampilan proses sains siswa pada kedua kelas dipengaruhi oleh model pembelajaran yang diterapkan. Namun N-Gain keterampilan proses sains tidak dipengaruhi oleh tingkat klasifikasi kemampuan siswa. Berdasarkan uji Befferoni menggunakan SPSS for windows 12 diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat N-Gain terjadi pada setiap tingkat klasifikasi kemampuan siswa pada kedua kelas. Untuk memperjelas gambaran perbedaan rerata N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas, dapat dilihat pada diagram berikut ini.

Gambar 5 Diagram Estimated Marginal Means of N-Gain Keterampilan Proses Sains

Hasil pengujian statistik di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran tematik dapat lebih efektif meningkatkan kemampuan penguasaan keterampilan proses sains siswa pada kelas eksperimen, baik siswa berkemampuan tinggi, sedang, maupun rendah, bahkan peningkatan siswa berkemampuan rendah di kelas tematik lebih tinggi dari siswa berkemampuan tinggi di kelas non tematik.

Pembahasan

Melalui model pembelajaran tematik tipe spider webb pada tema ”Matahariku”, belajar materi IPA dapat dilakukan secara bersamaan saat siswa belajar membaca (pelajaran Bahasa Indonesia). Hal ini nampak dalam proses pembelajaran bahwa materi-materi IPA dijadikan juga sebagai media untuk belajar Bahasa Indonesia. Hal ini menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi siswa bahwa ia mendapatkan dua keuntungan sekaligus, mendapatkan materi IPA dan Bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pembelajaran terpadu yaitu prinsip the hidden curriculum, dimana pembelajaran yang dikembangkan memuat pesan yang tersembunyi namun penuh makna bagi siswa (Sa’ud, 2006).

Model pembelajaran tematik spider webb pada tema ”Matahariku” mengemas pengalaman belajar yang dirancang untuk memberikan kebermaknaan pengalaman bagi para siswa. Pengalaman belajar yang demikian dapat lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual dan menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang studi yang relevan akan membentuk skema, sehingga anak akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan William (Sa’ud, 2006), bahwa perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu.

Prinsip-prinsip pembelajaran terpadu, seperti prinsip the learning environment (Sa’ud, 2006) dalam pembelajaran tematik dilaksanakan untuk menyediakan lingkungan belajar di kelas yang memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpikir dan berkreativitas. Hal ini nampak sangat jelas ketika siswa melakukan aktivitas berpikir dan berkreativitas dalam waktu yang bersamaan, pada saat membuat jam matahari, membuat wayang-wayangan, melakukan percobaan sederhana untuk mengidentifikasi bayangan serta mencatat dan melakukan pengukuran terhadap panjang bayangan benda.

Kegiatan hands-on (percobaan/praktikum) yang dilakukan secara berkelompok membuat siswa leluasa untuk berinteraksi dengan sesama siswa, dengan guru, bahkan dengan lingkungan. Pembelajaran juga tidak dilakukan secara monoton di dalam kelas, melainkan penuh aktivitas berkelanjutan, dimana siswa bisa keluar masuk kelas untuk mencatat hasil pengamatan bersamaan dengan aktivitas lain yang dilakukan di kelas.

Pembelajaran tematik yang diterapkan ini dikemas dengan memperhatikan aturan pembelajaran IPA dan juga mata pelajaran lain yang terkait. Pengemasan pembelajaran IPA melalui model tematik ini beranjak pula dari paham konstruktivisme yang mengarahkan pemahaman yang lebih hakiki dari pengertian IPA dan makna dari pembelajaran IPA itu sendiri. Berbicara tentang IPA berarti berbicara pula tentang proses IPA dengan kata lain IPA adalah proses IPA. Belajar tentang IPA adalah belajar bagaimana menemukan IPA melalui serangkaian proses ilmiah untuk menemukan fakta dan membangun konsep dan prinsip IPA.

Pengemasan pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tematik ini ditekankan pada keaktifan siswa, sesuai apa yang diungkapkan Yager (Susanto, 2002) bahwa belajar sains dilakukan melalui keaktifan siswa dalam membangun sendiri pengetahuannya, membandingkan informasi baru dengan pemahaman yang telah dimiliki dan menggunakan semua pengetahuan atau pengalaman itu untuk untuk bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada pada pengetahuan baru dan lama untuk mencapai pemahaman baru.

Melalui penerapan model pembelajaran tematik ini, upaya mengkonstruksi pengetahuan dan konsep IPA siswa dilakukan dengan cara menggali pemahaman awal siswa mengenai materi IPA, dalam hal ini tentang matahari. Pertanyaan-pertanyaan yang variatif diajukan guru sebagai apersepsi untuk mengungkap pengetahuan awal siswa. Hal ini sejalan dengan paham konstruktivisme yang berdasarkan pada pada prinsip pengetahuan muncul dan hanya ada dalam pikiran manusia. Dengan demikian perlu disadari bahwa di dalam kelas, pengetahuan hanya ada dalam diri peserta didik dan guru, bukan pada papan tulis dan buku-buku, bukan pada pembicaraan guru-murid atau bukan pula pada aktivitas yang dilakukan mereka.

Peningkatan penguasaan keterampilan proses siswa pada kelas eksperimen menunjukkan bahwa proses pembelajaran tematik yang dilakukan dapat membantu siswa mengembangkan aspek-aspek keterampilan proses sains yang dimiliki siswa. Pembelajaran IPA lebih difokuskan pada kegiatan hands-on dan keaktifan siswa dalam mempelajari materi IPA. Dengan demikian terdapat pendekatan keterampilan proses sains. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sumantri (2001) bahwa suatu pengajaran yang menggunakan pendekatan keterampilan proses berarti pengajaran itu berusaha menempatkan siswa dalam posisi yang amat penting. Keterampilan proses dapat berkembang pada diri siswa bila diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan keterampilan berpikirnya. Dengan keterampilan proses siswa dapat rnempelajari IPA sesuai dengan keinginannva. Keterampilan proses sains mempunyai cakupan yang sangat luas sehingga aspek-aspek keterampilan proses sains sering digunakan dalam beberapa pendekatan dan metode pembelajaran.

Upaya menghadirkan kegiatan-kegiatan yang memberikan nuansa pembelajaran keterampilan proses bagi siswa dalam pembelajaran tematik menekankan usaha-usaha membelajarkan peserta didik bagaimana belajar (to learn how to learn). Usaha ini jelas menuntut keterlibatan peserta didik dalam kadar keterlibatan belajar yang kuat, tinggi, dan maksimal. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran, upaya menumbuh kembangkan keterampilan proses sains ini dilakukan juga pada pelajaran lain yang diintegrasikan, baik Matematika, Bahasa Indonesia dan SBK.

Keterpaduan Bahasa, Matematika dan Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) dengan IPA dalam model pembelajaran tematik tipe spider webb ini telah menghantarkan siswa untuk memiliki penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains siswa yang lebih baik pada kelas eksperimen dibandingkan dengan pencapaian siswa pada kelas kontrol. Hal ini tentunya menjadi masukan berharga bagi dunia pendidikan bahwa jika prosedur pembelajaran tematik ditempuh dengan cara yang sesuai dengan hakikatnya, maka keberhasilan siswa dalam belajar dapat diraih dengan baik. Pembelajaran tematik yang dilakukan tidak perlu dipaksakan dan diada-adakan, pemilihan konsep dan materi yang sesuai justru akan menjadikan pembelajaran tersebut lebih bermakna bagi siswa. Dukungan yang perlu diberikan pada kelas yang menerapkan pembelajaran tematik adalah perhatian dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai serta disesuaikan dengan jumlah siswa yang terdapat dalam satu rombongan belajar, seperti yang disyaratkan dalam standar proses Permendiknas No.41 tahun 2007.

Kesimpulan

Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran tematik lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran non tematik. Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa selain dipengaruhi oleh model pembelajaran tematik yang diterapkan, juga dipengaruhi oleh tingkat klasifikasi kemampuan siswa (tinggi, sedang, rendah).

Peningkatan penguasaan keterampilan proses sains siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran tematik lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran non tematik. Peningkatan penguasaan keterampilan proses sains siswa hanya dipengaruhi oleh model pembelajaran tematik yang diterapkan, dan tidak dipengaruhi oleh tingkat klasifikasi kemampuan siswa (tinggi, sedang, rendah).

Proses pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tematik dapat dikembangkan lebih efektif dan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPA yang terdiri atas tiga dimensi yaitu dimensi pengetahuan, proses dan sikap. Pembelajaran tematik ini memberikan peluang bagi siswa untuk belajar IPA lebih banyak dan lebih baik dengan cara berlatih untuk mengembangkan kemampuannya dalam bekerjasama dalam kelompok dan merefleksikan hasil pengalaman belajar mereka di dalam kelompoknya tersebut. Dengan demikian, mata pelajaran IPA dapat dikembangkan bersama-sama dengan mata pelajaran lain dalam model pembelajaran tematik .

Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti menyampaikan saran-saran berkaitan dengan penerapan pembelajaran tematik. Saran pertama adalah bahwa pembelajaran tematik yang sangat kental dengan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, hendaknya tetap memperhatikan penguasaan konsep siswa terhadap materi yang diajarkan. Sebagaimana diketahui bahwa untuk saat ini teknik penilaian yang dilakukan masih bersifat pengujian terstandar dengan menekankan aspek penguasaan konsep seperti halnya Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Oleh sebab itu perlu disiasati upaya pemantapan penguasaan konsep ini dengan upaya drill (latihan) dengan intensitas yang cukup untuk menunjang penguasaan konsep tersebut. Saran kedua adalah bahwa meskipun penekanan utama pembelajaran di kelas rendah (I, II, dan III) adalah pada penguasaan membaca-menulis-berhitung (Calistung), namun bukan berarti mengabaikan mata pelajaran lainnya. Oleh sebab itu manfaatkanlah proses pembelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika untuk secara bersamaan mengembangkan keterampilan dan penguasaan konsep siswa terhadap materi-materi yang terdapat dalam mata pelajaran lainnya secara bersamaan dalam sebuah keterpaduan yang harmonis dalam pembelajaran. Sebagai saran terakhir, diharapkan agar pada penelitian selanjutnya dikembangkan bahan ajar tematik serta pengembangan materi pembelajaran tematik karena peranannya sangat besar bagi pelaksanaan pembelajaran tematik, baik ditinjau dari sisi siswa dan guru, dan kepentingan peningkatan mutu pendidikan selanjutnya.

Daftar Pustaka

Berlin,D.F. (1994). The Integration of Science and Mathematics Education; highlights from NSF/SSMA Wingspread Conference Plenary Papers. Scholl Science and mathematics. 94(1), 32-35

Harlen, Wynne & Galton,Maurice. (1990) Assessing Science in the Primary Classroom: Observing Activities. London ; Paul Chapman Publishing Ltd

Charlesworth & Lind (1999). Math and Science for Young Children, 3rd Ed. Ch.S. Delmar : New York

Charbonneau, Manon P. (1995). The Integrated Elementary Classroom, a developmental Model of education for the 21st century. United States: A Simon & Schuster Company

Collins, Gillian & Dixon, Hazel. (1991). Integrated Learning; Planned Curriculum Units Australia: Bookshelf Publishing Australia ISBN 0 86896 844 7 (Stage 3)

Semiawan, Conny. (1992). Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga

Depdiknas, (2005), Standar Nasional Pendidikan, Jakarta : Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005

Depdiknas, (2006), Standar Isi, Jakarta : Permendiknas No. 22 Tahun 2006

Depdiknas, (2006), Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta : Permendiknas No. 23 Tahun 2006

Depdiknas,(2006). Model Pembelajaran Tematik Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta: PUSKUR BALITBANG.

Depdiknas, (2006), Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta : Permendiknas No. 24 Tahun 2006

Depdiknas, (2006). Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar.

Fogarty, Robin. (1991). The Mindful School. How to Integrate the Curricula. Palatine,Illinois : IRI/Skylight Publishing,Inc.

Foulds, William. & Rowe,John. (1996). The Enhancement of Science Process Skills in Primary teacher Education Students. Australian Journal of Teacher Education Vol.21, No.1,1996

Houtz, Lynne E. & Thomas, Julie A. (1997). “Interdisciplinary Math and Science: A Hands on Conseideration of Integrated Reform” Tersedia :______

Khisfe, Rola. & Lederman, Norman. (2006). Teaching Nature Science within a Controversial Topic: Integrated versus Nonintegrated. Dalam Journal of Research in science Teaching Vol.43 No.4 PP 395-418. Tersedia : Willey Inter Science (www.interscience.willey.com)

McBride,J.W & Silverman,F.L (1992). Integrating elementary/middle school science and mathematics. School Science and Mathematics, 91(7), 285-292.

Meltzer, David E. (2002). “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: ‘hidden variable’ in Diagnostic Pretestt Scores’. American Journal of Physics, 70, (12), 1259-1267.

Rustaman,Nuryani. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang : Universitas Negeri Malang (UM Press)

Sa’ud, Udin Syaefudin. (2006). Bahan Belajar Mandiri I : Konsep Dasar Pembelajaran Terpadu. UPI: Program Peningkatan Kualifikasi Guru SD/MI Multi sistem .

Sa’ud, Udin Syaefudin. (2006) Bahan Belajar Mandiri III : Jenis Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu di Indonesia. UPI: Program Peningkatan Kualifikasi Guru SD/MI Multi sistem .

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung : Alfabeta

Tim Pengembang PGSD. (1997). Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S2 Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Bagian Proyek Pengembangan PGSD

Thomas,Julie. (1996), Toward interdisciplinary Math and Science Education : A Literature Riview in Science Education Reform. Paper Presented at AETS Internasional Conference, Seattle, WA, January 11-13,1996, Texas Tech Universty

Wahana Komputer. (2004). Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 12. Yogyakarta : Andi Offset

Yorks,P & Follo,E (1993) Engagement rates during thematic and traditional instruction.ERIC Document Reproduction Service [ED 363 412]

2 komentar:

  1. bu...saya tanya...tuk dapatkan bukunya fogarty ttg the mindful school: how to integrate the curricula...dmn? ku butuh banget...di perpus UPI ad ta? klo ad tolong diemailkan di kabari ke mail chocopps@gmail.com..........please bu....

    BalasHapus
  2. maaf baru sempat menjawab
    saya punya buku fogarty
    jika masih membutuhkan bisa datang ke SDN Cihaurgeulis 2 untuk menemui saya

    BalasHapus