Laman

07 Desember 2011

Manusia Makhluk Berpikir

Manusia Sebagai Makhluk Berpikir
By: Sri Hendrawati

Tuhan menciptakan dua macam benda sebagai pengisi bumi yang sifatnya organis dan anorganis. Benda hidup disebut makhluk yang memiliki ciri-ciri unik dan memiliki tingkatan (tumbuhan, hewan, manusia), serta tunduk pada hukum biologis. Benda tak hidup bersifat mati, tetap dan tunduk pada hukum alam (deterministis), terdiri dari benda yang berwujud padat, cair dan gas.
Makhluk hidup memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan benda tak hidup, yaitu dapat berkembang biak, bernafas, dapat bergerak, melakukan adaptasi, serta peka terhadap rangsang (iritabilitas). Manusia sabagai mahluk hidup sama seperti mahluk hidup lainnya mempunyai ciri hidup, yaitu berkembang biak, memerlukan nutrisi, bergerak tumbuh dan berkembang, beradaptasi serta peka terhadap rangsang. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan partikularistik (unik). Keunikan manusia antara lain karena ia memiliki kecerdasan (homo sapiens), dapat membuat alat-alat (homo faber), dapat berbicara (homo longuens), hidup bermasyarakat (homo socius), melakukan kegiatan usaha (homo aeconomicus), memiliki berkeyakinan (homo religius), berbudaya (homo humanis), serta tahu akan keindahan (homo aestheticus).

Sifat lain dari manusia selain unik adalah rasa ingin tahu yang sangat besar. Sifat rasa ingin tahu yang sangat besar yang dimiliki manusia biasanya timbul ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah. Masalah yang menyangkut hidup manusia telah ada sejak permulaan kehidupan manusia. Masalah tersebut misalnya munculnya wabah penyakit, bencana alam, kelaparan. Ketika muncul hal tersebut maka dengan akal dan pikirannya manusia mulai berfikir dan berusaha untuk mencari penyebabnya. Sejak saat itulah munculah ilmu pengetahuan, awalnya yang melakukan penelitian adalah ahli sihir, dukun dan pendeta. Babak baru ilmu pengetahuan dimulai sejak kebudayaan Yunani, sejak saat itu urusan ilmu pengetahuan mulai bergeser dari ahli sihir, dukun ataupun pendeta kepada kelompok masyarakat lainnya.

Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.
Kesadaran adalah landasan untuk nalar atau berpikir. Apa yang dipikirkan oleh manusia? Manusia memikirkan segala sesuatu, baik yang dapat diindera maupun yang tidak dapat diindera. Segala sesuatu yang dapat diindera manusia disebut pengalaman atau experience, sedangkan segala sesuatu yang tak dapat diindera oleh manusi disebut dunia metafisika (meta = beyond, metafisika = beyond experience. Berpikir tentang experience disebut berpikir empirikal, dan berpikir tentang dunia metafisika disebut berpikir transcendental.

Berpikir adalah olah otak untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian, berpikir mestinya menghasilkan tahu tentang sesuatu, yang jika diakui secara umum menjadi pengetahuan. Proses mengetahui sesuatu itu membutuhkan waktu berpikir, prosesnya dapat berlangsung cepat atau lambat tergantung pada kerumitannya. Lazimnya, cara berpikir untuk mengetahui sesuatu itu adalah dengan mengurai atau merangkai sesuatu yang menghasilkan pengertian dan pengetahuan baru. Kegiatan mengurai atau merangkai sesuatu dalam proses berpikir adalah dua hal yang saling berkaitan

Otak manusia terdiri dari 2 belahan, kiri (left hemisphere) dan kanan (right hemisphere) yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpuss callosum. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti membaca, bahasa dan berhitung. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas, dan respons berbeda dan harus tumbuh dalam keseimbangan.

Dalam proses menuangkan pikiran, manusia berusaha mengatur segala fakta dan hasil pemikiran dengan cara sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan dari awal, dengan harapan bahwa akan lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi di kemudian hari. Sayangnya, sistem pendidikan modern memiliki kecenderungan untuk memilih keterampilan-keterampilan “otak kiri” yaitu matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari pada seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif.

Apa yang dipikirkan manusia terpusat pada diri sendiri: asal mulanya, keberadaan, dan tujuan akhir hidupnya. Pengenalan manusia terhadap segala sesuatu di diawali secara represif: makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain. Selanjutnya dikenal pula orang tua, saudara, dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Berkat perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, manusia mulai mengenal makna masing-masing secara kritis. Kemudian kedudukan, fungsi dan keterkaitan antara satu dengan yang lain, yang membuat esensi dan eksistensi setiap hal menjadi semakin jelas. Pengenalan manusia kemudian berkembang menjadi semakin kreatif. Kreativitas ini memungkinkan manusia membuat makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain, dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitamya, termasuk juga menciptakan grup-grup sosial yang baru.

Selanjutnya dengan pemikirannya yang kritis dan kreatif manusia memikirkan dirinya sendiri, yaitu hakikatnya sebagai manusia. Hakikat manusia adalah makhluk Tuhan yang eksis dalam diri-pribadinya yang otonom, berjiwa-raga, dan berada dalam sifat hakikatnya sebagai makhluk individu yang memasyarakat). Pemaharnan tentang hakikat pribadi ini membuat manusia sadar akan adanya berbagai persoalan hidup yang justru bersumber dari kebutuhan dan kepentingan yang dituntut pemenuhannya bagi setiap unsur hakikat pribadinya itu. Kemudian ia sadar akan perlunya pemecahan segala masalah tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya. Untuk itulah manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya, dari yang mists-religius menuju ke ontologis-kefilsafatan, sampai akhirnya pada taraf yang paling konkret-fungsional.
Pemikiran yang mistis-religius (resepif) adalah menerima segala sesuatu sebagai kodrat Tuhan, di mana manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubahnya. Pemikiran yang konkret-fungsional bermakna bahwa dalam pemikiran itu terkandung suatu terobosan baru, yaitu adanya kreativitas penciptaan teknologi yang sedemikian rupa sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam, melainkan justru bagaimana hukum alam itu bisa dilampaui.

Pemikiran yang teknologis-fungsional sudah berkembang sampai ke taraf sosial budaya. Jalinan hubungan dengan sesama manusia telah berubah menjadi praktis, pragmatis, dan serba terbatas menurut tingkat keperluan minimal dengan ukuran utama kegunaan bagi diri pribadi.

Penalaran merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Dalam pernyataan itu terdiri atas pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekaburan arti.

Dalam proses pemikiran ini perlu dipelajari terlebih dahulu unsure-unsur dari penalaran yang pada umumnya bertitik tolak pada materi yang dibicarakan. Unsur disini bukanlah merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran, tetapi merupakan hal-hal sebagi prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis, tergantung pada pangkal pikirnya.

Dasar penalaran yang kedudukannya sebagai bagian langsung dari bentuk penalaran adalah pernyataan, karena pernyataan inilah yang digunakan dalam pengolahan dan perbandingan. Kalimat ada yang bermakna dan ada pula yang tidak bermakna, selanjutnya kalimat yang bermakna dibedakan menjadi lima jenis, yaitu kalimat berita, kalimat pertanyaan, kalimat perintah, kalimat seru, dan kalimat harapan. Di antara jenis kalimat ini yang digunakan dalam logika adalah kalimat berita, karena kalimat berita dapat dinilai benar atau salah, sedangkan jenis-jenis kelimat yang lain tidak dapat dinilai benar atau salah.

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusi pada hakekatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan maerasa dan berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Meskipun seperti yang dikatakan Pascal bahwa hatipun mempunyai logika tersendiri, dan perlu kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi setiap orang sifatnya relatif, oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk memperoleh kebenaran itu juga berbeda untuk setiap orang. Ciri-ciri penalaran adalah: 1) Adanya suatu pola berpikir yang secar luas yang disebut logika, yakni proses berpikir logis yang bersifat jamak (plural) bukan tunggal (singular): dan 2) Penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikir, artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang menggunakan logika ilmiah.
Berdasarkan kriteria penalaran tersebut, masih banyak pola berpikir yang tidak termasuk logis dan analitis, yaitu perasaan yang merupakan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Namun kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran, umpamanya intuisi.

Prinsip dasar pernyataan dikemukan pertama kali oleh Ariestoteles yang terdiri dari tiga prinsip yaitu:
1. Prinsip identitas, yang dikenal dalam bahasa latin dengan istilah Prinsipium identitatis. Prinsip ini berbunyi bahwa : sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri.” Dengan kata lain, “sesuatu yang disebut P maka sama dengan P yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain.”
2. Prinsip kontradiksi atau prinsipium contradictionis, menyatakan bahwa ; “sesuatu yang tidak sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan” atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama.” Dengan kata lain, “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan P atau non P.”
3. Prinsip eksklusi tertii atau prinsipium exclusi tertii adalah prinsip penyisishan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip ini berbunyi , “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah,” dengan kata lain bahwa ,”sesuatu x mestilah P atau non P, tidak ada kemungkinan ketiga.” Arti dari prinsip ini adalah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, msesilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat P atau non P.

Di samping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Ariestoteles di atas, seorang filsuf Jerman, Leibniz menambahkan satu prinsip lagi yang merupakan pelengkap prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (prinsipium rationis sufficientis) yang berbunyi: “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi. Dengan kata lain bahwa : “sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar