Laman

17 Oktober 2009

ARTIKEL PEMBELAJARAN TEMATIK

PEMBELAJARAN TEMATIK, sebuah solusi

untuk meningkatkan KEMAMPUAN MINDS-ON

DAN HANDS-ON SISWA

oleh :

sri Hendrawati, S.Pd, M.Pd

1. Latar Belakang

Tahun 2006 adalah sebuah babak baru dalam perjalanan panjang pendidikan negeri kita,Indonesia. Dimana dunia pendidikan mengalami reformasi besar-besaran dengan diberlakukannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) yang memberikan otonomi dan kewenangan yang begitu besar kepada sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, ujung tombak sisitem pendidikan negeri ini.

Terlepas dari siap dan tidaknya bangsa ini menerima perubahan kurikulum beserta perangkatnya, pelaksanaan KTSP tetap dilakukan. Pro kontra pun terjadi, bahkan beberapa plesetan mengenai KTSP mulai bermunculan seperti kurikulum KaTeSiaPe, Kurikulum Tak Siap Pakai, dan banyak lagi.

Beberapa pihak menyambut baik kehadiran KTSP, namun tak jarang pula orang yang mencibir, acuh, dan pesimis terhadap KTSP. Semua perubahan ini dianggap sama saja dengan perubahan-perubahan sebelumnya, betapa tidak Negara ini telah mengalami beberapa perubahan kurikulum yang bagi sebagian pihak, hasilnya tetap sama saja.

Seandainya saja, bangsa ini mau sedikit terbuka terhadap sebuah inovasi dalam bidang pendidikan dengan kesediaan membuka mata telinga dan hati untuk mau tahu dan berbuat , maka KTSP sebenarnya memberikan peluang kepada dunia pendidikan khususnya tingkat sekolah untuk dapat menunjukkan jati dirinya, menunjukkan seluruh kemampuan yang dimilikinya dengan mengembangkan seluruh kekuatan dan potensi yang ada didalamnya, bersinergi dengan pemerintah dan lingkungan untuk menciptakan suasana pendidikan yang kondusif untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Berbagai pihak sekarang ini menilai bahwa pendidikan bangsa ini tengah berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. Bank Dunia (1998) melaporkan tentang hasil pengukuran indikator mutu secara kuantitatif pada Sekolah Dasar (SD) di beberapa negara di Asia. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur, berada di bawah Hongkong 75,5%, Singapura 74%, Thailand 65,1%, Filifina 52,6% dan Indonesia 51,7%. Dari hasil penelitian ini disebutkan pula bahwa para siswa di Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan mengalami kesulitan menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.

Rendahnya mutu pendidikan khususnya di sekolah dasar diperkuat pula oleh hasil kajian yang dilakukan oleh Blazelly, dkk (dalam Suderajat, 2004:2) yang menyatakan bahwa: Pembelajaran di Indonesia cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana siswa berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajarinya di sekolah, guna memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan telah mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga mereka menjadi asing di dalam masyarakatnya sendiri.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran di tingkat sekolah dasar adalah dengan penerapkan suatu model pembelajaran terpadu. Pembelajaran terpadu atau integrated learning merupakan suatu konsep yang dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Bermakna artinya bahwa dalam pembelajaran terpadu, siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep yang lain yang sudah mereka pahami.(Tim pengembang D-II dan S-2,1997:6). Jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional, pembelajaran terpadu lebih melibatkan siswa secara aktif secara mental dan fisik di dalam kegiatan belajar mengajar di kelas serta pembuatan keputusan. Pendapat John Dewey dengan konsepnya “Learning By Doing” sangat sesuai dengan pendekatan terpadu ini.

Pada dasarnya model pembelajaran terpadu merupakan system pembelajaran yang memungkinkan siswa baik individual maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistic, bermakna dan otentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi tema menjadi pengendali di dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan berpartisipasi di dalam eksplorasi tema tersebut, para siswa belajar sekaligus melakukan proses dan siswa belajar berbagai mata pelajaran secara serempak.

Menurut Fogarty dalam bukunya How to Integrate the Curricula , ada 10 macam model pembelajaran terpadu, seperti : fragmented (penggalan), connected (keterhubungan), nested (sarang), sequenced (pengurutan), shared (irisan), webbed (jarring laba-laba), threaded (bergalur), integrated (terpadu), immersed (terbenam), dan networked (jaringan kerja). Berdasarkan beberapa model pembelajaran terpadu di atas, dapat digunakan beberapa model pembelajaran yang menggunakan pendekatan tematik pada jenjang sekolah dasar. Model yang biasa digunakan adalah model jaring laba-laba (spider webb) dan model keterpaduan (integrated).

Pembelajaan tematik adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983). Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya:

1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu,

2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama;

3) pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan;

4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan matapelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa;

5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas;

6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain;

7) guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.

2. Landasan Pembelajaran Tematik

Dalam Model Pembelajaran Tematik Untuk Kelas Awal yang dikeluarkan Balitbang Depdiknas tahun 2006 dikemukakan beberapa landasan pembelajaran tematik, baik dari sisi filosofis, psikologis dan yuridis.

Landasan filosofis dalam pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat yaitu: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme, dan (3) humanisme. Aliran progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman siswa. Aliran konstruktivisme melihat pengalaman langsung siswa (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing siswa. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Aliran humanisme melihat siswa dari segi keunikan/kekhasannya, potensinya, dan motivasi yang dimilikinya.

Landasan psikologis dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya.

Landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran tematik di sekolah dasar. Landasan yuridis tersebut adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya (Bab V Pasal 1-b).

3. Karakteristik Pembelajaran Tematik

Dalam Model Pembelajaran Tematik di Kelas Awal yang diterbitkan Balitbang Diknas, tahun 2006 dikemukakan bahwa sebagai suatu model pembelajaran di sekolah dasar, pembelajaran tematik memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

1. Berpusat pada siswa

Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.

2. Memberikan pengalaman langsung

Pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata (konkrit) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak.

3. Pemisahan matapelajaran tidak begitu jelas

Dalam pembelajaran tematik pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.

4. Menyajikan konsep dari berbagai matapelajaran

Pembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, Siswa mampu memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

5. Bersifat fleksibel

Pembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel) dimana guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.

6. Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa

Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

7. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan

4. Manfaat Pembelajaran Tematik

Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahaminya. Teori pembelajaran ini dimotori para tokoh Psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.

Dengan pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan tema ini, akan diperoleh beberapa manfaat yaitu:

1) Dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dan indikator serta isi mata pelajaran akan terjadi penghematan, karena tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkan dihilangkan,

2) Siswa mampu melihat hubungan-hubungan yang bermakna sebab isi/materi pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat, bukan tujuan akhir,

3) Pembelajaran menjadi utuh sehingga siswa akan mendapat pengertian mengenai proses dan materi yang tidak terpecah-pecah.

4) Dengan adanya pemaduan antar mata pelajaran maka penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat,

Keuntungan pembelajaran tematik bagi guru antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Tersedia waktu lebih banyak untuk pembelajaran.
  2. Materi pelajaran tidak dibatasi oleh jam pelajaran, melainkan dapat dilanjutkan sepanjang hari, mencakup berbagai mata pelajaran.
  3. Hubungan antar mata pelajaran dan topik dapat diajarkan secara logis dan alami. Dapat ditunjukkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang kontinyu, tidak terbatas pada buku paket, jam pelajaran, atau bahkan empat dinding kelas.
  4. Guru dapat membantu siswa memperluas kesempatan belajar ke berbagai aspek kehidupan. Guru bebas membantu siswa melihat masalah, situasi, atau topik dari berbagai sudut pandang.
  5. Pengembangan masyarakat belajar terfasilitasi. Penekanan pada kompetisi bisa dikurangi dan diganti dengan kerja sama dan kolaborasi.

Keuntungan pembelajaran tematik bagi siswa antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Bisa lebih memfokuskan diri pada proses belajar, daripada hasil belajar.
  2. Menghilangkan batas semu antar bagian-bagian kurikulum dan menyediakan pendekatan proses belajar yang integratif.
  3. Menyediakan kurikulum yang berpusat pada siswa – yang dikaitkan dengan minat, kebutuhan, dan kecerdasan; mereka didorong untuk membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab pada keberhasilan belajar.
  4. Merangsang penemuan dan penyelidikan mandiri di dalam dan di luar kelas.
  5. Membantu siswa membangun hubungan antara konsep dan ide, sehingga meningkatkan apresiasi dan pemahaman.

5. Kriteria Penentuan Tema

Tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri siswa. Ruang lingkup tema disesuaikan dengan usia dan perkembangan siswa, termasuk minat, kebutuhan, dan kemampuannya. Dalam upaya memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya dari tema yang disajikan, seorang siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Demikian pula halnya dengan guru, pemahaman guru terhadap jenis pengetahuan itu sendiri haruslah dimiliki agar penyampaiannya bisa dilakukan secara tepat.

Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial. Ketiga pengetahuan itu dibentuk oleh tindakan murid terhadap pengalaman fisik dan sosial. Pengetahuan fisik dikonstruksi melalui tindakan murid kepada objek fisik secara langsung. Pengetahuan matematis-logis dibentuk dengan tindakan murid terhadap objek secara tidak langsung, yaitu dengan pemikiran operatif. Pengetahuan social dibentuk oleh pengalaman murid berinteraksi dengan lingkungan social dan orang banyak. Pengetahuan-pengetahuan itu tidak bisa ditransfer melalui kata atau symbol, melainkan hanya dapat diperoleh melalui tindakan dan pengalaman. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran IPA, IPS dan Matematika di SD perlu menggunakan media pembelajaran yang bervariasi yang mendorong siswa berinteraksi langsung dengan objek yang dipelajarinya.

Topik untuk pembelajaran tematik dapat berasal dari beberapa sumber. Misalnya topik-topik dalam kurikulum, isu-isu , masalah-masalah , event-event khusus, minat siswa serta dari berbagai literatur yang relevan.

Menurut Hilda Karli (2003;63) dalam memilih tema, perlu diperhatikan beberapa aspek seperti :

a. tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan banyak bidang studi

b. tema harus bermakna, maksudnya bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya

c. tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis anak

d. tema yang dikembangkan harus mampu mewadahi sebagaian besar minat anak

e. tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar

f. tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang berlaku serta harapan masyarakat

g. tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar

Untuk merencanakan suatu model pembelajaran terpadu, siswa dapat dilibatkan dalam memilih tema atau kegiatan yang akan dilakukan, tahap ini disebut brain storming, dimana siswa dan guru bersama-sama menentukan tema dan bahan kajian apa yang dapat dikaitkan dengan tema tersebut yang akan dipelajari ditinjau dari berbagai mata pelajaran yang berbeda, untuk selanjutnya disepakati dan dikembangkan dalam proses pembelajaran..

Collin dan Dixon dalam Integrated Learning (1991;13) mengungkapkan bagaimana tahapan untuk merencanakan suatu model pembelajaran terpadu yang juga dapat diterapkan pada pendekatan tematik ini.


Gambar tahapan perencanaan model pembelajaran terpadu

6. Aktifitas Minds-on Siswa dalam Pembelajaran Tematik

Berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif, suatu aktifitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Proses berpikir dihubungkan dengan pola perilaku yang lain yang memerlukan keterlibatan aktif pemikir. Piaget (dalam Karli,2004) berpendapat bahwa pada kognisinya, setiap orang memiliki pengaturan dari dalam (self-regulation) yang berkembang sepanjang hidupnya seperti kematangan pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi. Piaget mengungkapkan bahwa proses perolehan pengetahuan diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui self regulation sehingga pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. (Bell,1993:24, Driver&Leach,1993:104, dalam Karli, 2004)

Penerapan pembelajaran terpadu dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir siswa, dimana siswa dihadapkan pada konsep-konsep yang dapat ditinjau dari berbagai bidang studi, dari berbagai sudut pandang. Disini siswa belajar untuk menganalisis konsep tersebut dan kemudian menemukan pola hubungan diantara konsep tersebut. Pembelajaran terpadu sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional yang menjejali siswa dengan ingatan dan hapalan semata dan miskin dengan aktifitas dalam perolehan pengetahuan tersebut. Menurut Wadsworth (dalam Suparno,2003,141) mengingat dan menghafal tidak dianggap sebagai belajar yang sesungguhnya karena kegiatan tersebut tidak memasukkan proses asimilasi dan pemahaman.

Piaget berpendapat, bahwa pengetahuan itu dibentuk sendiri oleh murid dalam berhadapan dengan lingkungan atau objek yang sedang dipelajarinya. Oleh karena itu, kegiatan murid dalam membentuk pengetahuannya sendiri menjadi hal yang sangat penting dalam system piaget. Proses balajar harus membantu dan memungkinkan murid aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam hal ini, penekanan pembelajaran aktif terletak pada kebutuhan dan kemampuan siswa atau student centre bukan teacher centre.

Menurut Piaget, seorang anak mempunyai cara berfikir yang berbeda secara kualitatif dengan ornag dewasa dalam melihat dan mempelajari realitas. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru seyogyanyalah memahami cara berfikir murid dalam memandang suatu objek yang dipelajarinya. Guru hendaknya menyediakan bahan belajar yang sesuai dengan taraf perkembangan kognitif anak agar dapat memudahkan mereka menuntaskan materi pelajaran yang diberikan dan lebih berhasil dalam membentuk konstruksi pengetahuan dalam fikiran anak tersebut.

Anak dapat mengkonstruksi pengetahuannya dengan baik, jika ia diberi peluang untuk dapat aktif berinteraksi dalam pembelajaran, baik dengan guru, media pengajaran, lingkungan sosial, dan sebagainya. Dengan belajar secara aktif, anak dapat mengolah bahan belajar, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan dengan kritis, sehingga mampu memecahkan permasalahan, membuat kesimpulan dan bahkan merumuskan suatu rumusan menggunakan kata-kata sendiri. Peran guru sebagai fasilitator, dan motivator sangat penting bagi keberhasilan anak dalam mengkonstruksi pengetahuannya (Jacob,1981), dan guru bukanlah sebagai pentransfer ilmu pengetahuan semata.

Pembelajaran tematik membuka peluang yang sangat besar untuk penciptaan situasi belajar tersebut, dimana guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator sementara siswa aktif membangun pengetahuannya berdasarkan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Pembelajaran tematik memberi kesempatan pada siswa dalam rangka menemukan dan membangun pengetahuannya, dengan memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengungkapkan gagasannya, pemikirannya, dan rasa keingintahuannya akan objek belajar yang dipelajarinya, baik secara lisan dan tulisan. Disini peranan guru sebagai jembatan antara anak dengan pengetahuan untuk meminimalkan terjadinya miskonsepsi anak terhadap suatu konsep atau materi pelajaran.

Piaget mengemukakan bahwa ada dua hal yang dapat menjadi motivasi intrinsik dalam diri seseorang, yaitu : adanya proses asimilasi dan adanya situasi konflik yang merangsang seseorang melakukan akomodasi. Tindakan asimilasi ini akan menghubungkan pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang dengan hal baru yang sedang dipelajari atau ditemukannya. Agar proses adaptasi dan asimilasi ini berjalan baik, diperlukan kegiatan pengulangan dalam suatu latihan atau praktik. Pengetahuan baru yang telah dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan agar semakin bermakna bagi dirinya.

Dalam pembelajaran tematik memiliki karakteristik sangat fleksibel dalam penerapannya memberikan peluang bagi siswa untuk dapat melakukan proses pengulangan dalam praktek atau latihan, mengingat pembahasan mengenai suatu tema tertentu memakan waktu yang cukup lama, berkisar 1-3 minggu tergantung pada jumlah kompetensi dan materi yang dikaitkan dalam tema tersebut.

Sementara itu, keadaan konflik kognitif, menurut Piaget, diperlukan untuk merangsang seseorang mengadakan akomodasi atau perubahan pengetahuan. Dalam menyusun pembelajaran tematik, guru dalam hal ini memerlukan penguasaan terhadap tanda-tanda konflik dan tahu bagaimana menciptakan konflik agar murid tertantang secara kognitif untuk mengubah dan mengembangkan pengetahuannya (Jacob,1981).

Piaget juga mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak juga tergantung pada interaksi unsur-unsur lain, seperti kematangan diri dan transmisi sosial. Oleh karena itu dalam lingkungan sekolah, perlu diperhatikan tingkat kematangan murid untuk menangkap pelajaran dan bagaimana mereka berinteraksi dalam lingkungan sosial mereka, seperti pertemanan. Hal ini dapat dilakukan dalam pembelajaran tematik, dimana kegiatan pembelajaran bagi siswa melibatkan aktifitas siswa secara bervariasi tergantung tujuan dan kebutuhan. Pelaksanaan pembelajaran di kelas tidak hanya bersifat DDHC (duduk, dengar, hapal dan catat) saja, melainkan dilakukan secara berkelompok baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru dapat pula mendatangkan nara sumber lain yang merupakan ahli di bidangnya untuk memperkuat konsep yang dimiliki oleh siswa yang sesuai dengan tema yang dibahas pada saat itu. Hal ini tentu dapat mengembangkan aktifitas minds-on siswa.

Minds-on atau keterampilan berpikir termasuk ke dalam ranah kognitif. Istilah kognitif itu sendiri berasal dari bahasa latin “cognoscre” yang berarti mengetahui (to know). Dalam Peterson(1996,685), cognition berarti a general term for thought or intellectual function. Cognition involves mental processes such as perseptioning, reasoning,language,judgement and imagination. Istilah kognitif ini erat kaitannya dengan konsep intelektual atau intelegensia. Claparede dan Stern mendefinisikan intelegensia sebagai suatu adaptasi mental pada lingkungan baru (Piaget,1981,halm.9 dalam Suparno,2001). Gardner (2003,hal.83) mengemukakan bahwa intelegensia adalah potensi biopsikologis yang ditentukan oleh faktor genetik dan sifat-sifat psikologinya, mulai dari kekuatan kognitifnya sampai dengan kecenderungan kepribadiannya

Presseisen (dalam Costa,1985) mengelompokkan keterampilan berpikir menjadi keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks. Keterampilan berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir rasional yang mengandung sekumpulan proses mental dari yang sederhana menuju yang kompleks (Novak,1979 dalam KArli,2004). Keterampilan berpikir dasar meliputi 10 aspek, yaitu menghapal, membayangkan , mengelompokkan, menggeneralisasikan, membandingkan, mengevaluasi, menganalisis, mensintesis, mendeduksi, dan yang terakhir adalah menyimpulkan. Dalam hal ini kemampuan berpikir dasar adalah menemukan hubungan, menghubungkan sebab akibat, mentransformasikan, mengklasifikasikan dan meberi kualifikasi. Keterampilan berpikir kompleks dapat dikategorikan kedalam empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, pegambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif (Costa,1985)

Untuk dapat menyusun sebuah pembelajaran tematik yang menitik bertkan pada aktifitas minds-on maka seorang guru hendaklah memahami klasifikasi keterampilan berpikir apa yang hendak dikembangkan pada diri siswa seperti yang diungkapkan oleh Presseisen, dan taksonomi belajar yang dikemukakan oleh Benjamin S.Bloom pada tahun 1956. Kemampuan berpikir seseorang dapat berupa keterampilan yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati, antara lain pemahaman informasi, pengelolaan gagasan, penilaian terhadap informasi atau perilaku. Kemampuan berpikir menurut Taksonomi Bloom diatur ke dalam enam tingkatan, yaitu dari yang terendah (knowledge) hingga yang tertinggi (evaluation). Tujuan ranah kognitif berhubungan dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan informasi serta pengembangan keterampilan intelektual (Jarolimek dan Foster,1981;148). Taksonomi atau penggolongan tujuan ranah kognitif oleh Bloom, mengemukakan adanya 6 (enam) kelas/tingkat kelas, sebagai berikut :

Evaluasi (Evaluation)

Mengevaluasi nilai suatu informasi

Sintesis (Synthesis)

Membangun suatu pola dari bagian-bagian yang berbeda

Analisis (Analysis)

Menganalisis/memisahkan informasi untuk pemahaman yang lebih baik

Aplikasi (Application)

Menerapkan pengetahuan dalam situasi baru

Pemahaman (Comprehension)

Memahami informasi

Pengetahuan (Knowledge)

Mengingat kembali (recall) data/ informasi

Gambar : Cognitive Domain

Pada tahun 2001, Anderson dan Krathwohl merevisi taksonomy Bloom dengan mengkombinasikan proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Perbedaan taksonomi Bloom yang original dengan hasil revisi Anderson dan Krathwohl terletak pada istilah (term) dan penekanannya (emphasis). Nama-nama dari kategori diubah dari noun menjadi verb (kata kerja) yang lebih akurat dan mencerminkan adanya proses berfikir secara aktif, demikian pula halnya dengan istilah pada sub kategori, bahkan ada pula yang di reorganized. Seperti istilah knowledge diubah menjadi remembering, comprehension diubah menjadi understanding dan synthesis diubah menjadi creating. Demikian pula urutannya pun mengalami perubahan dimana kedudukan sinthesis dan evaluation bertukar posisi, menjadi evaluating dulu dan diakhiri dengan creating. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Hasil revisi ini dapat membantu para guru dalam mendesaian tujuan pembelajaran, merumuskan serta memperbaiki tujuan tersebut secara efisien serta dapat memudahkan guru dalam menentukan teknik penilaian. Selain dari pada itu, taksonomi yang telah direvisi ini dapat digunakan pada setiap jenjang persekolahan, serta mudah mengaplikasikannya.

Selain memahami pentingnya taksonomi dalam belajar, maka seorang guru harus memahami makna yang terkandung dalam proses belajar itu sendiri. Sehingga belajar tidak hanya dipandang sebagai transfer of knowledge saja. Dalam kaitannya tentang belajar, Piaget membedakan dua pengertian tentang belajar, yaitu belajar dalam arti sempit dan belajar dalam arti luas (Ginsburg & Opper,1988). Belajar dalam arti sempit adalah belajar yang hanya menekankan perolehan informasi baru dan pertambahan. Belajar itu disebut belajar figurative, suatu bentuk belajar yang pasif. Contohnya, seorang anak menghafalkan perkalian bilangan. Belajar dalam arti luas adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum yang daopat digunakan pada berbagai situasi. Belajar ini disebut juga belajar operative. Contohnya anak mengerti tentang kekekalan massa suatu benda. Dalam hal ini anak mengetahui suatu struktur yang lebih luas yang tidak terbatas pada situasi tertentu, sehingga pengertian ini dapat digunakan dalam situasi yang lain.

Dalam penyususnan pembelajaran tematik, guru juga dapat menggunakan taksonomi Bloom untuk kepentingannya mengajar, mulai dari tahap perencanaan yang didalamnya terdapat rumusan tujuan pembelajaran, pelaksanaan, hingga sampai pada tahap akhir yaitu tahap penilaian dan tindak lanjut, baik yang berhubungan dengan siswa maupun yang sifatnya perbaikan program pembelajaran.

Taksonomi pada hakekatnya merupakan kerangka kerja yang dapat digambarkan kedalam dua dimensi yang sering disebut dengan tabel taksonomi. Baris dan kolom pada tabel, berisi gambaran penetapan kategori dari proses kognitif dan pengetahuan secara berturut-turut. Sel dalam tabel berisi perpotongan antara pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Kedua dimensi tersebut diilustrasikan pada table di bawah ini yang dapat membantu guru merumuskan tujuan menjadi lebih jelas dan lebih focus, sesuai dengan apa yang diharapkan. Berikut ini adalah tabel taksonomi yang dapat digunakan oleh guru dalam merumuskan tujuan pembelajaran dengan menggabungkan dimensi pengetahuan yang terdapat materi pelajaran dengan dimensi proses kognitif yang merupakan aktifitas berpikir siswa yang diharapkan dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran.


Dimensi Pengetahuan

Dimensi Proses Kognitif

1.
Mengingat

2.
Memahami

3.
Menerapkan

4.
Menganalisa

5.
Mengevaluasi

6.
Membuat

A.Pengetahuan Faktual

B.Pengetahuan Konseptual

C.Pengetahuan Prosedural

D.Pengetahuan Metakognitif

Guru dapat merumuskan tujuan pembelajaran dengan bantuan dari table taksonomi, dengan terlebih dahulu memahami tipe-tipe pengetahuan dan proses kognitif. Secara umum pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe pengetahuan , yaitu Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif. Pengetahuan Faktual adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu pemisahan elemen isi dan sedikit informasi. Meliputi istilah pengetahuan, pengetahuan umum dan elemen-elemen. Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan yang lebih rumit dalam bentuk pengetahuan yang tersusun. Meliputi pengetahuan pengklasifikasian kategori, prinsip-prinsip dan generalisasi, teori-teori, model-model, dan struktur. Pengetahuan prosedural adalah ‘pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu’. Meliputi pengetahuan keterampilan dan algoritma, teknik-teknik dan metode-metode, maupun kriteria penentuan penggunaan pengetahuan atau pembenaran ‘ketika melakukan apa’ dalam domain dan disiplin khusus. Terakhir, pengetahuan metakognitif adalah ‘pengetahuan mengenai pengertian umum maupun kesadaran, dan pengetahuan tentang salah satu pengertian itu sendiri’. Meliputi pengetahuan strategi, pengetahuan tentang tugas-tugas, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional, dan pengetahuan itu sendiri. Tentunya, beberapa aspek pengetahuan metakognitif tidaklah sama dengan pengetahuan yang digambarkan oleh para ahli.

Bagi para guru, tujuan pembelajaran untuk seluruh unit dapat dimasukkan ke dalam table taksonomi, untuk memastikan bahwa seluruh tahapan proses kognitif digunakan dan siswa mempelajari beberapa tipe pengetahuan yang berbeda. Sebagai contoh, jika dalam pembelajaran matematika, guru merencanakan pengajaran unit pemahaman, maka ia dapat menggunakan table taksonomi untuk memastikan bahwa siswa tidak hanya mempelajari beberapa prosedur matematika yang berbeda, melainkan bagaimana berfikir (meta-kognitif) tentang cara yang paling baik untuk dapat menyelesaikan pesoalan matematika tersebut.

Guru pun dapat menggunakan dimensi taksonomi yang baru untuk memeriksa tujuan setiap unit dan memperbaiki tujuannya sehingga mereka dapat menentukan penilaian yang cocok.Maksud dari penulisan rumusan tujuan adalah untuk mendefinisikan kemampuan apa yang ingin dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran, maka tujuan yyang sifatnya lebih detail atau spesifik dapat membantu siswa dalam memahami tujuan dari setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukannya secara lebih baik. Kata kerja seperti “mengetahui”, “mengapresiasi”, “menginternalisasi” dan “menilai” tidak menunjukkan performance yang harus dikuasai siswa secara eksplisit. Berikut ini disajikan kata-kata operasional yang dapat digunakan untuk indikator kompetensi, yang menyangkut aspek kognitif :

Kompetensi

Indikator Kompetensi

Knowledge

(Pengetahuan)

Menyebutkan, menuliskan, menyatakan, mengurutkan, mengidentifikasi, mendefinisikan, mencocokkan, memberi nama, memberi label, melukiskan.

Comprehension

(Pemahaman)

Menerjemahkan, mengubah, menggeneralisasi, menguraikan, menuliskan kembali, merangkum, membedakan, mempertahankan, menyimpulkan, mengemukakan pendapat, dan menjelaskan.

Application

(Penerapan)

Mengoperasikan, menghasilkan, mengubah, mengatasi, menggunakan, menunjukkan, mempersiapkan, dan menghitung.

Analysis

(Analisis)

Menguraikan, membagi-bagi, memilih dan membedakan.

Synthesis

(Sintesis)

Merancang, merumuskan, mengorganisasikan, menerapkan, memadukan, dan merencanakan.

Evaluation

(Evaluasi)

Mengkritisi, menafsirkan, mengadili, dan membedakan evaluasi

(Moore,2001, dan Rosyada,2004)

Berikut ini adalah cara menggunakan table taksonomi Bloom yang telah direvisi. Tujuan pembelajaran, haruslah ditempatkan di bawah salah satu kategori dimensi pengetahuan (factual, conceptual, procedural atau metakognitif) dan di bawah salah satu dari enam kategori dimensi proses kognitif (remember, understand, apply, analyze, evaluate, and create). Perpotongan antara dimensi pengetahuan dan proses kognitif merupakan tempat dimana tujuan pembelajaran tersebut diletakkan dalam table tersebut.

using table

Gunakan teknik tersebut untuk menganalisa tujuan pembelajaran. Jika tujuan pembelajaran masih samar-samar atau belum jelas seperti “mengetahui”, maka tujuan tersebut tidak dapat diletakkan di dalam table taksonomi dan tujuan itu harus direvisi dahulu, Dan hal ini merupakan petunjuk bahwa rumusan tersebut memang harus diperbaiki. Jika guru semakin mempelajari bagaimana siswa belajar, maka hal ini tentunya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan guru dalam menentukan metode yang tepat baik dalam pengajaran maupun dalam melaksanakan penilaian.

7. Aktifitas Hands-on Siswa dalam Pembelajaran Tematik

Pembelajaran tematik pada dasarnya menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing), hal ini sesuai dengan yang diungkapkan John Dewey. Implikasinya adalah bahwa dalam kegiatan belajar ini interaksi antara guru dan murid akan lebih mengarah pada partner kerja, dimana guru berperan sebagai fasilitator dan motivator dan murid sebagai pelaku utama, pebelajar itu sendiri.

Kegiatan pembelajaran tematik harus dikemas atau dirancang sedemikian rupa dengan memberikan lebih banyak porsi pengalaman belajar yang bervariasi yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa.

Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan.

Dalam merancang kegiatan pembelajaran tematik, guru hendaknya menguasai karakteristik dari mata pelajaran yang akan diintegrasikan. Sebagai contoh adalah mata pelajaran IPA. IPA memiliki karakteristik yang unik dan terdiri dari tiga dimensi yang terintegrasi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ketiga dimensi itu adalah dimensi IPA sebagai product-process-value.

Pengalaman belajar yang disajikan pada siswa, hendaknya mengakomodasi setiap kakhususan dari mata pelajaran yang dikaitkan tersebut, sehingga walaupun model pembelajaran yang digunakan adalah tematik, namun esensi dari suatu mata pelajaran tetap disampaikan secara utuh.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa model pembelajaran tematik ini memiliki karakteristik memberikan pengalaman langsung dan menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan, maka aktifitas kegiatan pembelajaran menjadi berpusat pada siswa. Siswa tidak hanya dijejali dengan pengetahuan yang bersifat kognitif saja, melainkan diberi keleluasaan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang telah dimilikinya dengan lebih terarah. Aktifitas ini biasanya dikenal dengan istilah hands-on.Istilah hands-on menjadi popular dalam pembelajaran terutama pembelajaran sains. Berikut adalah beberapa pengertian hands-on yang dikutip dari tulisan David L. Haury and Peter Rillero, 1994 sebagai berikut:

· Hands-on learning can be thought of as comprising three different dimensions: the inquiry dimension, the structure dimension, and the experimental dimension. In inquiry learning, the student uses activities to make discoveries. The structure dimension refers to the amount of guidance given to the student. If each step is detailed, this is known as a cookbook style lab. These types of activities do not increase a student's problem-solving abilities. The third dimension is the experimental dimension which involves the aspect of proving a discovery, usually through the use of a controlled experiment (Lumpe & Oliver, 1991).

· "Hands-on activities mean students have objects (both living and inanimate) directly available for investigation" (Meinhard, 1992, p. 2).

· James Rutherford director of the science reform initiative, Project 2061, describes his view of hands-on science. "Hands-on quite literally means having students 'manipulate' the things they are studying - plants, rocks, insects, water, magnetic fields - and 'handle' scientific instruments - rulers, balances, test tubes, thermometers, microscopes, telescopes, cameras, meters, calculators. In a more general sense, it seems to mean learning by experience" (1993, p. 5).

Berdasarkan hal tersebut dapat diambil sebuah pemahaman bahwa aktifitas hands-on adalah sebuah aktifitas dalam pembelajaran dimana siswa diberi keleluasaan untuk berinteraksi dengan objek yang dipelajari dengan melibatkan beberapa keterampilan proses yang mengiringi interaksi tersebut. Dalam sains, keterampilan-keterampilan tersebut disebut keterampilan proses sains.

Menurut Gega (1995) keterampilan proses/hands-on terdiri dari sejumlah keterampilan yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan namun memiliki penekanan khusus dalam masing-masing keterampilan tersebut. Keterampilan tersebut terdiri dari : mengamati (observing), mengelompokkan (Classifying), mengukur (measuring), mengkomunikasikan (communicating), menafsirkan hasil pengamatan (inferring), meramalkan (predicting), dan melakukan percobaan (experimenting).

Dalam pembelajaran tematik, peluang bagi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya terutama yang berkaitan dengan keterampilan proses menjadi sangat terbuka. Siswa dapat memperoleh gambaran suatu konsep secara utuh. Misalnya dalam tema Hewan di Sekitar Kita. Siswa kelas 2 yang harus menuntaskan Standar Kompetensi IPA: Mengenal bagian-bagian utama tubuh hewan dan tumbuhan serta berbagai tempat hidup makhluk hidup, dapat memperoleh informasi mengenai hewan tersebut dari berbagai segi dengan melibatkan berbagai mata pelajaran. Guru dapat mengaitkan SK IPA tersebut dengan mata pelajaran lainnya, misalnya PKn, B.Indonesia, Seni Rupa, dan Matematika. Sehingga terbentuklah jarring-jaring Kompetensi Dasar sebagai berikut :

Tema : HEWAN DI SEKITAR KITA

P k n B.Indonesia

Mengenal pentingnya Mendeskripsikan tumbuhan

lingkungan alam (dunia hewan) atau binatang di sekitar

sederhana dengan

bahasa tulis

Hewan di

Sekitar Kita

Seni Rupa I P A

Mengekspresikan diri melalui Mengenal bagian-bagian

gambar ekspresif utama hewan di sekitar

rumah dan sekolah melalui

pengamatan

Matematika

Menggunakan alat ukur

waktu dengan satuan jam

Berikut ini adalah contoh kegiatan inti dilengkapi dengan LKS yang dapat digunakan dalam pembelajaran tematik yang mengintegrasikan minds-on dan hands-on dengan penekanan pada penguasaan kompetensi IPA (Standar Kompetensi : Mengenal bagian-bagian utama tubuh hewan dan tumbuhan serta berbagai tempat hidup makhluk hidup)

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN TEMATIK KELAS : 2

TEMA : HEWAN DI SEKITAR KITA

SUB TEMA : MENGENAL SERANGGA

(1 kali pertemuan)

Mengingat (Remembering)

Curah pendapat untuk mendaftar bermacam-macam serangga, minimal 1 serangga untuk setiap satu huruf alphabet.

Mengelompokkan serangga menjadi kelompok serangga yang bergunabagi manusia dan kelompok serangga yang merugikan manusia.

Memahami (Understanding)

Pilihlah sebuah serangga untuk diamati.

Buatlah 10 kalimat tentang serangga yang kalian pilih, 5 pernyataan hasil pengamatan dan 5 kalimat lagi kalimat bebas tentang ciri-ciri hewan lain yang mirip hewan tersebut.

Tuliskanlah kalimat tersebut pada kartu kalimat, setiap satu kalimat satu kartu. Bermainlah tebak-tebakkan dengan kartu-kartu tersebut, biarkan teman kalian menebak apakah kalimat tersebut termasuk ciri-ciri serangga yang diamati atau bukan.

Menerapkan (Applying)

Lakukan wawancara kepada 10 orang teman untuk mengetahui serangga apa yang paling tidak disukai.

Buatlah grafik sederhana untuk menggambarkan hasil temuan kalian.

Menganalisa (Analizing)

Lengkapilah kalimat berikut dengan nama serangga yang sesuai menurut kalian.

Serangga yang cantik …,Serangga yang cepat…, serangga yang kecil…, serangga yang terang…, Serangga yang lucu…., serangga yang suka berdengung..., serangga yang berguna...., serangga yang unik...., serangga merugikan....,serangga penyebar penyakit...

Mengevaluasi (Evaluating)

Jika kalian menjadi serangga, kalian ingin menjadi apa ? jelaskan alasan kalian minimal 5 kalimat .

Menciptakan (Creating)

Kombinasikan bagian-bagian tubuh serangga yang berbeda untuk membuat sebuah serangga baru. Buatlah gambarnya kemudian beri nama serangga tersebut serta tuliskan nama bagian-bagiannya.

LEMBAR KERJA SISWA

BAGIAN-BAGIAN TUBUH HEWAN

Nama Siswa : ______________________________

Skore maksimal 100 dengan kriteria kelengkapan bagian serangga= 40, ketepatan penulisan nama = 30 dan kerapian = 30.

Mengingat (Remembering )

Nama : _______________________________

Kelas : 2

Daftar Nama-Nama Hewan

Tulislah nama-nama hewan yang kalian ketahui sesuai huruf abjad.

No.

Abjad

Nama Hewan

No

Abjad

Nama Hewan

1

A

14

N

2

B

15

O

3

C

16

P

4

D

17

Q

5

E

18

R

6

F

19

S

7

G

20

T

8

H

21

U

9

I

22

V

10

J

23

W

11

K

24

X

12

L

25

Y

13

M

26

Z

Skore : 10 untuk setiap jawaban benar. Skore maksimal = 100

Jawaban benar > dari 10 item, skore maksimal tetap = 100

Pemahaman (Understanding)

Pilihlah sebuah serangga untuk kalian amati !

Buatlah 5 kalimat tentang serangga hasil pengamatan kalian .

1. __________________________________________________________

2. __________________________________________________________

3. __________________________________________________________

4. __________________________________________________________

5. __________________________________________________________

Skore : 20 untuk setiap jawaban benar dengan criteria ketepatan dan struktur kalimat. Skore maksimal = 100

Penerapan (Applying)

Lakukan wawancara kepada 10 orang teman untuk mengetahui serangga apa yang tidak mereka sukai. Catat pula alasannya mengapa mereka tidak menyukainya.

No.

Nama Teman

Serangga yang tidak disukai

Alasan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Skore : 10 untuk setiap jawaban benar per item soal. Skore maksimal = 100

Buatlah grafik serangga yang paling tidak disukai

Jumlah Serangga

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

Nama Serangga

Skore maksimal = 100 dengan criteria ketepatan = 50 dan kerapian = 50

Menganalisis (Analizing)

Lengkapilah kalimat berikut ini !

1. Serangga yang cantik _______________________

2. Serangga yang yang kecil _______________________

3. Serangga yang terang _______________________

4. Serangga yang lucu _______________________

5. Serangga yang tidak bisa terbang _______________________

6. Serangga yang menghasilkan madu _______________________

7. Serangga yang menyebarkan penyakit diare ______________________

8. Serangga yang hidup di rambut manusia ______________________

9. Serangga yang suka berdengung _______________________

10. Serangga yang menyebarkan penyakit demam berdarah ____________

Skore : 10 untuk setiap jawaban benar per item soal. Skore maksimal = 100

Mengevaluasi (Evaluating)

Bayangkan oleh kalian.

Seandainya kalian menjadi serangga, kalian ingin menjadi apa ?

Tuliskan alasanmu paling sedikit lima kalimat !

1. _______________________________________________________

2. _______________________________________________________

3. _______________________________________________________

4. _______________________________________________________

5. _______________________________________________________

Skore : 20 untuk setiap jawaban benar per item soal. Dengan criteria ketepatan dan struktur kalimat. Skore maksimal = 100

Menciptakan (Creating)

Kombinasikan bagian-bagian tubuh serangga yang berbeda untuk membuat sebuah serangga baru. Buatlah gambarnya kemudian beri nama serangga tersebut serta tuliskan nama bagian-bagiannya.

Skore maksimal 100 dengan kriteria kelengkapan bagian serangga= 40, ketepatan penulisan nama = 30 dan kerapian = 30.

Contoh tersebut di atas hanyalah sebagian kecil dari kegiatan hands-on dan minds-on yang dilakukan dalam pembelajaran tematik. Dalam tulisan ini, penulis memang tidak mencantumkan bagaimana mekanisme menyusun dan merancang pembelajaran, namun hanya menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran tematik ini dapat meningkatkan aktifitas minds-on dan hands-on siswa.

8. Teknik Penilaian Minds-on dan Hands-on

Dalam kaitannya dengan teknik penilaian, para guru biasanya terjebak dalam penyusunan item tes penilaian sehingga penilaian kognitif hanya dititik beratkan pada aspek ingatan dan hapalan saja, maka dalam makalah ini akan diuraikan beberapa contoh dalam mengembangkan pertanyaan dalam penilaian untuk setiap aspek keterampilan kognitif yang dikutip dari buku Learning to Think, Thinking to Learn (Michel Pohl,2000).

Untuk mengembangkan pertanyaan–pertanyaan dalam penilaian aspek kognitif, maka guru hendaknya memahami mana yang termasuk ke dalam pertanyaan tingkat rendah dan mana yang termasuk ke dalam pertanyaan tingkat tinggi. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan tingkat keterampilan kognitif yang menjadi sasaran dari pertanyaan tersebut.

Pertanyaan yang termasuk ke dalam kategori pertanyaan tingkat rendah adalah yang mengembangkan aspek remembering, understanding dan tahap awal aplication dalam taksonomi. Tujuan pemberian pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengevaluasi sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu topik/materi, untuk mendiagnosa kelemahan dan kelebihan siswa dalam penguasaan sebuah konsep, serta untuk kegiatan ulangan.

Untuk mengembangkan teknik evaluasi dan instrument pengukuran dalam aspek kognitif, Abin Syamsudin menyarankan beberapa kemungkinan yang terdapat di dalam table di bawah ini.

ASPEK KOGNITIF

KEMUNGKINAN TEKNIK EVALUASI

KEMUNGKINAN INSTRUMEN PENGUKURAN

- Pengetahuan

- Pemahaman

- Aplikasi

- Analisis

- Sintesis

- Evaluasi

- bertanya secara lisan/tulisan

- memberi tugas pemecahan masalah/ proyek

- mengobservasi proses

- menilai hasil

- perangkat soal/tes lisan; objektif test/essai

- perangkat tugas pemecahan masalah/proyek

- perangkat pedoman observasi proses/Tanya jawab/pemecahan masalah/ kriteria

Sumber : Abin Syamsudin Makmun. (2007;189)

Ada beberapa hal yang tak kalah penting yang sebaiknya diperhatikan oleh para guru dalam menggunakan teknik penilaian yaitu, prosedur penilaian, mulai dari tahap persiapan, tahap penyusunan alat penilaian yang didalamnya dimulai dari tahap menentukan apakah bentuknya merupakan tes maupun non tes yang akan disusun, membuat kisi-kisi butir soal atau merumuskan aspek-aspek sasaran evaluasi hasil belajar yang akan dinilai , menulis soal sampai pada penataan soal. Guru juga harus memahami kapan pelaksanaan penilaian itu dapat dilakukan, bagaimana mengolah hasil penilaian, hingga sampai pada tahap akhir yaitu pelaporan dan penggunaan hasil penilaian tersebut.

Menurut Suharsimi Arikunto, beberapa aspek kognitif yang telah diuraikan sebelumnya , ada beberapa yang cocok untuk diterapkan secara bertahap pada pendidikan anak sekolah dasar yaitu Knowledge, Comprehension, dan Aplication, mengingat usia mereka yang masih berada pada tahapan operasional konkrit seperti yang dikemukakan oleh Piaget. Adapun analysis, sintesis dan evaluasi dapat dilatih secara bertahap di SLTP, SMU dan Perguruan Tinggi (Suharsimi Arikunto,2006). Dengan demikian jika kita mengacu pada pendapat Arikunto, maka siswa pembelajaran di SD tidak dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir sistemik. Kemampuan berpikir sistemik yang memadukan kemampuan berpikir analisis dan sisntesis baru dapat dilatihkan secara bertahap pada siswa SMP, SMU dan Perguruan Tinggi.

Menurut hemat penulis, kemampuan berpikir dapat dilatih dan dikembangkan sejak anak-anak dengan cara yang sederhana dengan memperhatikan factor kerumitan dari permasalahan yang diberikan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan siswa. Hal ini sejalan dengan taksonomi Bloom yang telah direvisi serta teori kognitif Piaget.

Untuk mempermudah pengecekan terhadap aspek keterampilan proses (hands-on) yang akan dikembangkan dalam pembelajaran dan teknik evaluasinya, maka format berikut dapat digunakan guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Format ini dapat digunakan sebagai pelengkap dalam penyusunan pembelajaran tematik bersama format lainnya, seperti matrik pemetaan KD, jaring-jaring KD, silabus, dan RPP.

No.

Kompetensi Dasar dan Indikator

Komponen Keterampilan Proses Sains

Mengamati

Mengelompokkan

Mengukur

Mengkomunikasikan

Menafsirkan hasil

Meramalkan

Melakukan percobaan

Prosedur penilaian pada umumnya telah memberikan pedoman yang jelas untuk mengukur aspek kognitif dan aspek psikomotor siswa, namun untuk menggabungkan penilaian berkenaan dengan aktifitas minds-on dan hands-on siswa, tulisan ini memberikan sebuah cara yang dapat ditempuh oleh guru terutama yang berkaitan dengan penguasaan konsep-konsep IPA. Berikut ini adalah contoh format yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternative penilaian bagi siswa dalam kegiatan eksperimen. Format ini dapat memberikan masukan yang berharga bagi guru mengenai data kemampuan berpikir siswa dikaitkan dengan penguasaan keterampilan proses yang dikembangkan, sejauh mana siswa menguasai materi dan memahami kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Format ini adalah sebagi contoh saja, dalam pelaksanaannya harus digabungkan dengan teknik penilaian yang lain seperti yang terdapat dalam prosedur penilaian untuk mengukur setiap aspek yang hendak diukur.

Bloom’s Experiment Form (for use with any Science Topic)

Remembering

List the materials used in this experiment.

Materials: __________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Understanding

Outline the procedure for conducting this experiment

Procedure:

1. _______________________________________________________

2. _______________________________________________________

3. _______________________________________________________

4. _______________________________________________________

5. _______________________________________________________

Applying

Record data observed and collected during your experiment.

Data:

What I did

What I observed


Analysing

Examine your data and draw conclusions.

Conclusions:

1. _______________________________________________________________

2. _______________________________________________________________

3. _______________________________________________________________


Evaluating

Describe how you would rate the success of you experiment. Establish a set of criteria for measuring the result.

__________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Creating

Create a series of “What if” statements about your data to show things that might be different should variables be changed.

What if… __________________________________________________________

What if… __________________________________________________________

(adapted from Graphic Organisers and Planning Outlines, 1997, pp. 25-26).

8. Kesimpulan

Pembelajaran tematik dengan karakteristiknya yang menempatkan siswa pada kedudukan yang sangat penting, dimana siswa menjadi pusat dalam kegiatan pembelajaran (student centered), siswa juga diberi kesempatan untuk belajar bagaimana belajar (learn how to learn) sehingga kegiatan pembelajaran menjadi sangat bermakna bagi siswa.

Pembelejaran tematik dengan karakteristiknya, yaitu Berpusat pada siswa, Memberikan pengalaman langsung, Pemisahan matapelajaran tidak begitu jelas, Menyajikan konsep dari berbagai matapelajaran , Bersifat fleksibel, Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan, ternyata memberikan peluang bagi siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir (minds-on) dan penguasaan keterampilan proses (hands-on). Dalam beberapa hasil penelitian, dikemukakan bahwa pembelajaran tematik ternyata dapat menjadi solusi dalam upaya pemerintah meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya di kelas rendah. Beberapa penelitian tindakan kelas seperti yang telah dilakukan oleh Lely Halimah (2000), menyatakan bahwa pelaksanaan model pembelajaran terpadu unit tematik ini, telah dapat menumbuh kembangkan keberanian dan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara produktif (berbicara). Nirva Diana (1999) mengungkapkan pula bahwa pembelajaran terpadu jaring laba-laba dapat mencapai tujuan pengajaran yang berkenaan dengan penguasaan konsep juga banyak menghasilkan efek nuturan, sejalan dengan penelitian Dwi Yuli Susanti (2008) bahwa melalui pembelajaran tematik hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan.

Menurut Gage dan Berliner dalam Nurihsan (2007: 140-141), implikasi perkembangan kognitif sangat penting bagi pengembangan sistem dan praktek pendidikan, sehinggga pendidik seyogyanya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut yaitu intellectual empathy, using concrete objects, using inductive approach, sequency instruction, taking amount of fit of new experience, applying student self-regulation principles, and developing cognitive values of interaction.

Seorang pendidik harus mengetahui dan memahami perkembangan intelektual individu pada masing-masing tahapan perkembangan. Anak berbeda dengan orang dewasa dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran tematik ini, seorang guru harus memusatkan pengajaran pada anak, dengan mempertimbangkan tahapan perkembangan kognitif anak, dan beberapa hal berikut ini :

1. Aktivitas di dalam proses belajar mengajar hendaknya ditekankan pada pengembangan struktur kognitif, melalui pemberian kesempatan pada anak untuk memperoleh pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran terpadu dan mengandung makna yang dikaitkan dengan pengembangan dasar-dasar pengetahuan.

2. Memulai kegiatan dengan membuat konflik dalam pikiran anak.

3. Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya

4. Melakukan tanya jawab yang dapat mendorong anak untuk berpikir dan mengemukakan pikirannya.

5. Informasi dan pengalaman yang baru diberikan hendaknya dikaitkan dengan informasi dan pengalaman yang telah mereka miliki agar tidak menghambat proses asimilasi dan akomodasi anak.

Berdasarkan hal tersebut maka, sudah sepatutnya para praktisi pendidikan, tidak hanya guru berusaha menciptakan iklim belajar yang kondusif dalam penerapan model pembelajaran tematik ini untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang tidak hanya menitik beratkan pada hasil semata melainkan pada proses pencapaiannya. Dengan demikian, pembelajaran yang dialami siswa dan guru di sekolah menjadi sejalan dengan kehidupan sehari-hari dimana siswa berada, dapat diaplikasikan dan dikembangkan sesuai kebutuhannya.

Daftar Referensi :

Arikunto, S. (1997). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bloom et al. (1956). Taxonomy of educational objectives: the classification of educational goals. New York: McKay.

Depdiknas,(2006). Model Pembelajaran Tematik Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta : PUSKUR BALITBANG.

Diana,Nirva,(1999) Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Jaring Laba-laba di Sekolah Dasar, Lampung: Penelitian Tindakan Pada Sekolah Dasar Di Kotamadya Bandar Lampung

Halimah, Lely (2000) Pengembangan Model Kurikulum Terpadu dan Implementasinya di Sekolah Dasar Dengan Menggunakan Bidang Studi Bahasa Indonesia sebagai Unsur Pemandu

Hesty.S, (2008) Implementasi Model Pembelajaran Tematik Untuk Meningkatkan Kemampuan Dasar Siswa Sekolah Dasar. Pangkal Pinang : LPMP Prop.Bangka Belitung

Hendrawati,Sri, (2008). Pendekatan Keterampilan Proses Sains dan Penerapannya dalam Pembelajaran Sains SD, Makalah SPS UPI Bandung, tidak diterbitkan.

____________, (2008), Pendekatan Pembelajaran Tematik dalam Model Pembelajaran Terpadu dan Implikasinya bagi Pendidikan di Sekolah Dasar Makalah SPS UPI Bandung, tidak diterbitkan.

____________, (2008), Aspek Kognitif dalam Penilaian, Makalah SPS UPI Bandung, tidak diterbitkan.

____________, (2008), HEWAN DI SEKITAR KITA, Modul Pembelajaran Tematik, Bandung: SDN Sukaluyu,untuk kalangan sendiri, tidak diterbitkan.

Karli, Hilda, (2003), Head Hand Heart, 3 H Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung : Bina Media Informasi

Makmun, Abin Syamsudin. (2007), Psikologi Kependidikan. Bandung: ROSDA

Mulyasa, E.,(2004), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Indonesia.

Poedjiadi, A., (2005), Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat, Bandung, Remadja Rosda Karya.

Semiawan, Conny; (1992) Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta : Grasindo

______________; (1993) Pendekatan Pembelajaran, Jakarta : Depdikbud

Suderajat, Hari. (2004), Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Bandung : CV Cipta Cekas Grafika

Sumantri,Mulyani (2001) Strategi Belajar Mengajar, Bandung : CV Maulana

Sulistyorini,Sri. (2007). Model Pembelajaran IPA SD dan Penerapannya dalam KTSP. Yogyakarta; Tiara wacana

Suparno,Paul (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget .Yogyakarta : Kanisius

Trihastuti,Singgih. (2008). Filosofi Sains, Modul Diklat KPS LPMP Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar