Laman

25 Februari 2010

Keterampilan Proses Sains Bagi Siswa SD Kelas Rendah

Keterampilan Proses Sains Bagi Siswa SD Kelas Rendah
Oleh: Sri Hendrawati, M.Pd

Semiawan (1992) mengatakan bahwa keterampilan proses adalah keterampilan siswa untuk mengelola hasil yang didapat dalam kegiatan belajar mengajar yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian dan mengkomunikasikan hasil perolehannya tersebut.
Keterampilan proses sains adalah keterampilan intelektual yang khas yang digunakan oleh semua ilmuwan serta dapat digunakan untuk memahami fenomena apa saja, dimana keterampilan ini diperlukan untuk memperoleh, mengembangkan dan menerapkan konsep-konsep, prinsip hukum dan teori-teori sains. Melalui keterampilan proses sains ini siswa diharapkan dapat mengalami proses sebagaimana yang dialami para ilmuan dalam memecahkan misteri-misteri alam dan akan menjadi roda penggerak penemuan, pengembangan fakta dan konsep serta penumbuhan dan pengembangan sikap, wawasan dan nilai.
Menurut Gega (1977) untuk membantu menumbuhkan kemampuan berpikir siswa dalam memahami IPA dibutuhkan sedikitnya enam keterampilan proses sains yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran, yaitu : mengamati (observing), mengelompokkan (classifying), mengukur (measuring), mengkomunikasikan (communicating), membuat kesimpulan sementara (inferring), dan melakukan eksperimen (experimenting).
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Gega (1977), Bergman dan Jacobsons (1980) mengemukakan bahwa keterampilan proses sains perlu dikembangkan untuk mendukung pembelajaran inkuiri dalam IPA. Terdapat beberapa keterampilan proses sains yang sangat penting untuk dikuasai oleh siswa, yaitu: observation, sorting, classification, serial ordering, operational definition, dan communication. Lebih lanjut, dikemukakan pula bahwa pembelajaran inkuiri dalam IPA menuntut siswa untuk memiliki kemampuan Matematika dan kemampuan membaca. Pembelajaran IPA menyediakan wahana belajar bagi siswa untuk melakukan banyak aktivitas konkrit dan langsung yang membutuhkan kemampuan Matematika dan bahasa yang baik demi tercapainya tingkat pemahaman siswa terhadap konsep atau materi IPA yang dipelajari (Bergman dan Jacobsons, 1980).
Menurut Standar Isi Permendiknas No.22 tahun 2006 mengenai kurikulum IPA, dikemukakan bahwa pembelajaran IPA pada jenjang sekolah dasar sebaiknya dilakukan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry). Hal ini menempatkan inkuiri menjadi hal yang fundamental dalam proses pembelajaran IPA. Pembelajaran inkuiri dalam IPA dapat dilaksanakan bersamaan dengan pengembangan aspek keterampilan proses sains. Namun, sangat disayangkan bahwa dalam standar isi tidak mencantumkan kemampuan inkuiri dan keterampilan proses apa yang sebaiknya dikembangkan dalam pembelajaran IPA pada jenjang sekolah dasar.
Hal ini berbeda dengan kondisi di beberapa negara maju yang mencantumkan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa berkenaan dengan kemampuan inkuiri. Misalnya saja, kurikulum National Academy of Science yang memberikan batasan/standar kompetensi kemampuan inkuiri yang harus dimiliki siswa. Disebutkan bahwa kemampuan inkuiri siswa pada jenjang TK sampai SD kelas 4, adalah: (1) kemampuan untuk mengajukan pertanyaan mengenai objek, organisme, dan peristiwa yang terjadi dalam lingkungan, (2) merencanakan dan melakukan penyelidikan sederhana, (3) menggunakan peralatan sederhana untuk mengumpulkan data, (4) menggunakan data untuk memberikan penjelasan yang rasional mengenai hasil temuan, dan yang terakhir, (5) mengkomunikasikan hasil penelitian dengan penjelasannya. Kelima standar ini berimplikasi bahwa pembelajaran inkuiri ini harus pula mengembangkan aspek keterampilan proses IPA dalam proses pembelajaran. Begitu banyak interpretasi mengenai keterampilan proses sains yang sebaiknya dikembangkan dalam pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar. Harlen dan Jelly (1997) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek fundamental yang harus dimiliki siswa, yaitu observing, questioning, hypothesizing, predicting, investigating, interpreting dan communicating.
Untuk memahami keterampilan proses yang mana yang cocok untuk dikembangkan bagi siswa SD, sebaiknya disesuaikan dengan karakteristiknya terutama usia. Pendekatan Developmentally Appropriate Practice (DAP) dalam pembelajaran IPA menjadi sangat penting untuk dijadikan pertimbangan dalam mendesain sebuah pembelajaran IPA. Menurut Charlesworth & Lind. (1999), pengembangan keterampilan proses sains dapat dilakukan dengan mengacu pada pendekatan DAP. Terdapat tiga tahapan pengembangan keterampilan proses sains, yaitu: pertama, tahap Basic (Dasar) yang diperuntukkan bagi anak usia 5 tahun ke atas yang mengembangkan lima buah keterampilan proses sains tingkat dasar, yaitu mengamati, membandingkan, mengelompokkan, mengukur dan mengkomunikasikan. Kedua, tahap intermediate yang diperuntukkan bagi anak pada rentang usia 9-11 tahun yang mengembangkan 2 aspek keterampilan proses sains, yaitu memprediksi dan melakukan inferring (pengambilan kesimpulan). Tahapan ketiga, adalah tahap advanced yang diperuntukkan bagi anak usia 12 tahun ke atas yang mengembangkan dua aspek keterampilan proses sains, yaitu merumuskan hipotesis dan keterampilan menggunakan dan mengontrol variabel.
Hal ini senada dengan pendapat Semiawan (1992) bahwa penerapan keterampilan proses harus disesuaikan dengan taraf perkembangan anak sejalan dengan hasil penelitian dalam psikologi belajar. Untuk siswa SD kelas rendah (kelas I-kelas III), aspek keterampilan proses yang dapat dikembangkan adalah komunikasi dan observasi, yang didalamnya termasuk pula aspek keterampilan klasifikasi (mengelompokkan dan membandingkan), perhitungan, dan pengukuran.
Mulyani (2001) mengemukakan bahwa implementasi keterampilan proses dalam suatu proses pembelajaran dapat dikembangkan secara terpadu, yakni antara satu keterampilan dengan keterampilan lainnya sekaligus terjawantahkan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa seorang guru dapat pula memberikan perhatian terhadap satu jenis keterampilan yang dikembangkan meskipun pada kenyataannya tidak akan pernah lepas dari keterkaitannya dengan keterampilan lainnya. Selain itu, dapat juga untuk jenis-jenis keterampilan tertentu dipandang belum memadai untuk diimplementasikan pada peserta didik yang duduk dikelas rendah (kelas I-III), seperti halnya keterampilan proses yang termasuk kelompok keterampilan terintegrasi.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat ditentukan jenis keterampilan proses sains yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran pada kelas rendah, terutama dalam hal ini kelas II. Berikut ini adalah jenis keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran beserta indikatornya, yaitu :
1) Mengamati (Observing), menggunakan panca indera untuk mengumpulkan data dan menggunakan fakta yang relevan.
2) Membandingkan (Comparing & Contrasting), menemukan persamaan dan perbedaan dari objek yang diamati.
3) Mengelompokkan (Classifying), menghubungkan hasil pengamatan, mengontraskan ciri-ciri serta mencari dasar pengelompokkan.
4) Mengukur (Measuring), menggunakan alat bantu pengukuran baku (satuan panjang, waktu, berat) untuk mengukur suatu objek pada saat kegiatan pengamatan secara kuantitatif
5) Mengkomunikasikan (Communicating), mengemukakan ide atau gagasan secara lisan maupun tulisan, membaca diagram, gambar, tabel, serta mendiskusikan hasil kegiatan atau pengamatan terhadap suatu peristiwa.
Keterampilan proses sains tidak hanya dikembangkan dalam pembelajaran IPA, keterampilan ini merupakan bagian penting dari berbagai mata pelajaran lainnya seperti Matematika dan Bahasa. Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa keterpaduan antara pembelajaran sains dengan membaca dan Matematika telah menghasilkan dampak positif bagi siswa. Dalam artikel yang berjudul “Science Process Skills, How can teaching science process skills improve student performance in reading, language arts, and mathematics?”, Dr. Karen Ostlund (1998) mengemukakan beberapa hasil penelitian mengenai hubungan antara keterampilan proses sains dengan perkembangan bahasa dan Matematika sebagai berikut:
1) Hubungan antara Kegiatan membaca dan KPS
• Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman langsung dalam pembelajaran sains dimana salah satunya siswa berinteraksi secara langsung dengan material/bahan belajar dapat menjadi sarana atau memfasilitasi perkembangan kemampuan berbahasa siswa (Wellman, 1978). Kegiatan membaca dan aktivitas sains menekankan pada kemampuan berpikir dan keduanya melibatkan proses berpikir. Ketika guru membantu siswa mengembangkan keterampilan proses sains, proses membaca secara simultan juga turut dikembangkan (Mechling & Oliver, 1983 and Simon & Zimmerman, 1980).
• Kegiatan hands-on untuk memberikan pengalaman langsung bagi siswa dalam sains adalah kunci bagi hubungan antara keterampilan proses baik dalam sains maupun dalam kegiatan membaca (Lucas & Burlando, 1975).
• Keterampilan proses sains merupakan pendamping kegiatan membaca. Misalnya ketika guru menjelaskan tentang sains, maka siswa belajar untuk menentukan karakteristik yang penting, menyebut satu persatu karakteristik, menggunakan istilah yang sesuai, dan menggunakan sinonim yang tepat yang merupakan keterampilan membaca yang penting (Carter & Simpson, 1978).
• Ketika siswa menggunakan keterampilan proses sains mengamati, mengidentifikasi, dan mengklasifikasikan, mereka dapat membedakan antara vocal dan konsonan dan belajar mengenai bunyi huruf, kata dan kalimat. (Murray & Pikul ski, 1978).
• Keterlibatan siswa dalam keterampilan proses memudahkan siswa untuk mengenali kata kunci secara kontekstual dan terstruktur dan memudahkan siswa menginterpretasikan data dalam paragraf. Keterampilan proses sains penting bagi berpikir logis dan menjadi pondasi untuk kemampuan dasar belajar membaca siswa (Barufaldi & Swift, 1977).
• Pembelajaran sains menyediakan alternatif strategi mengajar yang dapat memotifasi siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca (Wellman, 1978).
• Guszak mengemukakan bahwa kesiapan membaca adalah kemampuan yang kompleks. Dari tiga kemampuan kompleks tersebut, dua diantaranya dapat dipengaruhi secara langsung dengan keterampilan proses, yaitu: faktor fisik (kesehatan, pendengaran, penglihatan, berbicara dan motorik); dan faktor pemahaman (konsep, proses). Ketika siswa melihat, mendengar dan berbicara tentang pengalaman sains, pemahaman dan persepsi siswa terhadap konsep dan proses dapat improve (Barufaldi & Swift, 1977 and Bethel, 1974).
• Program sains yang mengembangkan pengalaman hands on dapat meningkatkan perkembangan keterampilan proses anak-anak. Pencapaian keterampilan proses yang dikembangkan dengan pengalaman sains memiliki korelasi yang positif dengan perkembangan kesiapan membaca (Nicodemus, 1968).
• Penelitian tentang hubungan antara menulis kreatif dan pengalaman sains menunjukkan bahwa ketika siswa menulis bahan bacaannya sendiri, maka skor menulis siswa mengalami peningkatan secara signifikan (Jenkins, 1981).
• Data di sebuah sekolah menunjukkan peningkatan kemampuan komunikasi oral siswa yang signifikan ketika mereka berpartisipasi dalam penelitian Peningkatan kurikulum sains dan pendekatan keterampilan proses sains. Peningkatan kemampuan siswa yang menggunakan pendekatan keterampilan proses lebih baik dalam tes bahasa, meliputi kosakata, struktur kalimat, dan kemampuan mengklasifikasi, menyampaikan dan menerima kemampuan komunikasi secara oral (Bethel, 1974).
2) Hubungan antara Matematika dan KPS
• Sains dan Matematika memiliki keterpaduan. Matematika secara luas dapat diartikan sebagai bahasa sains. Perkembangan kemampuan logika Matematika dan pemecahan masalah adalah tujuan pembelajaran sains dan Matematika. (National Council of Teachers of Mathematics, 1980 and National Science Teachers Association, 1964 & 1983).
• Sains dan Matematika saling menguatkan, dengan cara memfasilitasi perkembangan kognitif menjadi lebih baik (Almy, 1966).
• Penelitian menunjukkan bahwa keragaman pengalaman sains dapat memfasilitasi perkembangan kognitif siswa dari satu level ke level selanjutnya. Hubungan antara Matematika dan sains diperkuat dengan fakta bahwa pencapaian dalam Matematika berhubungan dengan tingkatan perkembangan kognitif (Stafford & Renner, 1976).
• Melibatkan siswa dalam kegiatan hands-on dimana siswa menghitung dan memanipulasi objek, menyediakan pengalaman yang berkontribusi bagi pemahaman mereka terhadap angka/bilangan. Dengan demikian, pengalaman sains memberikan manfaat bagi perkembangan dasar Matematika dalam hal operasi Matematika, diantaranya menghitung lebar permukaan, korespondensi satu-satu, mengurutkan dan mengklasifikasikan (Campbell, 1972).
• Kontribusi pengalaman sains bagi perkembangan kemampuan operasi Matematika diperkuat oleh penelitian. Dalam sebuah penelitian tentang hubungan antara kemampuan siswa dalam memahami bilangan dalam pembelajaran Matematika-sains menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan tersebut lebih berhasil menguasai konsep dan proses Matematika dibandingkan siswa yang hanya menerima program pengajaran Matematika saja (Almy, 1966). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pengalaman sains tidak hanya meningkatkan kemampuan siswa Taman Kanak-kanak (TK) dan siswa SD kelas 1 saja, melainkan dapat memfasilitasi perpindahan dari tingkatan perkembangan kognitif pada siswa pada jenjang kelas yang lebih tinggi (Froit, 1976 and Tipps, 1982).
• Penelitian menunjukkan bahwa sains dapat digunakan untuk memperluas pendekatan mengajar pemecahan masalah dalam Matematika. Dengan berusaha untuk mengungkapkan masalah sains dalam kehidupan sehari-hari adalah upaya yang potensial untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan memberikan manfaat bagi siswa untuk memecahkan masalah dalam berbagai keadaan.(Coffia, 1971 & Shann, 1977).
• Melalui pengalaman sains, siswa dapat mengaplikasikan Matematika ke dalam masalah kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan sekolah dasar, guru dapat menyediakan pengalaman hands-on dan kegiatan sains yang memfasilitasi pembelajaran konsep aritmetika seperti pengurutan, pengelompokkan dan pecahan (Mechling & Oliver, 1983).

Pembelajaran Tematik Tipe Spider Webbed

Pembelajaran Tematik Tipe Spider Webbed

Oleh: Sri Hendrawati, M.Pd


Pembelajaran tematik adalah bagian dari pembelajaran terpadu (integrated learning) yang merupakan suatu konsep pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Bermakna artinya bahwa dalam pembelajaran terpadu, siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep yang lain yang sudah mereka pahami (Tim pengembang D-II dan S-2, 1997). Jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional, pembelajaran terpadu lebih melibatkan siswa secara aktif secara mental dan fisik di dalam kegiatan belajar mengajar di kelas serta pembuatan keputusan.

Tidak ada definisi tentang pembelajaran terpadu yang sama satu dengan yang lain. Jacobs (Sa’ud, 2006) memandang pembelajaran terpadu sebagai pendekatan kurikulum interdisipliner (interdisciplinary curriculum approach). Pembelajaran terpadu adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran sebagai suatu proses untuk mengaitkan dan mempadukan materi ajar dalam suatu mata pelajaran atau antar mata pelajaran dengan semua aspek perkembangan anak, kebutuhan dan minat anak, serta kebutuhan dan tuntutan lingkungan sosial keluarga. Pada perspektif bahasa, pembelajaran terpadu sering diartikan sebagai pendekatan tematik (thematic approach). Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai proses dan strategi yang mengintegrasikan isi bahasa (membaca, menulis, berbicara, dan mendengar) dan mengkaitkannya dengan mata pelajaran yang lain. Konsep ini mengintegrasikan bahasa (language arts contents) sebagai pusat pembelajaran yang dihubungkan dengan berbagai tema atau topik pembelajaran (Sa’ud, 2006). Pembelajaran terpadu juga sering disebut pembelajaran koheren (a coherent curriculum approach), yang memandang bahwa pembelajaran terpadu merupakan pendekatan untuk mengembangkan program pembelajaran yang menyatukan dan menghubungkan berbagai program pendidikan. Definisi lain tentang pendekatan terpadu adalah pendekatan holistik (a holistic approach) yang mengkombinasikan aspek epistemologi, sosial, psikologi, dan pendekatan pedagogi untuk pendidikan anak, yaitu menghubungkan antara otak dan raga, antara pribadi dan pribadi, antara individu dan komunitas, dan antara domain-domain pengetahuan.

Pada dasarnya model pembelajaran terpadu merupakan sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik individual maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi tema menjdai pengendali di dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan berpartisipasi di dalam eksplorasi tema tersebut, para siswa belajar sekaligus melakukan proses dan siswa belajar berbagai mata pelajaran secara serempak. Sedangkan, UNESCO memberikan definisi tentang pembelajaran terpadu seperti yang dikemukakan oleh Anna Poedjadi (Karli, 2003) bahwa pengajaran terpadu terdiri dari pendekatan-pendekatan di mana konsep dan prinsip pembelajaran disajikan dalam satu paket pembelajaran sehingga tampak adanya satu kesatuan pemikiran ilmiah dan fundamental.

Menurut Fogarty (1991) dalam bukunya How To Integrate The Curricula , ada 10 macam model pembelajaran terpadu, seperti : fragmented (penggalan), connected (keterhubungan), nested (sarang), sequenced (pengurutan), shared (irisan), webbed (jaring laba-laba), threaded (bergalur), integrated (terpadu), immersed (terbenam), dan networked (jaringan kerja).

Pembelajaran tematik model Jaring Laba-laba (Spider Webbed) adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik (Fogarty, 1991). Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu. Setelah tema disepakati, maka dikembangkan menjadi subtema dengan memperlihatkan keterkaitan dengan bidang studi lain. setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang mendukung. Tema merupakan pengikat setiap kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu maupun lintas mata pelajaran. Dengan demikian model ini merupakan model yang mempergunakan pendekatan tematik lintas bidang studi. Dalam pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh, tema “Matahariku” dapat ditinjau dari berbagai mata pelajaran seperti IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan Seni Budaya dan Keterampilan.

Model ini sangat tepat diterapkan di sekolah dasar karena pada umumnya siswa pada tahap ini masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional, terutama di kelas-kelas awal sekolah dasar (kelas I dan II).

Penetapan tema dilakukan dengan dua cara (Sa’ud, 2006). Pertama, tema ditentukan terlebih dahulu yaitu dari lingkungan yang terdekat dengan siswa, dimulai dari hal yang termudah menuju yang sulit, dari hal yang sederhana menuju yang kompleks, dan dari hal yang konkrit menuju ke hal yang abstrak. Cara ini dilakukan untuk kelas-kelas awal SD/MI (kelas I dan II). Tema-tema yang dikembangkan seperti: diri sendiri, keluarga, masyarakat, pekerjaan, serta tumbuhan dan hewan. Setelah tema ditentukan kemudian dilakukan pemetaan kompetensi dasar dan indikator yang diperkirakan relevan dengan tema-tema tersebut. Kedua, tema ditentukan setelah mempelajari kompetensi dasar dan indikator yang terdapat dalam masing-masing matapelajaran. Penetapan tema dapat dilakukan dengan melihat kemungkinan materi pelajaran yang dianggap dapat memeprsatukan beberapa kompetensi dasar pada beberapa matapelajaran yang akan dipadukan. Cara ini dilakukan untuk jenjang SD/MI kelas tinggi (kelas III-VI) serta SMP/MTs pada matapelajaran Pengetahuan Sosial dan Pengetahuan Alam.

Keunggulan model ini antara lain, faktor motivasi berkembang karena adanya pemilihan tema yang didasarkan pada minat siswa. Mereka dapat dengan mudah melihat bagaimana kegiatan yang berbeda dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan, kemudahan untuk lintas semester dalam KTSP sangat mendukung untuk dapat dilaksanakannya model pembelajaran ini (Sa’ud, 2006). Sedangkan kelemahan model ini antara lain, kecenderungan untuk mengambil tema sangat dangkal sehingga kurang bermanfaat bagi siswa. Selain itu seringkali guru terfokus pada kegiatan sehingga materi atau konsep menjadi terabaikan. Perlu ada keseimbangan antara kegiatan dan pengembangan materi pelajaran.

Pembelajaran tematik menyediakan keluasan dan kedalaman implementasi kurikulum, menawarkan kesempatan yang sangat banyak pada siswa untuk memunculkan dinamika dalam pendidikan. Unit yang tematik adalah epitome dari seluruh bahasan pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk secara produktif menjawab pertanyaan yang dimunculkan sendiri dan memuaskan rasa ingin tahu dengan penghayatan secara alamiah tentang dunia di sekitar mereka.

Samuel J.Hausfather (1993) melakukan penelitian dengan metode action research untuk memperoleh gambaran kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam kelas selama pembelajaran tematik berlangsung. Ia mengemukakan bahwa keberhasilan pembelajaran ditunjang oleh peran guru sebagai aktor utama dalam mengimplementasikan kurikulum dengan berbekal dengan teori-teori yang sudah dipelajarinya. Dalam kegiatan pembelajaran terdapat kompleksitas yang tidak bisa diabaikan baik oleh guru maupun siswa, baik yang terjadi di dalam dan di luar kelas, pengetahuan siswa dan guru serta hal-hal apa yang mungkin dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Pembelajaran tematik ternyata dapat menjadi solusi dalam upaya pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya di kelas rendah. Beberapa penelitian tindakan kelas seperti yang telah dilakukan oleh Lely Halimah (2000), menyatakan bahwa pelaksanaan model pembelajaran terpadu unit tematik ini, telah dapat menumbuh kembangkan keberanian dan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia secara produktif (berbicara). Nirva Diana (1999) mengungkapkan pula bahwa pembelajaran terpadu jaring laba-laba dapat mencapai tujuan pengajaran yang berkenaan dengan penguasaan konsep juga banyak menghasilkan efek nuturan, sejalan dengan penelitian Dwi Yuli Susanti (2008) bahwa melalui pembelajaran tematik hasil belajar Matematika siswa mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti dan Wahono (2007) mengungkapkan bahwa siswa yang belajar melalui pembelajaran tematik secara utuh dengan ditunjang oleh bahan ajar yang disusun secara tematik dapat meningkatkan hasil rerata IPA yang relatif tinggi pada siswa kelas 1 di semester 1, tidak kalah dengan rerata mata pelajaran lain yang diintegrasikan. Penerapan pembelajaran tematik yang menghasilkan hasil belajar yang relatif tinggi ini ternyata konsisten dengan temuan program Connecting Learning Assures Succesfull Students (CLASS) yang melaporkan hasil skor Indiana Statewide Tesing for Educational Progress (ISTEP) pada siswa SD yang menerapkan pembelajaran tematik lebih tinggi daripada siswa SD yang lain di negara tersebut, dan bahwa skor pada SD CLASS terus meningkat dari waktu ke waktu (Buechler,M.1993). Hasil penelitian ini juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruth (1998), bahwa selama periode dua tahun, skor siswa yang menggunakan pembelajaran tematik menunjukkan peningkatan sebesar 16%, sedangkan sekolah kontrol hanya mencapai peningkatan sebesar 3%. Selarasnya hasil penelitian ini memperkuat pendapat Rohde, et.al (1991) yang menyatakan bahwa: (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan objek-objek nyata bagi anak untuk memanipulasinya, (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4) menyediakan kegiatan dan kebiasaan yang menghubungkan semua aspek perkembangan kognitif, social, emosi dan fisik, (5) mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk bergerak dan melakukan kegiatan fisik, interaksi sosial, kemandirian, dan harga diri yang positif, (6) menghargai individu, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman di keluarga yang dibawa anak-anak ke kelasnya, dan (7) menemukan cara-cara untuk melibatkan anggota keluarga anak.

Penelitian tentang pembelajaran tematik ini dilakukan pula oleh Turpin dan Cage (1998) pada siswa kelas VII yang menggunakan kurikulum IPA terpadu. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran tematik memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi pencapaian siswa dalam mempelajari sains, kemampuan keterampilan proses sains siswa serta kepemilikan sikap ilmiah. Siswa yang belajar menggunakan kurikulum IPA terpadu menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak menggunakan pembelajaran tersebut. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hendrawati (2009) yang dilakukan pada siswa SD kelas 2 di sebuah SD Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menerapkan pembelajaran tematik tipe spiderwebbed memperoleh hasil belajar IPA yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar secara konvensional, dalam hal penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains.

Dengan demikian, pembelajaran tematik penting dilakukan di sekolah dasar khususnya kelas rendah agar mampu meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran siswa.